Tantangan Etika Esports di Indonesia
Esports, atau olahraga elektronik, adalah industri yang sedang berkembang pesat di Indonesia yang menarik jutaan gamer dan penggemar. Menurut Statista, industri esports di Indonesia menghasilkan total USD 2,08 miliar pada tahun 2021, menjadikannya pasar esports terbesar di Asia Tenggara. Memenangkan turnamen juga bisa sangat bermanfaat. Kejuaraan Dota 2 Internasional 2021 memberikan hadiah sebesar USD 40 juta kepada para pesaing teratas. Namun, di balik layar, ada banyak masalah etika yang mengganggu kancah esports di Indonesia dan sekitarnya.
Salah satu masalah utamanya adalah eksploitasi pemain profesional oleh organisasi tim. Banyak pemain yang melaporkan praktik-praktik yang tidak adil seperti pemutusan kontrak tanpa pesangon, tuntutan jam latihan yang berlebihan, dan kondisi kehidupan yang buruk. Sebagian besar pemain profesional memulai karir mereka di usia belasan tahun dan pensiun di usia pertengahan dua puluhan, sering kali karena kelelahan dan cedera fisik.
Masalah lainnya adalah penggunaan zat-zat peningkat performa oleh beberapa pemain untuk meningkatkan konsentrasi dan stamina mereka. Zat-zat ini termasuk Adderall dan stimulan lain yang biasanya diresepkan untuk gangguan hiperaktif defisit perhatian (ADHD). Meskipun beberapa liga telah melarang penggunaan zat-zat tersebut dan melakukan tes rutin, sebagian besar liga tidak menangani masalah ini sama sekali. Para pendukung regulasi formal berpendapat bahwa badan pengawas diperlukan untuk menegakkan standar yang seragam terhadap penyalahgunaan zat, serta untuk melindungi para pemain dari eksploitasi.
Masalah ketiga adalah kurangnya keragaman dan inklusi dalam esports, terutama untuk pemain wanita, pemain LGBTQ+, dan pemain dari ras dan etnis minoritas. Kelompok-kelompok ini menghadapi pelecehan dan diskriminasi yang terus-menerus dalam obrolan dan pesan teks dalam game, sebuah praktik yang telah dinormalisasi dalam budaya game. Pemain wanita dengan bayaran tertinggi, Sasha Hostyn, mendapatkan sekitar $400.000, jauh di bawah jutaan yang didapatkan oleh pemain pria. Gamer profesional wanita juga melaporkan bahwa mereka menerima lebih sedikit dukungan dari rekan satu tim dan merasa tidak nyaman dengan tempat tinggal yang berdekatan di rumah-rumah game tim. Akibatnya, banyak pemain wanita muda yang tidak tertarik untuk mengejar esports sebagai karier. Para kritikus menyatakan bahwa moderasi yang efektif dan penegakan aturan terhadap pelecehan diperlukan untuk menciptakan lapangan bermain yang benar-benar setara dalam esports.
Esports adalah industri yang berkembang pesat dan menguntungkan di Indonesia, tetapi juga menghadapi banyak tantangan etika yang perlu diatasi. Dengan memastikan perlakuan yang adil, kesehatan dan keselamatan, serta keberagaman dan inklusi untuk semua pemain, esports dapat menjadi olahraga yang lebih berkelanjutan dan terhormat bagi semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H