Bangkok dan Thailand diguncang krisis hak asasi manusia yang serius pada tahun 2020 dan 2021. Pemerintahan Perdana Menteri Jenderal Prayut Chan-ocha telah menindak hak-hak sipil dan politik, terutama kebebasan berekspresi, dan secara sewenang-wenang menangkap para aktivis demokrasi yang menyerukan pembubaran parlemen, konstitusi baru, dan reformasi monarki. Pemerintah juga menggunakan pandemi Covid-19 sebagai dalih untuk memberlakukan keadaan darurat nasional dan membatasi pertemuan publik.
Terinspirasi oleh ramalan Kamnan tentang nasib baik saya dan dilindungi oleh lima wali tak kasat mata, saya memberanikan diri untuk pergi ke Kota Malaikat dengan bantuan Chailai, seorang mahasiswa berusia 23 tahun dari salah satu Universitas di Bangkok Thailand. Chailai adalah salah satu dari puluhan ribu pengunjuk rasa yang secara teratur bergabung dengan demonstrasi yang diselenggarakan oleh Gerakan Rakyat, sebuah koalisi dari berbagai kelompok yang menuntut demokrasi dan hak asasi manusia. Chailai mengatakan kepada saya bahwa dia tidak takut dengan represi pemerintah atau hukuman yang keras di bawah hukum lse-majest, yang melarang kritik terhadap keluarga kerajaan.
Dia mengatakan bahwa dia ingin melihat sistem yang lebih demokratis dan akuntabel di Thailand, di mana rakyat memiliki suara dalam bagaimana mereka diperintah dan di mana kerajaan menghormati konstitusi dan membayar pajak. Dia mengatakan bahwa dia tidak sendirian dalam menyuarakan aspirasinya, karena banyak warga Thailand dari berbagai latar belakang dan wilayah telah bergabung dalam protes, termasuk anak-anak, kelompok LGBT, etnis Muslim Melayu, dan korban kekerasan yang disponsori oleh negara. Dia mengatakan bahwa Bangkok bukan hanya kota para malaikat, tetapi juga kota keberanian dan harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H