Mohon tunggu...
Da'i Bachtiar
Da'i Bachtiar Mohon Tunggu... -

Kapolri, November 2001 - Juli 2005;\r\n\r\nDubes LBBP RI untuk Kerajaan Malaysia, Mei 2008 - Juni 2011;\r\n\r\nKetua Presidium LCKI, September 2005 - saat ini\r\n

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ingat 'teroris', Ingat 'Densus 88'

8 November 2012   08:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:46 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Solo yang tenang dalam kehidupan rakyat kesehariannya, setenang aliran sungai Bengawan Solo, sebagaimana yang digambarkan oleh komponis Gesang (Alm) dalam lagunya yang berjudul 'Bengawan Solo',  tiba-tiba dikejutkan oleh meledaknya bom di pos penjagaan polisi tak jauh dari Tugu Gladak, dan diikuti penyerangan terhadap seorang petugas polisi di Plasa Singosaren Solo, Bripka Polisi Dwi Data Subekti. Walaupun sebenarnya telah diawali dengan ledakan bom di Gereja Katholik Raja Kristus di Sukoharjo, masyarakat Solo dibuat terperangah dan mata telinganya dibuka lebar-lebar, ada apa ?  mengapa Solo ? adakah hubungannya dengan Mas Jokowi (Joko Widodo), sang Walikota yang mau mencalonkan diri menjadi kandidat Gubernur DKI Jakarta, yang Ibu Kota Negara, dan penduduknya sekitar 11 juta dimalam hari, entah berapa lagi pada siang hari ?, sementara Kota Solo, hanya sekitar 500 ribu jiwa  saja.

Dalam analisa Polri sebelumnya, sekitar Solo dan Yogyakarta, bukanlah termasuk dari daerah sasaran teroris untuk diserang, karena daerah itu merupakan tempat 'bersembunyi' (safe places) bagi teroris sendiri. Oleh karena itu kepada sejumlah media, saya katakan kalau penyerangan itu benar-benar dilakukan oleh teroris, itu berarti, mereka siap 'perang', tidak ada lagi sesuatu yang disembunyikan. Berikutnya tentu kita dikejutkan oleh pemberitaan media, tentang suatu penyergapan yang dilakukan oleh 'Densus 88'.  Dalam penyergapan itu, telah gugur anggota Densus 88, Bripda Polisi Suherman, yang kemudian oleh Pimpinan Polri dianugerahkan kenaikan pangkat anumerta, dan pemakaman dengan upacara kebesaran Polri.

Detasemen khusus 88, merupakan unit operasional dalam Polri, yang terbentuknya merupakan suatu tuntutan kebutuhan tugas-tugas operasional Polri, yang dihadapkan pada adanya ancaman terorisme.  Ancaman terorisme di negara kita, mulai semakin nampak seiring dengan perubahan politik dalam negeri, diawali pada tahun 1998.  Implikasi gangguan keamanan yang dihadapi waktu itu, dengan munculnya bentuk-bentuk kejahatan yang dilakukan secara berkelompok dan terbuka atau lebih dikenal dengan istilah 'penjarahan';  kita saksikan penjarahan terhadap toko2, pusat2 perbelanjaan, tambak2 ikan, perkebunan.  Disamping itu juga muncul adanya ledakan bom, yang terjadi di tempat2 ibadah, terutama gereja2, sekali waktu juga mesjid (mesjid Istiqlal), tempat2 umum (pusat perbelanjaan, bandara, perkantoran), kantor2 Pemerintahan.  Kondisi keamanan saat itu, juga muncul konflik komunal, seperti yang terjadi: di Sanggoledo, Kalbar;  di Sampit, Kalteng; di Poso, Sulteng;  di Ambon, Maluku. Sementara itu aparat keamanan, masih disibukan menghadapi gangguan seperatisme: di Aceh dan Papua. Terjadi pula, ledakan bom yang menimbulkan korban besar dan merontokan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia, yaitu apa yang dikenal dengan peristiwa 'bom Bali' pada tanggal 12 Oktober 2002.

