A Traveler's Tale of Love and Longing
"Seorang pria menemukan kembali keindahan dan makna tanah airnya setelah bertahun-tahun berkelana melintasi ruang dan waktu."
Saya telah berada di jalan begitu lama, mengendarai sepeda motor melintasi ruang dan waktu, sehingga saya hampir lupa bagaimana rasanya berada di rumah. Saya telah mengalami banyak petualangan dan bertemu dengan banyak orang, tetapi tidak ada yang sebanding dengan sensasi kembali ke tanah air saya sendiri, ke tanah kelahiran sendiri, ke lanskap dan suara yang saya kenal sejak kecil. Ketika saya berkendara lebih dekat ke gunung Bromo, saya merasakan gelombang emosi yang tidak bisa saya kendalikan. Saya membayangkan semua hal yang menanti saya, keluarga saya, teman-teman saya, tempat favorit saya. Saya bertanya-tanya apakah mereka telah berubah atau masih sama seperti yang saya ingat. Jalanan terasa sunyi saat saya mendekati puncak berkabut. Saya menahan napas, memejamkan mata untuk melihat sekilas asap kawah Semeru yang menandai tempat tujuan saya. Saya merindukan hal yang sama: mencapai puncak gunung Bromo, memeluk orang-orang yang saya cintai, dan merasa seperti di rumah lagi. Saya telah pergi selama berbulan-bulan, tapi rasanya seperti seumur hidup. Sepeda motor saya merasakan antisipasi saya dan bergetar bersama saya. Sepeda motor ini telah membawa saya melintasi negeri dan sekarang membawa saya kembali ke tempat saya seharusnya berada. Dan kemudian saya melihatnya, samar-samar pada awalnya, kemudian semakin jelas, Â bentuk gunung Bromo yang saya cintai. Gunung yang membuat Bangga Berwisata di Indonesia, Â Gunung yang telah membuat saya kagum dan terpesona. Gunung yang sangat saya rindukan. Saya merasakan gelombang sukacita dan rasa syukur. Saya memikirkan semua hal yang membuat gunung Bromo istimewa: sejarahnya, alamnya, keindahannya. Saya memikirkan semua hal yang telah saya tinggalkan dan semua hal yang akan saya temukan lagi. Saya memikirkan semua hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saya teringat akan rumah.
Saya melihat langit fajar dan mengagumi keanggunannya. Matahari begitu bersinar dan hangat, seperti bola emas di atas sutra biru. Awannya lembut dan putih, berlayar tertiup angin.
Pelangi adalah busur warna yang megah, menjembatani bumi dan langit. Saya merasa sangat kecil dan rendah hati dalam ciptaan yang luar biasa ini. Akan tetapi saya melihat gunung-gunung menangis dan mengerang,
Â
Pohon-pohon pinus  mereka bergoyang tertiup angin; Tetapi di sini saya duduk, di atas kesedihan mereka, sendirian, Tanpa ada yang lain selain langit sebagai teman saya.
Dunia di bawah sana tampak damai dan tenteram, Terlalu bahagia untuk diratapi atau dikeluhkan, tapi benarkah dunia itu seperti yang terlihat dari pemandangan ini? Atau apakah ada kesedihan atau rasa sakit yang tersembunyi?
Namun kemudian saya melihat wajah yang bersinar seperti bintang. Wajah yang memenuhi jiwaku, wajah Ibu dengan kedamaian dan harapan. Wajah yang mengatakan bahwa,
"Ibu selalu bersamamu".
"Wajah yang menjadi milikmu"
"Kamu adalah Anakku,"
Â
"Kamu cahaya mataku, matahariku, pelangiku". Â