Rute 66: Jalan Penuh Kenangan, Impian, dan Semangat yang Tak Lekang oleh Waktu
Perjalanan Melintasi Jantung Amerika dan Temukan Warisan Route 66.
David, seorang pengembara yang terpikat oleh daya tarik jalan terbuka, tidak pernah percaya bahwa Rute 66 benar-benar sudah tidak ada lagi. Pada tahun 1984, ketika bentangan terakhir Interstate 40 selesai dibangun di luar Williams, Arizona, menandai berakhirnya jalan yang telah membawa beberapa generasi orang Amerika ke barat, keistimewaan perjalanan itu seakan-akan sirna. Penyelesaiannya diperingati dengan sebuah parade, namun hal tersebut tidak dapat menggantikan pesona dan romantisme perjalanan santai dari Chicago ke Los Angeles. Kelima jalan raya penghubung tidak memiliki kualitas seperti mimpi dan kebebasan untuk berlama-lama dan menjelajah.
Bagi David dan jiwa-jiwa lain yang terpesona oleh jalan terbuka, Route 66 tetap hidup dalam ingatan mereka. Mereka mengenang masa ketika perjalanan itu sendiri merupakan petualangan yang luar biasa, penuh dengan lampu neon, restoran yang buka sepanjang waktu, dan sensasi pahit karena sendirian dan tidak terikat, menuju ke tempat tujuan mana pun.
Kembali ke jalan hantu tua kesayangannya, sebuah ruas jalan sepanjang 158 mil di Arizona dari Seligman ke Topock di dekat perbatasan California, David merasa seperti dipeluk oleh seorang sahabat. Jalan raya negara bagian yang bersejarah ini merupakan salah satu sisa-sisa terpanjang yang masih bisa dilalui dari Rute 66 yang asli. Selama hampir empat dekade, jalan ini telah memberi isyarat kepadanya berkali-kali, menyingkap sebuah rahasia yang mendalam: bagian dari masa mudanya dan mimpi-mimpinya terkubur di dalamnya.
Sebagai seorang remaja pada tahun 1959, David memulai petualangan pertamanya di sepanjang jalan legendaris ini, menumpang mobil dari Boston ke California dengan teman masa kecilnya yang paling dekat. Mereka belum berpengalaman dengan Barat, dan dia mengingat perpaduan antara kelelahan dan kegembiraan. Kebebasan yang dialaminya tak tertandingi, membebaskannya dari cengkeraman orangtuanya yang sudah tiada, yang kini mempertanyakan mengapa ia ingin pergi. Udara musim panas beresonansi dengan lagu "Broken-Hearted Melody" dari Sarah Vaughan, sebuah kenangan yang terus melekat, menemaninya dalam perjalanan malam hari yang sunyi dan membangkitkan kehadiran temannya. Pada saat-saat itu, kalender kembali berputar, dan hidup terasa abadi dengan kemungkinan yang tak terbatas.
Sejak saat itu, David selalu tertarik untuk kembali ke Rute 66, seperti seorang nelayan yang kembali ke sungai ikan trout yang berharga. Dia telah melewatinya dengan bus Greyhound, truk trailer, mobil, rumah motor, dan bahkan dalam perjalanan sepeda seorang diri dari Virginia ke California. Karena rindu untuk menjelajah sekali lagi di sepanjang jalan yang pernah melambangkan perjalanan ke arah barat Amerika (karena dalam imajinasi mereka, Route 66 selamanya merupakan perjalanan ke arah barat), David menyiapkan hadiah yang luar biasa untuk ulang tahunnya yang ke-56. Dia akan berkelok-kelok dengan mobil Corvette melewati Seligman, Truxton, Hackberry, dan kota-kota lain yang terlupakan saat jalan raya antarnegara bagian itu dibangun.
Pada suatu siang yang terik, dengan suhu di atas 100 derajat, David berangkat dari Phoenix dengan Corvette merah tahun 1960 sewaannya, merasa seperti sejuta dolar dengan atap terbuka dan radio yang menggelegar. Corvette tersebut, yang mengingatkan kita pada mobil yang dikendarai oleh Martin Milner dan George Maharis dalam acara TV tahun 1960-an, "Route 66," menderu di Black Canyon Highway, dalam perjalanan menuju persimpangan dengan Route 66 melewati Flagstaff. Namun, kegembiraannya tidak berlangsung lama karena pengukur suhu tiba-tiba melonjak, dan uap serta asap mengepul dari mesin. Dengan enggan, ia menepi ke bahu jalan dan mematikan kunci kontak. Ketika mencoba menyalakan kembali mobilnya, ia disambut dengan bunyi klik yang mengecewakan dan tak bernyawa.
Sebuah mobil dengan 18 roda berhenti seratus meter jauhnya, dan seorang pengemudi muda dengan santai berjalan kembali. "Ada masalah?" tanyanya. "Ya, tentu saja," jawab David. Kap mobilnya terbuka, membenarkan ketakutan terburuknya. "Sepertinya sudah mati," kata pengemudi muda itu sambil memeriksa mesinnya. "Saya bisa memberikan tumpangan ke tempat pemberhentian truk di Flag jika Anda mau. Anda bisa menderek Vette dan menyewa mobil." Sambil mengambil kopernya dari bagasi, David naik ke dalam truk Peterbilt yang berat, berterima kasih atas bantuan yang tak terduga itu.
Maka, pada siang hari yang terik di bulan Juli itu, David mendapati dirinya duduk di dalam sedan Buick yang sederhana, menuju ke arah barat di Interstate 40. Lalu lintas di sekitarnya berlalu dengan deru yang keras ketika dia melewati sebuah tanda yang menunjukkan bahwa layanan berikutnya berjarak enam puluh mil jauhnya. Keluar dari jalan keluar ke-123, ia beralih ke jalan yang sepi dan sunyi, namun sangat indah. Seligman dan Route 66 menunggu di balik tikungan.
Saat David melaju ke depan, pikirannya merefleksikan pengalaman yang telah membawanya ke titik ini. Kenangan saat menumpang, mengendarai truk, dan bersepeda di sepanjang Rute 66 membanjiri pikirannya. Setiap perjalanan telah menjadi bukti akan hubungannya yang tak tergoyahkan dengan jalan bertingkat ini. Sekarang, takdir telah membawanya ke jalan memutar yang tak terduga, tetapi dia tidak bisa tidak merasa ada sesuatu yang kebetulan tentang pengalihan ini.
Melewati tengara-tengara yang memudar dari kota-kota yang dulu berkembang pesat, David mengagumi ketangguhan Mother Road. Semangatnya bertahan, membawa gema dari masa lampau. Lampu-lampu neon mungkin telah meredup, dan restoran-restoran mungkin telah tutup, namun esensi dari Route 66 tetap hidup di hati mereka yang benar-benar memahami maknanya.
Mendekati Seligman, gelombang nostalgia menyapu David. Fasad bangunan yang sudah pudar dan lapuk berjejer di sepanjang jalan, menjadi saksi bisu dari kenangan yang terukir di dalam dirinya. Saat dia melangkah keluar dari mobil dan menuju trotoar yang tidak asing lagi, rasanya seolah-olah waktu berhenti. Route 66 memeluknya sekali lagi, menyambutnya dengan tangan terbuka.
Di waktu senja, David berjalan-jalan di sisa-sisa era yang terlupakan. Melodi melankolis dari masa lalu bergema di benaknya, berbaur dengan bisikan angin. Langit malam menyingkap permadani bintang-bintang, seakan menerangi jalan kenangan yang disayanginya. Dan saat dia berdiri di sana, tenggelam dalam suasana jalan hantu, David menyadari bahwa Route 66 akan selamanya menjadi bagian dari jiwanya-sebuah hubungan yang tak lekang oleh waktu dengan impian dan cita-cita masa mudanya.
Dengan rasa tujuan yang baru, David memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya di sepanjang rute bertingkat ini. Meskipun jalan memutar dan keadaan yang tidak terduga, dia tahu bahwa semangat Route 66 akan menuntunnya terus maju. Ketika ia memulai perjalanan berikutnya, David merasakan tekad yang kuat untuk mendapatkan kembali keajaiban jalan terbuka, di mana setiap milnya menyimpan potensi untuk ditemukan dan di mana semangat untuk berkelana tumbuh subur.
David, ditemani oleh Angel Delgadillo, tukang cukur kawakan di Seligman, memulai perjalanan nostalgia melewati sisa-sisa kota yang dulunya ramai. Mereka berjalan-jalan di jalanan yang dulunya padat dengan lalu lintas yang padat, saat Delgadillo mengenang masa lalu Route 66.
Kenangan Delgadillo membawanya kembali ke masa Depresi Besar, di mana ia menyaksikan keluarga-keluarga yang putus asa melarikan diri dari Dust Bowl dengan Model T yang kelebihan muatan. Dia mengenang masa-masa tahun 1940-an, ketika konvoi prajurit, sebagian pulang ke rumah dan sebagian lagi menuju ke medan perang, melewati Seligman. Kemudian datanglah era mobil-mobil mewah dan kenyamanan ber-AC, ketika generasi baru warga California bermobil ke arah barat, meninggalkan bioskop drive-in, pom bensin Mohawk, dan lapangan motor dengan nama-nama seperti Round-Up, Wigwam, dan Palomino. Rambu-rambu Burma Shave di sepanjang rute mengingatkan para pelancong untuk berinvestasi dalam obligasi pertahanan.
Meninggalkan toko cukur, David dan Delgadillo menjelajahi sisa-sisa masa lalu Seligman yang terbengkalai. Dealer mobil, toserba, dan kanopi yang dulu berkembang pesat hanya tinggal kenangan. Aula biliar yang sepi di Railroad Avenue berdiri sebagai bukti dari waktu yang berbeda. Delgadillo berusaha membuka gemboknya, berharap dapat mengungkap harta karun tersembunyi di gedung biliar tersebut, namun tidak berhasil. Mengurungkan niat awalnya, dia mengangkat bahu dan berkata, "Saya rasa tidak ada gunanya menunjukkannya kepada Anda. Tempat ini hanya dipenuhi dengan barang-barang kakak saya yang berantakan."
Di kejauhan, di balik tanah kosong dan mobil Plymouth 1948 yang sudah tua, hotel Harvey House, yang dulunya merupakan tempat yang ramai, masih berdiri di samping rel kereta api yang sepi. David setengah berharap untuk bertemu dengan konduktor berpakaian rapi di lobi dan mendengar lagu-lagu Nat King Cole yang mengalun dari jukebox restoran. Namun, Harvey House menjadi sunyi senyap sejak ditutup pada tahun 1954. Halamannya kini ditumbuhi rumput liar, dan jendelanya telah ditutup. Hari-hari ketika kereta penumpang berhenti di Seligman dan penduduk setempat berbaur dengan para pelancong di peron adalah masa lalu. Delgadillo merenung, "Tempat ini dulunya adalah Times Square kami."
Rasa ingin tahu mendorong David untuk bertanya mengapa begitu banyak pelancong tetap terpesona oleh daya tarik Route 66. Delgadillo, seorang septuagenarian yang telah menghabiskan seluruh hidupnya di sepanjang jalan tersebut, menjawab dengan sentuhan nostalgia, "Ya ampun, saya tahu kita hidup di masa lampau di sini, tetapi orang-orang menyukai jalan tua ini karena di sinilah tempat untuk mencari jati diri kita dulu."
Meninggalkan Seligman, David melanjutkan perjalanan ke arah barat di sepanjang Rute 66, yang turun ke dataran tinggi gurun Arizona. Pohon juniper dan pohon mesquite menghiasi lanskap, sementara tebing batu merah menjulang di kejauhan. Jalan raya ini menjadi saksi migrasi bangsa ke arah barat, membentang lebih dari 2.500 mil dari Chicago ke Santa Monica, melintasi tiga zona waktu, delapan negara bagian, dan kota-kota yang tak terhitung jumlahnya. Jalan ini berakar pada Jalur Indian Osage kuno dan telah berfungsi sebagai saluran untuk jalur telegraf pertama yang menembus Barat Daya. Selama bertahun-tahun, jalan ini telah memiliki berbagai nama, tetapi nama "66" yang merdu adalah nama yang bertahan, yang secara resmi diberikan oleh pemerintah federal pada tahun 1926.
Mildred Barker, yang mengoperasikan Frontier Cafe dan Motel di Truxton, telah menghabiskan seluruh hidupnya di sepanjang Route 66. Ia menganggap dirinya setua jalan itu sendiri. Dengan kepergian suaminya, Ray, dan Frontier yang tidak lagi ramai dengan aktivitas, ia merenungkan untuk kembali ke kampung halamannya di Oklahoma, tempat saudara laki-lakinya mewariskan sebuah rumah di dekat Route 66. Terlepas dari tantangan yang dihadapi di sepanjang jalan, Ny. Barker berpegang teguh pada kenangan dan kerja keras yang telah dilakukan Ray untuk melestarikan semangat Route 66. Dia mengungkapkan keengganannya untuk meninggalkan jalan raya tersebut, dengan mengatakan, "Saya bertahan, saya kira, sebagian besar untuk Ray. Anda tahu, kenangan dan semuanya. Dia telah berusaha keras untuk menjaga jalan ini tetap hidup. Tidak ada yang pernah menduga suatu hari nanti Anda akan melaju dari pantai ke pantai tanpa lampu merah. Kami pikir 66 akan berada di sini selamanya."
Saat angin bertiup di luar, sebuah papan nama di dekat pom bensin yang terbengkalai bergoyang dan berderit. Tumbleweeds berguling-guling di jalan yang sepi, dan tenda Frontier mengiklankan lowongan pekerjaan. Merenungkan eulogi, lagu, film, dan penghormatan tertulis yang didedikasikan untuk Route 66, David merenungkan paradoks tersebut. Sementara gagasan romantisme tentang jalan tersebut dirayakan, bagi warga Okie yang putus asa dan penduduk kota yang tangguh yang tetap setia pada "Jalan Utama Amerika", hanya ada sedikit romantisme. Route 66 adalah garis hidup, jalan yang sulit dan sendirian untuk bertahan hidup. Mungkin yang paling penting bukanlah jalan itu sendiri, tetapi mimpi yang diwakilinya-mimpi untuk melarikan diri, mencari kehidupan yang lebih baik di balik cakrawala. Rute 66 melekat di benak David sebagai simbol kecintaannya pada perjalanan, yang mengubahnya dari orang Timur menjadi orang Barat.
Jalan di depan David membentang, menuruni gurun Arizona yang luas. Dengan setiap mil yang dilalui, ia menyerap requiem yang tertulis di lanskap dan gema migrasi ke arah barat yang memudar. Rute 66 telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah bangsa ini-sebuah bukti semangat eksplorasi, ketangguhan, dan pengejaran masa depan yang lebih cerah.
David mengenang perjalanannya sebelumnya di sepanjang Route 66, mengingat saat ban sepedanya kempes di dekat Hackberry. Saat dia melewati rumah sekolah satu ruangan yang sudah tutup, kenangan akan perjuangan untuk mengganti ban itu kembali muncul. Meskipun baru dua tahun berlalu, rasanya seperti kenangan yang jauh, sekarang ia duduk dengan nyaman di dalam mobil yang menyerupai ruang tamunya sendiri.
Mendekati Hackberry, David melihat sebuah kota yang hampir sepi, dengan sebuah pom bensin tua yang berdiri di pinggirannya, yang sekarang dikenal sebagai Pusat Pengunjung Old Route 66. Karena penasaran, ia memutuskan untuk berhenti dan menjelajahinya. Di dalam, tempat itu tampak kosong, tetapi setiap sudutnya dihiasi dengan tumpukan barang-barang nostalgia seperti pelat nomor, tanda Burma Shave, mesin ketik, dan bahkan piano. Foto-foto Edward Abbey menghiasi dinding, di samping rak-rak yang dipenuhi buku-buku karya Mark Twain, Thomas Paine, dan Mahatma Gandhi. Ruang perbaikan telah diubah menjadi studio seniman, sementara pintu kamar mandi yang diselamatkan berfungsi sebagai panel pemanas tenaga surya. Di dinding, terdapat papan penunjuk arah ke Los Angeles di barat dan Chicago di timur.
Sebuah suara memanggil dari belakang, mengundang David untuk mengambil kopi di atas meja. Beberapa saat kemudian, seorang pria bertelanjang dada dan berjanggut abu-abu bernama Bob Waldmire muncul. Dengan bandana merah dan celana jins berpotongan, ia menyambut David di tempat yang ia sebut sebagai "persimpangan dunia". Selama lebih dari dua dekade, Waldmire telah melakukan perjalanan sebagai seniman keliling, tinggal di dalam mobil van Volkswagen dan menjual karya seninya di sepanjang jalan. Namun, ketertarikannya pada Route 66 membuatnya menetap. Dia membeli pom bensin yang ditinggalkan dan mengisinya dengan karya-karyanya. Buku tamu Waldmire mencatat nama-nama dari 60 negara yang berbeda, dan ia menggambarkan para pengunjungnya sebagai peziarah zaman modern yang penuh dengan antusiasme yang menular.
Ketika Waldmire berbicara dengan penuh semangat tentang keindahan gurun dan daya tarik Route 66, dia mengakui bahwa meskipun rencana awalnya adalah untuk tinggal tanpa batas waktu, dia yakin pada akhirnya dia akan berkemas dan melanjutkan pengembaraannya. "Tidak ada jalan yang selamanya," akunya. Seperti banyak orang lain, ia telah dikutuk sekaligus diberkati oleh panggilan jalan raya, menyadari bahwa takdirnya terletak pada penjelajahan yang abadi.
Sambil meluangkan waktu, David melanjutkan perjalanan santainya di sepanjang Rute 66. Dia berkelok-kelok melewati Kingman, melintasi Sitgreaves Pass, dan mengagumi pemandangan panorama yang membentang dari Arizona, California, dan Nevada. Melewati reruntuhan batu yang runtuh dari rumah-rumah dan toko-toko yang ditinggalkan, ia mencapai Oatman, di mana keturunan kuda-kuda burro yang dibebaskan oleh para penambang selama Perang Dunia II masih berkeliaran di jalan-jalan dan trotoar kayu. Meskipun Hotel Oatman yang berlantai dua itu ditutup sementara, David menaiki tangga untuk menatap Kamar 15, tempat legenda Hollywood Clark Gable dan Carole Lombard menghabiskan malam bulan madu mereka pada tahun 1939.
Secara realistis, kota-kota kecil di sepanjang Route 66 ini seharusnya telah menyerah pada reklamasi gurun. Seperti halnya manusia, kota-kota ini lahir, berkembang, dan akhirnya menghilang. Namun, orang-orang seperti Angel Delgadillo, Ray, dan Mildred Barker berjuang untuk mempertahankan kota-kota ini agar tetap hidup. Melalui upaya mereka untuk menetapkan Rute 66 sebagai jalan raya bersejarah, mereka membujuk para pengembara seperti David untuk menjauh dari jalan raya yang tidak personal dan membenamkan diri mereka dalam esensi Amerika yang lebih awal. David merasa bersyukur atas para penjaga Route 66 ini.
Mendekati akhir Route 66 di Arizona, dekat tebing yang menghadap ke Sungai Colorado, David berhenti sejenak di tengah kesunyian dan panas terik. Hanya fondasi batu dari Jembatan Red Rock tua yang tersisa, yang berfungsi sebagai pengingat akan penyangga rel kereta api pertama yang melintasi bentangan Colorado ini. Jembatan Trails Arch yang terbuat dari baja, yang pernah menjadi tempat migrasi penuh harapan bagi sekitar 300.000 orang Okie ke California, telah lenyap dan dialihfungsikan sebagai penopang pipa gas alam. Tidak ada penanda atau plakat yang menceritakan kisah perjalanan bangsa yang penuh kegelisahan di sepanjang rute bersejarah ini. Namun, sebuah bentang lebar baru, bagian dari I-40, membentang di seberang sungai, ramai dengan arus mobil dan truk yang terus menerus, menjadi pengingat yang jelas akan betapa waktu telah berubah.
David merefleksikan sifat transformatif dari Route 66, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain yang tak terhitung jumlahnya yang pernah melintasi jalan tersebut. Itu adalah jalan yang menyimpan kenangan, tantangan, dan impian, yang menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang dan budaya. Route 66 melambangkan kerinduan akan petualangan dan pengejaran kehidupan yang lebih baik, jalan yang mengubah orang Timur menjadi orang Barat, pengembara menjadi penjelajah.
Saat David duduk di sana, merenungkan arti penting dari jalan raya legendaris ini, dia tidak bisa tidak merasakan penghargaan yang mendalam bagi mereka yang telah berjuang untuk melestarikan warisannya. Rute 66 mungkin telah memudar dalam sejarah di banyak tempat, tetapi semangatnya tetap hidup melalui upaya orang-orang seperti Angel Delgadillo, Ray, Mildred Barker, dan Bob Waldmire, yang menghembuskan kehidupan ke sudut-sudut yang terlupakan dan mengingatkan para pelancong akan pesona jalan yang tak lekang oleh waktu.
Dengan rasa syukur yang baru dan hati yang penuh dengan kenangan, David mengucapkan selamat tinggal pada Route 66. Perjalanan di sepanjang jalan ikonik ini telah berakhir, tetapi kenangannya akan selamanya terukir dalam benaknya dan ingatan kolektif mereka yang pernah melewati jalan berliku tersebut. Saat dia melewati ke jalan raya modern, David membawa semangat petualangan dan gema dari era lampau, yang selamanya diubah oleh pengalamannya di Route 66.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H