Peristiwa Bom Bali ini, menuntut perhatian Presiden Megawati, untuk datang ke tempat kejadian perkara (TKP) di Kuta, Bali, dan satu hari setelah peristiwa itu, Presiden memanggil sidang kabinet lengkap (paripurna), untuk membahas peristiwa tersebut, serta langkah2 yang harus diambil oleh Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan bangsa ini.  Dalam sidang kabinet ini, Kapolri waktu itu (saya sendiri), melaporkan peristiwa serta langkah2 yang dilakukan dan akan dilakukan. Sebagaimana biasanya dalam sidang kabinet paripurna, Presiden selaku pimpinan sidang memberikan kesempatan kepada semua Menteri itu memberikan pendapat dan pendangannya. Pada umumnya, para Menteri sangat prihatin dan kecewa atas peristiwa dan kerja Polri. Dalam kesempatan itu, sebagai Kapolri saya menyampaikan, bahwa perlu difahami banyak pihak, tugas Polri memang mencegah terjadinya kejahatan apapun, termasuk serangan teroris, tapi kalau peristiwa itu tetap terjadi, maka tugas berikutnya, yaitu mengungkapkan kasus tersebut, tetapi  kalau tugas mengungkapkan juga tidak berhasil, maka dapatlah itu sebagai suatu kegagalan total.  Untuk itu, saya menyampaikan kepada pimpinan sidang Kabinet, bahwa kalaulah saya masih diberikan kesempatan, saya akan bekerja keras untuk mengungkapkan peristiwa tersebut, namun andaikata saya waktu itu sudah dianggap gagal, saya siap untuk diganti, dan kalau saya gagal pula untuk mengungkapkan dalam waktu yang ditetapkan Presiden, saya akan mengundurkan diri.

Rupanya saya diberikan kesempatan oleh Presiden mengungkapkan kasus tersebut. Dengan kerja keras seluruh jajaran Polri dan dukungan berbagai pihak, dalam waktu satu bulan, kurang satu hari, peristiwa itu dapat diungkapkan, diawali dengan tertangkapnya Amrozi (telah menjalani hukuman mati).  Tim investigasi yang saya bentuk, dengan mengangkat Irjen Pol Drs. Made Mangku Pastika (sekarang Gubernur Bali), sebagai pimpinannya, merupakan cikal-bakal (embrio) terbentuknya Densus 88.  Latar belakang dibentuknya Tim Investigasi, dengan menunjuk Irjen Pol Made Mangku Pastika, yang saat itu masih menjabat Kapolda Papua, sementara di Bali sendiri ada Kapoldanya, ada beberapa alasan yang saya pertimbangkan.  Situasi masyarakat Bali, harus dikelola dengan seksama, karena jangan sampai terprovokasi dengan isue yang berkembang saat itu, yaitu: akan adanya keinginan mengusir para pendatang, yang umumnya mereka Muslim.  Indikasi berkembangnya isue itu, saya sendiri menghadapinya, yakni disaat saya sholat Jum'at disalah satu mesjid didekat lokasi terjadinya bom (Lima hari setelah pemboman).  Para jamaah di mesjid itu, setelah sholat berjamaah selesai, mereka tidak mau meninggalkan mesjid, sebelum saya, berbicara didepan mereka semua, untuk memberikan jaminan keamanan, terhadap kemungkinan penyerangan dan pengusiran dari penduduk setempat.  Dari situlah saya berpikir, bahwa sebaiknya Kapolda Bali lebih konsentrasi pada pengelolaan situasi masyarakat, tidak disibukan oleh tugas2 investigasi kasus bom tersebut.   Alasan berikutnya, tidak hanya karena kapabilitas dari seorang Made Mangku, juga karena dia, dari Bali, diharapkan akan lebih menambah dukungan dari masyarakat Bali. Disamping itu juga Tim ini harus dapat bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk kepolisian negara sahabat, dalam pandangan saya, bahwa Made Mangku, memenuhi persyaratan untuk itu.

