Mohon tunggu...
Dahnial Ilmi
Dahnial Ilmi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hanya ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Persiapan Menyambut Tahun Politik: Calon Pemilih Harus Kritis dan Politis

4 Desember 2013   21:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mayoritas masyarakat Indonesia tampaknya lebih mengutamakan popularitas dalam menentukan pilihan di ajang pemilihan umum. Baik itu dalam pemilihan anggota legislatif, kepala daerah, hingga pemilihan presiden. Kandidat yang sebelumnya sudah bernama, penampilan menarik, wajah familiar, rajin diliput media, berpeluang besar untuk memenangkan hati masyarakat calon-calon pemilih yang akan mengundi nasib pada pemilihan umum kelak.

Jika seseorang berasal dari kalangan terkenal, setidaknya ia sudah punya modal bagus untuk maju sebagai kandidat. Tak perlu lagi repot-repot mengorbankan pikiran, tenaga, dan dana besar untuk memperkenalkan diri menarik simpati masyarakat. Terlebih lagi si kandidat ini merupakan sosok idola, seperti artis misalnya. Dengan kondisi dan cara berpikir mayoritas masyarakat dewasa ini tentunya ia berpeluang besar meraup banyak suara dalam pemilihan umum sekaligus mendongkrak elektabilitas partai yang mengusungnya.

Pola pikir mayoritas masyarakat dalam memilih pemimpin memang cenderung lebih mengedepankan popularitas daripada kualitas. Seolah tidak perduli bagaimana latar belakang, jejak rekam, dan sepak terjang si calon pemimpin ataupun calon wakil rakyat. Sosialisasi dan pencitraan yang kian marak terbukti sukses untuk menarik simpati masyarakat. Masyarakat terlanjur terhipnotis oleh pesona-pesona kandidat yang secara masif diberitakan dan diiklankan oleh media. Terutama bagi mereka yang memang sudah berkuasa terhadap media di Indonesia, seperti media cetak, televisi, dan media online. Melalui medianya ia dapat dengan mudah mengontrol opini publik. Hal itu seperti tameng yang menjadikan mereka kebal akan sikap-sikap kritis dari masyarakat. Saking fanatiknya bahkan ada rakyat yang mati-matian membela sosok yang mereka sukai ketika ada kritik yang dilayangkan kepada sosok tersebut. Jika sudah begini tentunya hal itu bukan lagi cerminan masyarakat berpola pikir yang politis dan demokratis.

Bisa kita lihat dewasa ini ramai caleg yang berasal dari kalangan artis. Ada lagi yang menjual nama orang tua atau orang terdekatnya yang sudah terlebih dulu sukses untuk mendongkrak popularitas. Hingga memampang gambar tokoh-tokoh nasional di belakang fotonya pada atribut-atribut kampanye yang bertebaran di setiap sudut keramaian. Hal ini dilakukan tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk mengangkat nama si kandidat dan menarik simpati masyarakat. Tidak salah memang. Dan bukan berarti pula penulis meragukan kualitas para kandidat tersebut.

Ada pula fenomena di mana sebagian masyarakat tidak mau menyumbangkan suara lantaran tidak menerima uang dari para kandidat yang maju dalam pemilihan umum. Mereka hanya memilih jika ada kandidat yang memberi mereka uang. Belakangan ini juga ditemukan banyak TPS yang sepi pemilih. Seperti akhir-akhir ini, pemilu kepala daerah misalnya. Kita juga sering melihat di televisi para petugas di TPS melakukan berbagai usaha kreatif untuk menarik minat warga untuk berpartisipasi menyumbangkan suara.

Tentunya kita tak bisa menyalahkan masyarakat dalam fenomena seperti itu. Hal itu bisa jadi dikarenakan sebelumnya masyarakat dibiasakan oleh politik uang yang dilakukan beberapa oknum kandidat pemimpin dan wakil rakyat dalam berkampanye. Sehingga membentuk ajaran sesat di masyarakat. Secara tidak langsung memberikan pemahaman keliru kepada masyarakat dalam hidup berdemokrasi. Terlepas dari itu, tentunya banyak juga masyarakat kita yang sudah cerdas dalam menghadapi politik uang. Mereka berpedoman; “ambil uangnya, namun pilihan tetap sesuai hati nurani”.

Pesta Demokrasi Indonesia tidak lama lagi akan dilangsungkan. Sebagai warga negara yang baik, tentunya kita harus bersiap-siap menyambut pesta besar ini. Melalui ajang inilah kita menentukan nasib bangsa dan negara kelak. Di pesta ini kita memilih dan mempercayakan orang-orang pilihan sebagai wakil kita di kursi dewan untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia. Di pesta ini juga kita memilih pemimpin yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik di segala bidang.

Jangan ada lagi golput. Karena golput bukanlah solusi terbaik yang akan membawa perubahan. Dengan ikut menyumbangkan suara, setidaknya kita turut menyumbangkan harapan dan turut berperan demi kebangkitan Indonesia. Sebagai warga negara yang baik, haruslah kita berperan serta demi Indonesia.

Indonesia adalah negara demokrasi. Sebagai warga negara Indonesia tentunya kita juga harus berperan aktif dalam kehidupan berdemokrasi. Namun, sebelum turut berperan serta hendaknya kita menjadi pribadi yang tahu dan mengerti apa dan bagaimana kehidupan berdemokrasi yang sarat unsur politis tersebut. Sebelum dilaksanakan pemilu marilah kita menjadi sosok yang cerdas memilih dan berpola pikir politis pula. Jangan sampai kita mudah untuk dipolitisir, abaikan popularitas, utamakanlah kualitas. Kita harus tahu apa yang kita pilih sehingga kita tidak salah pilih. Ibarat kata pepatah, “janganlah memilih kucing dalam karung.”

Demi nasib kita dan demi Indonesia yang kita cintai ini mulai dari sekarang kita tentukan seperti apa dan bagaimana calon wakil rakyat di kursi dewan, dan bagaimana pemimpin yang kita dambakan. Ibarat menulis sebuah naskah drama, kita harus tentukan temanya dulu. Selanjutnya kita tentukan bagaimana karakter pemerannya sehingga menghasilkan sebuah pertunjukan yang memuaskan.

Begitu juga dengan memilih kandidat pemimpin dan wakil rakyat. Kita buat tema dan kita tentukan kriteria seperti apakah yang sekiranya mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Seringkali selama ini kita selalu menginginkan pemimpin baik, wakil rakyat yang baik, namun kita tidak menentukan kriterianya dan tidak tahu pemimpin baik yang kita butuhkan itu seperti apa. Maka jadilah kita asal pilih, mengandalkan popularitas kandidat tanpa memperdulikan kualitas, sehingga terjadilah seperti yang sudah-sudah. Awalnya pemimpin puji, di akhir kepemimpinan dicaci maki. Salah siapa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun