Karena itu yang menarik juga dari temuan LIPI ini adalah terkait dengan para aktor. Kalau disederhanakan setidaknya terdapat tujuh aktor dalam konflik Papua ini. Yaitu Pemerintah, OPM, Presidium Dewan Papua (PDP), Dewan Adat Papua, Gereja dan Lembaga Keagamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat serta pemimpin adat atau kepala suku.
Pemerintah pro NKRI, OPM-PDP pro Kemerdekaan dan selebihnya berada di tengah.
Bagi kelompok pro Kemerdekaan misalnya, sumber konflik sama sekali  tidak terkait dengan isu-isu kesejahteraan atau pembangunan. Mereka hanya konsen kepada dua sumber pertama dari empat sumber konflik yang disebutkan di atas. Khususnya OPM, yang didirikan pada tahun 1965 dimaksudkan untuk mempengaruhi hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969.
Dukungan rakyat Papua dan komunitas internasional kepada kelompok pro kemerdekaan ini akan bertambah kalau Pemerintah gagal dalam memperoleh dukungan kelompok tengah, yang bagi mereka sumber konflik lebih dominan adalah kegagalan pembangunan, inkonsistensi otsus dan kekerasan politik serta pelanggaran HAM.
Menurut saya, peringatan ini patut untuk diperhatikan Pemerintah. Terutama kalau melihat Updating Papua Road Map (2017) yang dipublikasi LIPI untuk menganalisis  kembali dinamika konflik dan persoalan Papua serta melihat relevansi Papua Road Map dengan situasi terkini.
Secara umum, persoalan dan solusi yang ditawarkan masih relevan. Dalam Updating Papua Road Map, hanya menekankan dua hal. Pertama, dari dialog hanya sebagai solusi atas satu persoalan menjadi pendekatan terhadap semua sumber konflik. Kedua, kemunculan aktor baru.
Aktor baru tersebut adalah Jaringan Damai Papua (JDP), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Parlemen Nasional West Papua (PNWP), dan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB). JDP masuk dalam kelompok tengah. Tiga lagi merupakan pro kemerdekaan.
Masing-masing dari ketiga kelompok pro kemerdekaan ini memiliki basis massa, milisi dan jaringan internasional. Bahkan untuk menyolidkan gerakan menuju kemerdekaan Papua, ketiganya bersatu dalam wadah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sehingga mereka semakin eksis di dunia internasional. Bahkan ULMWP telah diterima sebagai observer (peninjau) dalam Melanesian Spearhead Group (MSG), organisasi negara-negara berlatar belakang budaya Melanesia.
Permainan Insurgensi
Dengan demikian, kelompok pro kemerdekaan Papua tidak hanya mengandalkan senjata. Tetapi memanfaatkan berbagai sarana dan momentum untuk mencapai tujuan.
Lagi pula, tidak ada pemberontakan di negara manapun yang berhasil memenangi perang kalau hanya dengan kekuatan senjata. Insurgen memelihara kekuatan bersenjata sesungguhnya hanya untuk menunjukkan eksistensi perlawanannya yang heroik kepada penduduk lokal dan masyarakat internasional (Prabowo, 2016).