Mohon tunggu...
Dailymonthly
Dailymonthly Mohon Tunggu... Freelancer - Just Another Blog

Budayakan Membaca Dailymonthly | Prima H. I have been writing for over 10 years. I have written on various topics such as politics, technology, and entertainment. However, my true passion lies in writing about comprehensive analysis and from various points of view. I believe that writing from multiple perspectives allows me to explore my subjects, settings, and moral gray areas from a wider variety of perspectives, which sustains complexity and keeps the reader interested. I have written several articles on this topic and am considered an expert in the field.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Profil DNA: Pedang Bermata Dua dalam Peradilan Pidana

25 Mei 2023   06:06 Diperbarui: 26 Mei 2023   14:11 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Bukti DNA (Bing Image Creator)

Pada tahun yang sama, Tommie Lee Andrews (1964) menjadi orang Amerika pertama yang dihukum karena kejahatan dengan menggunakan bukti DNA. Jaksa penuntut menggunakan sidik jari DNA untuk mengidentifikasi Andrews sebagai pemerkosa berantai yang telah melakukan puluhan kejahatan. Segera setelah itu, lembaga penegak hukum negara bagian dan federal mulai membangun basis data DNA. Pada tahun 1989, Virginia adalah negara bagian pertama yang meminta sampel DNA dari individu yang dihukum karena melakukan kejahatan untuk database-nya. Saat ini, kelima puluh negara bagian di Amerika Serikat memiliki database DNA, serta database nasional yang dioperasikan oleh Biro Investigasi Federal (FBI). Kelima puluh negara bagian juga memiliki undang-undang yang mewajibkan pengambilan DNA dari individu yang dihukum karena melakukan tindak pidana kekerasan tertentu.

Teknologi DNA

Ilustrasi: Teknologi DNA (Bing Image Creator)
Ilustrasi: Teknologi DNA (Bing Image Creator)

Teknologi DNA telah memperluas aplikasinya di luar investigasi kriminal. Pada tahun 1992, dua pengacara publik di New York City mendirikan Innocence Project di Fakultas Hukum Benjamin N. Cardozo, Universitas Yeshiva. Proyek ini menggunakan tes DNA untuk membuktikan bahwa orang yang dituduh bersalah tidak bersalah. Hingga Desember 2021, Innocence Project telah membebaskan 392 orang yang telah menjalani hukuman penjara atas kejahatan yang tidak mereka lakukan. Proyek ini terus beroperasi hingga saat ini dan telah menginspirasi inisiatif serupa di seluruh dunia. Pada tahun 1994, Kongres mengesahkan Undang-Undang Identifikasi DNA, yang menciptakan basis data DNA nasional yang berisi informasi genetik dari para pelanggar yang dihukum, bukti tempat kejadian perkara, dan sisa-sisa tubuh manusia yang tidak teridentifikasi. Basis data ini dikenal sebagai National DNA Index System (NDIS) dan Combined DNA Index System (CODIS). Aparat penegak hukum juga mulai mengeluarkan surat perintah John Doe, yang merupakan surat perintah penangkapan untuk individu tanpa nama yang diidentifikasi hanya dari profil DNA mereka. Surat perintah ini biasanya digunakan ketika penyelidik memiliki DNA tersangka namun tidak memiliki identitasnya, dan perlu mengeluarkan surat perintah sebelum masa kadaluarsanya habis.

Pada tahun 2004, Kongres meloloskan Undang-Undang Keadilan untuk Semua, yang mencakup langkah-langkah untuk meningkatkan akurasi persidangan yang melibatkan terdakwa yang menghadapi hukuman mati. Bagian dari undang-undang ini dikenal sebagai Undang-Undang Perlindungan Tidak Bersalah, yang mewajibkan tes DNA untuk terpidana mati yang mengaku tidak bersalah.
Dalam beberapa tahun terakhir, aparat penegak hukum mulai menggunakan data dari situs web yang menawarkan layanan silsilah untuk mencari hubungan DNA dengan tersangka kriminal. Praktik ini melibatkan perbandingan sampel DNA dari tempat kejadian perkara dengan informasi genetik yang diserahkan secara sukarela oleh pengguna situs-situs web tersebut, yang dapat menghasilkan kecocokan potensial jika basis data berisi sampel genetik dari kerabat tersangka yang tidak teridentifikasi. Teknik ini kontroversial, karena beberapa kritikus berpendapat bahwa teknik ini melanggar hak-hak privasi. Namun, teknik ini juga telah menghasilkan beberapa penangkapan terkenal, seperti Joseph James DeAngelo (1945-), yang diyakini sebagai Pembunuh Negara Bagian Golden State yang terkenal kejam, yang juga dikenal sebagai Tuan Kejam, Pemerkosa Area Timur, dan Penguntit Malam Asli. DeAngelo ditangkap pada tahun 2018 setelah bukti genetik dari kerabatnya ditemukan di situs web silsilah dan mengaitkannya dengan berbagai kejahatan, termasuk setidaknya dua belas pembunuhan.

Teknologi DNA tidak hanya digunakan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, tetapi juga di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia telah menggunakan teknologi DNA untuk berbagai tujuan sejak tahun 1998, seperti mengidentifikasi korban bencana alam, melacak orang hilang, memecahkan kasus kriminal, dan melindungi satwa liar yang terancam punah. Indonesia memiliki laboratorium forensik nasional yang dapat melakukan analisis DNA, serta beberapa laboratorium regional yang bekerja sama dengan kepolisian setempat. Indonesia juga berpartisipasi dalam inisiatif internasional yang mempromosikan penggunaan teknologi DNA untuk tujuan kemanusiaan dan keadilan.

Keterbatasan dan Kontroversi Bukti DNA

Ilustrasi: Bukti DNA (Bing Image Creator)
Ilustrasi: Bukti DNA (Bing Image Creator)

Bukti DNA sering dianggap sebagai bukti yang konklusif, tetapi ada banyak contoh kasus kriminal yang mempertanyakannya. Kasus pertama yang terjadi di Amerika Serikat adalah pada tahun 1989, ketika seorang hakim memutuskan bahwa tes DNA yang diduga menghubungkan jam tangan tersangka dengan darah korban tidak dapat diterima dalam persidangan kasus pembunuhan. Hakim menemukan bahwa prosedur pengujian tersebut cacat dan tidak dapat diandalkan, dan tidak dapat digunakan sebagai bukti. Kasus ini, yang dikenal sebagai New York v. Castro, menjadi preseden bagi Perang DNA, serangkaian pertempuran hukum yang bertujuan untuk menetapkan keabsahan dan batas-batas bukti genetik dalam kasus-kasus kriminal.
Pada tahun 1995, O.J. Simpson (1947-) dibebaskan dari dua kasus pembunuhan dalam salah satu persidangan kriminal paling terkenal dalam sejarah AS. Salah satu argumen utama dari tim pembelanya adalah bahwa polisi Los Angeles telah salah menangani bukti DNA yang disajikan di persidangan. Dua pengacaranya, Barry Scheck dan Peter Neufeld, telah mendirikan Innocence Project pada tahun 1992, yang menggunakan tes DNA untuk membebaskan orang-orang yang telah dihukum secara tidak adil. Scheck dan Neufeld adalah salah satu pengacara pertama yang mengidentifikasi praktik-praktik terbaik untuk menangani dan menyajikan bukti DNA di pengadilan.
Selain masalah teknis pengujian DNA dan tuduhan kesalahan penanganan bukti genetik, tantangan hukum sering kali melibatkan klaim ketidakmampuan polisi atau laboratorium, pelatihan yang tidak tepat, kontaminasi silang, atau bias penegakan hukum. Terlepas dari reputasinya yang hampir pasti, bukti DNA juga dapat disalahartikan, disalahartikan, atau ambigu. Sampel DNA mengalami degradasi dari waktu ke waktu, dan sampel yang lebih tua mungkin hanya menghasilkan profil genetik parsial yang rentan terhadap perselisihan.
Kelemahan lain dari sidik jari genetik yang digunakan dalam penegakan hukum dan penuntutan pidana terkait dengan apa yang dikenal sebagai efek CSI. Diambil dari serial TV populer CSI: Crime Scene Investigation, efek CSI mengacu pada bagaimana pengadilan dan anggota juri sering menunjukkan kepercayaan yang berlebihan pada bukti DNA. Fenomena ini menunjukkan bagaimana penggambaran media populer tentang ilmu sidik jari genetik, di mana bukti DNA hampir tidak perlu dipertanyakan lagi, memengaruhi cara bukti genetik diperlakukan di ruang sidang, bahkan ketika ada alasan yang sah untuk meragukan atau mengabaikannya.

Penggunaan DNA untuk Indentifikasi Pelaku Kriminal di Indonesia

Salah satu kasus di mana teknologi DNA digunakan untuk memecahkan kasus kejahatan di Indonesia adalah kasus pembunuhan seorang wanita bernama Siti Nurjanah pada tahun 2013. Ia ditemukan tewas di kamar kontrakannya di Jakarta, dengan tanda-tanda kekerasan seksual dan pencekikan. Polisi mengumpulkan sampel DNA dari tempat kejadian perkara, termasuk noda air mani di sprei dan tubuh korban. Mereka juga mengambil sampel DNA dari beberapa tersangka, termasuk pacar korban dan pemilik kontrakan. Analisis DNA menunjukkan bahwa tidak ada tersangka yang cocok dengan noda air mani, tetapi DNA pemilik rumah cocok dengan noda darah pada pakaian korban. Pemilik rumah mengaku bahwa ia telah membunuh Siti Nurjanah setelah ia menolak ajakan seksualnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun