The Exorcist karya William Peter Blatty telah menjadi kisah horor klasik yang telah disalahpahami dan disalahartikan selama bertahun-tahun. Blatty bermaksud untuk mengungkapkan rasa syukur dan menciptakan film thriller psikologis yang kompleks yang juga akan mendorong penonton untuk mempertimbangkan keberadaan Tuhan.Â
Terlepas dari kesuksesan awalnya, warisan The Exorcist telah diasosiasikan sebagai film slasher sederhana, yang gagal untuk mengenali tema-tema yang rumit dan penelitian yang mendalam.
Dorongan Ilahi Blatty dalam Novel dan Film
Novel dan film Blatty ditandai dengan keyakinannya yang kuat terhadap Tuhan, saat ia menjalin eksplorasi religius dengan narasi yang mendebarkan. Dari The Ninth Configuration hingga Legion, karya-karya non-komik Blatty memiliki elemen ilahi yang berusaha memecahkan pertanyaan teologis yang kompleks.Â
Dalam The Exorcist III, Blatty bertujuan untuk memberikan hiburan sambil memberikan sentuhan pada tema novelnya, karena ia tahu bahwa film berdurasi 90 menit tidak dapat sepenuhnya mengatasi masalah kejahatan.
Hubungan Blatty dengan para produser terkadang konfrontatif, namun hubungannya dengan mantan kolaboratornya William Friedkin bahkan lebih tegang, membuat Blatty menyutradarai sendiri The Exorcist III.Â
Terlepas dari sejarah mereka, Friedkin ingin mengubah cerita secara keseluruhan, termasuk proposal yang melibatkan Linda Blair yang merasuki anak kembar. Pada akhirnya, Blatty tetap setia pada visinya untuk mengeksplorasi sifat Tuhan dan kejahatan, bahkan di tengah tekanan industri hiburan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H