Setelah Tim Investigasi terbentuk,  Tim diarahkan pada tugas-tugas: pertama, pengolahan TKP (crime scene processing), yang didasari pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (scientific crime investigation), yang kedua, analisa penyelidikan (intelligent analytic) untuk menemukan pelakunya, yang ketiga, melakukan pengejaran, penyergapan dan penangkapan (striking force).  Memetik pengalaman pengungkapan kasus bom Bali tersebut, dimana dari hasil pengolahan TKP mendapatkan ciri-ciri dari kendaraan yang digunakan oleh pelaku (Mobil Toyota L-300), merupakan hasil dari Tim scientific investigation, yang diteruskan kepada Tim penyelidikan yang mengolahnya, dan akhirnya ditindak lanjuti oleh Tim pengejaran, penyergapan, penangkapan (penindakan), maka ditangkaplah Amrozi, Imam Samudra, Ali Gufron dkk. Itulah sebenarnya kerja terpadu dari Tim Investigasi tersebut.

Keberhasilan Tim investigasi ini, tentu dijadikan suatu pemikiran atas adanya tuntutan dan kebutuhan operasional dalam menghadapi ancaman terorisme, yang diperkirakan terus akan terjadi.  Oleh karena itu, maka tugas-tugas penanganan terorisme, diwadahi dalam organisasi ditingkat pusat, yang juga dapat dibentuk di daerah-daerah sesuai kebutuhan, karena sifatnya kumpulan dari berbagai kemampuan, maka bentuk organisasi yang cocok, menggunakan nama 'detasemen',  karena lingkupnya sasaran khusus yaitu terorisme, maka ditambahkan 'khusus'. Nah nama '88', itu sebenarnya merupakan lambang dari penegakkan hukum, lihat 'borgol' (pengikat tangan/kaki pelaku kejahatan).  Setelah dikenal oleh publik adanya detasemen ini, muncul pertanyaan, mengapa dinamakan ' Densus 88' ?, apakah ada hubungannya dengan korban yang meninggal dunia dari warga negara Australia, yang kebetulan berjumlah 88 orang ?, Ada juga yang seperti ditanyakan oleh kalangan tertentu, bahwa apa mungkin meniru nama Den 81, yang dimiliki oleh Kopassus ? Dan juga, mengapa dibentuk suatu detasemen lain, sementara sudah ada Den 81, yang tugasnya sama ?

Disinilah ingin ditunjukan oleh Polri, bahwa ancaman teroris ini, sangat luas cakupannya dilihat dari kaca mata penegakkan hukum.  Sebagaimana dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, bahwa segala macam tindakan yang mengancam, membuat ketakutan dikalangan masyarakat dari kadarnya yang rendah hingga yang tinggi, bisa terjadi ditengah masyarakat kita.  Contohnya yang tingkat rendah (ringan), teror melalui telepon, kiriman bom paket, dll.  Pada kasus seperti ini tentu cukup ditangani oleh Polri (sebagai penegak hukum), sedangkan pada kadarnya yang tinggi, tentu tidak saja oleh Densus 88, tetapi juga dapat digunakan Den 81 (penggunaan TNI sesuai UU TNI), ataupun dalam bentuk kerjasama dan keterpaduan tindakan.

Kini kehadiran Densus 88, sering kita saksikan melalui media masa,  pada saat  muncul kembali serangan teroris, baik berupa adanya ledakan bom ataupun serangan terhadap markas/kantor Polri,  ataupun tampilnya sepasukan bersenjata dengan pelindung kepala dan badan, bahkan wajahnyapun menggunakan penutup, kesannya 'seram', apalagi kadangkala kita, menyaksikan tahanan teroris yang digelandang dengan kaki dan tangannya diborgol, dikawal anggota Densus 88, yang nampak seram, sementara teroris-nya, secara fisik lebih kecil badannya dari pengawalnya.  Kalau tidak kita ingat akan perbuatan dan akibat yang dilakukan oleh para teroris itu, yang menimbulkan kehancuran yang besar dan menimbulkan korban manusia yang pada umumnya (innocent people), saya yang bekas Polisi, pikiran saya 'terganggu' juga untuk timbul rasa iba, terhadap penampilan mereka 'seperti orang yang tidak bersalah dan berdosa'. Tampilan seperti ini, kadang saya ingin ingatkan, pada teman2 Densus 88, bisakah tanpa mengurangi akan kewaspadaan dan kesigapan menghadapi teroris yang sudah tertangkap, untuk dihindari ditampilkan dimata publik seperti itu. Dalam pandangan saya, karena latar belakang ataupun motif teroris ini, adalah keyakinan yang bersifat ideologis, bahwa mereka tidak merasa 'bersalah'. Tidakkah mereka tidak takut dihukum, ataupun mati, melalui 'konsep jihadnya' ?.  Tampilan tersebut sangat mungkin,  akan dimanfaatkan oleh tokoh2nya, untuk memprovokasi anak2 muda 'simpatisan', calon-calon teroris , untuk mengembangkan kebencian terhadap Polri, khususnya Densus 88. Seiring juga adanya berbagai pertanyaan, tentang munculnya teroris baru, dalam usia yang masih muda.

Barangkali perlu juga, kita renungkan adanya informasi, bahwa para tokoh dari teroris ini dalam merekrut anggota, selalu menggunakan isue tentang 'adanya ketidakadilan terhadap golongan muslim diberbagai tempat di dunia' (di Palestina, Irak, Afghanistan, Thailand Selatan, Filipina Selatan, termasuk 'Poso' dan 'Ambon'). Seperti apa yang disampaikan oleh teroris Ali Gufron (Mukhlas) - ybs telah diekskusi hukuman mati -  yang menyampaikan kepada saya, di Kantor Polda Bali, bahwa "pertama:  saya (Mukhlas) apresiasi kepada Polri, karena sudah memperlakukan saya sebagai teroris secara manusiawi;  yang kedua, bahwa kalaulah saya nanti dihukum mati, apabila di dunia ini masih saja ada ketidakadilan terhadap muslim, maka akan lahir ribuan Mukhlas".   Senada itu juga, yang disampaikan oleh teroris Imam Samudra  - ybs telah dieksekusi hukuman mati -  kepada saya, pada saat saya periksa di Kantor Polres Pandeglang , Banten. Imam Samudra, bertanya, sebelum bapak bertanya kepada saya, lebih dulu saya tanya bapak, apakah bapak muslim ?, saya jawab ya muslim, sambil saya tambahkan, bahwa nama saya saja sudah 'Da'i'.  Intinya, dia mengakui semua perbuatannya, dan dia berjuang untuk membela muslim.  Dan kalau masa itu, yang dijadikan sasaran teroris adalah 'simbol2 barat'  yang ada di kita, kini justeru yang diserang adalah 'simbul2 kekuasaan negara' khususnya Polri.

Hal ini, memang merupakan risiko bagi Polri yang mengemban tugas negara dalam menanggulangi terorisme dengan konsep menegakkan hukum, dengan prinsip2 berdasarkan hukum dan tidak melanggar hukum, tidak juga melanggar hak azazi manusia, dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Sepanjang prinsip2 itu dijalankan, Polri tidak perlu khawatir dengan tudingan apapun, oleh kelompok manapun, namun perlu juga dipikirkan, apakah ada hal-hal yang dapat dijadikan provokasi untuk membenci dan melakukan perlawanan terhadap aparat negara, seperti salah satunya sebagaimana  yang saya sampaikan dibagian depan tulisan ini ?.

Kemampuan Densus 88 sebagaimana telah diuraikan, yaitu analytic intelligent, scientific crime investigation, striking force. Tetapi yang sering nampak dan dilihat publik melalui media, yakni kemampuan striking force, seperti  tindakan anggota Densus 88 dalam penyergapan, penangkapan terhadap tersangka teroris. Walaupun sebenarnya, mereka yang menyergap, menangkap, merupakan hasil dari proses sebelumnya, seperti penganalisaan intelijen ataupun pengolahan TKP. Informasi seperti ini, perlu diketahui oleh publik, untuk tidak menjadi bias, melihat sosok tampilan luar saja, tanpa difahami kemampuan yang sebenarnya dimiliki oleh Densus 88, yang mengemban tugas untuk menegakkan hukum terhadap ancaman terorisme. Walaupun kadangkala, menjalankan tugas2 lain, seperti usaha-usaha (yang terbatas ) untuk menyadarkan (deradikalisme) terhadap para teroris selama dalam masa tahanan. Akhirnya semoga kita  sependapat, bahwa Polri, khususnya Densus 88, mampu mengawal negara dan bangsa ini dari serangan terorisme, dibanggakan bangsanya, ditakuti dan disegani lawannya, yaitu teroris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun