[caption caption="Totalitas dan empati yang tinggi adalah kunci suksesnya (dok BDL)"][/caption]“Disekolahke ibu sing wis rondo kok malah dadi tukang arit ! ”
Omelan almarhum bundanya, Lik Katmilah, masih terngiang jelas dalam benak drh Triwiyono (52) sampai saat ini. Bayangkan saja, seusai menjalani prosesi wisuda sebagai dokter hewan di almamaternya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tahun 1986, bukannya berjuang mencari posisi sebagai pegawai kantoran, Tri malah membawa pulang seekor sapi kurus yang dibelinya di sebuah pelelangan bermodal pinjaman. Wajarlah kalau sang bunda yang merasa sudah bersusah-payah mengupayakan putranya mengenyam pendidikan sampai level sarjana agar jadi seseorang yang terpandang itu merasa gundah dan menggugat,”Disekolahkan oleh ibu yang sudah menjanda tapi malah (memilih) jadi pencari rumput (maksudnya rumput untuk pakan sapi, -pen.)”
Hal itu bisa dimaklumi mengingat keluarga besarnya, sebagaimana kebanyakan masyarakat Indonesia di era 80-an, masih sangat mendewakan posisi pegawai negeri; apalagi saat itu kakak sulungnya almarhum drs Eddy Sasmito juga memiliki posisi yang cukup terpandang di kalangan pemerintahan Blitar. Saking takutnya melihat sang adik bakal berakhir merana dengan sapi kurusnya, Eddy memutuskan agar Tri hijrah dulu,”Saya dikontrakkan rumah oleh kakak saya di kota.” Tutur Tri dalam perbincangan santai di rumahnya yang terletak di Desa Bendosari, Kecamatan Sanan Kulon, Blitar; beberapa waktu (26/12) lalu. Sapinya tentu saja ditinggal di kampung namun tetap dengan pemeliharaan plus pengawasan intensif darinya. Hal itu membuat Triwiyono harus rela bolak-balik dari kontrakan ke kampung untuk melakukannya.
Namun upaya ‘penghijrahan’ itu ternyata tak mampu menggeser kekukuhan tekad Tri untuk berkiprah di bidang peternakan sapi perah. Pengalaman menjadi loper susu bersepeda semasa mahasiswa yang berawal dari enam konsumen lantas berkembang sampai jadi puluhan pelanggan plus bonus pengetahuan seluk beluk seputar tata niaga susu segar yang diperolehnya saat melakoni periode itu menjadi tambahan energi baginya untuk dapat mewujudkan mimpi. Istrinya yang juga yunior Tri di Unair, drh Heni Agustiningsih, ikut menyokong perjuangan Tri dengan berjualan susu murni olahan berbagai rasa untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
”Saya ambil susu segar terbaik dari peternakan kakak lalu dimasak dengan menambahkan gula pasir murni dan flavour coklat serta leci.” Papar Heni yang memasarkan susu dalam kemasan plastik 250 ml dan dilepas ke pasar dengan harga Rp. 500- Rp.600 per bungkus ,”Distribusinya dilakukan oleh 35 orang loper susu dan sehari bisa habis sekitar 200 liter.”
Sementara istrinya berjibaku dengan urusan rumah tangga sambil berjualan susu, Tri dengan motor tua Vespa-nya sibuk membina para anggota Koperasi Unit Desa (KUD) di Mojoagung, Rejotangan, Tulungagung, dan Wonosalam. Namun bila ada loper susu yang sakit, maka Tri tak sungkan turun tangan menggantikannya mengantar susu ke rumah-rumah pelanggan. Bukan hanya itu, sebagai dokter hewan Tri pun menerima panggilan untuk mengobati sapi yang terkena penyakit maupun membutuhkan inseminasi buatan.
Sapi kurus akhirnya mendapat ‘teman’ berupa titipan dua ekor sapi dari kakak sepupunya, almarhumah Hj Sriunon, dan anak-anak sapi dari kerabatnya Darmadi hingga akhirnya kiprah perintisan budidaya sapi perah Tri mendapat kucuran modal dari PT Semen Gresik,” Almarhum Pak Kusnaryo yang membantu kami dalam mengakses modal itu.” Ujar Heni yang akhirnya diminta suami tercinta untuk fokus menjadi ibu rumah tangga. Usaha susu murni kemasannya dialihkan pengelolaannya pada adik iparnya, Handoko.
Tri yang memutuskan kembali ke desa agar lebih fokus pada pengembangan usaha sapi perah, bekerja tak kenal lelah melakukan pembinaan pada para peternak yang baru memiliki 1-2 ekor sapi . Bahkan tak ragu merogoh kantong sendiri untuk membelikannya bagi para pemula yang hanya bermodal kemauan kuat atau bila ada sapi yang mati. Totalitas empatik demikianlah yang akhirnya membuat Tri dijadikan figur panutan di wilayah Nongkojajar (Pasuruan).
[caption caption="Sapi kurusnya telah bertiwikrama jadi pemasok susu berskala nasional (dok BDL)"]
Kebijakan tata niaga susu nasional di era Presiden Suharto yang mewajibkan para peternak membentuk wadah koperasi serta bergabung dalam Ikatan Koperasi Susu Indonesia (IKSI) agar bisa memasarkan susu segar pada perusahaan-perusahaan besar, melatarbelakangi lahirnya Koperasi ‘Jaya Abadi’ pada tahun 1995 dengan posisi Triwiyono sebagai ketua didampingi oleh saudara-saudaranya Amor Kodrat, Handoko, dan Panggih Suparmadi sebagai pengurus sesuai bidangnya masing-masing bertahan sampai sekarang. Bukannya tidak mau regenerasi atau apa, namun saking percayanya para anggota pada kapabilitas mereka mengelola koperasi.
”Lha wong gak ada yang mau dijadikan pengurus.” Ujar Tri dengan ekspresi jenaka,”Mereka mau fokus ngurus sapi, urusan tetek bengek lainnya terserah Pak Tri … begitu ngomongnya.”
Kehandalan Triwiyono sebagai konsultan peternakan sapi perah memang tak perlu diragukan lagi, para pengelola berbagai peternakan besar dari dalam maupun luar negeri sampai saat ini akan mendatanginya untuk membahas solusi tentang berbagai masalah pelik dalam budidaya sapi perah mereka. Pejabat dari kementerian Malaysia dan Brunei bahkan pernah mengejar Tri sampai ke Blitar untuk memintanya bergabung mengelola peternakan nasional mereka. Namun lelaki pecinta hewan besar itu tak bergeming dari tekad awalnya untuk berjuang membesarkan peternakan sapi perah di negeri sendiri.
Rata-rata 100 ton liter susu segar setiap hari didistribusikan Koperasi ‘Jaya Abadi’ pada perusahaan susu olahan yang menjadi mitra mereka. Pasokan susu itu, selain berasal dari peternakan sapi milik Triwiyono dan saudara-saudaranya, juga diperoleh dari para peternak binaan mereka yang menyetorkan susu segar ke cooling center di beberapa tempat di Jawa Timur, yakni Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, dan Malang. Manajemen bisnis modern digunakan Tri dan saudara-saudaranya untuk menjalankan roda koperasi karena pengelolaan koperasi gaya lama yang berpatokan pada UU Koperasi Tahun 1992 dinilai sudah sangat tidak kondusif dalam meningkatkan kesejahteraan peternak, khususnya para peternak rakyat.
Ayah dari tiga orang putra-putri yang gemar mengenakan topi koboy saat beraktifitas ini memberlakukan kebijakan edukatif, yaitu setiap peternak binaan yang telah berhasil mengembang-biakkan sapi modal sampai menjadi 10 ekor dibebaskan dari ikatan kemitraan dan didorong menjadi peternak pengusaha mandiri, Tak terhitung banyaknya cerita sukses yang lahir dari kebijakan ini,”Alhamdulillah, harapan pribadi saya sudah tercapai lewat usaha sapi perah ini.” Ujar Tri yang bersama keluarganya sudah berkali-kali ke Tanah Suci untuk berhaji ini,”Tinggal memikirkan upaya regenerasi dan kesinambungan pembinaan para peternak sapi lainnya agar bisa hidup lebih mapan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H