Malam ini aku masih menanti suamiku kembali tugas. Hanya seekor kucing kesanyangan suamiku yang dengan setia menemaniku selama suamiku pergi tugas. Mumu, begitu kami biasa memanggil kucing itu. Bulunya lebat berwarna coklat keemasan. Umurnya baru satu tahun. Dua bulan yang lalu Mumu baru saja menjadi yatim piatu, karena ibunya yaitu Meimei kucing piaraan suamiku yang sebelumnya baru saja mati karena sakit. Sedangkan ayahnya entah kemana mungkin telah mendapat kucing betina yang baru.
Hujan mengguyur desaku. Hujan malam ini sangat deras sehingga terdengar suara hujan seperti batu berjatuhan di atas genting. Seram sekali.
Aku dan suamiku telah berumah tangga selama lima tahun dan kami telah dikaruniai seorang putri yang cantik. Nabila. Begitulah sebutan kami kepada putri kami yang masih berusia tiga tahun. Kami bahagia saat mendapatkan putri yang begitu lucu dan sangat kami harapkan.
 "Mengapa hujan tiada berhenti sejak dua jam yang lalu?" Gerutuku di bibir jendela sambil meratapi hujan yang tiada kunjung berhenti bahkan semakin deras. Aku melamun menatap titik demi titik air hujan yang turun dari atap bumi dan mulai menggenang di depan beranda rumah.
"Meong... meong... meong," lamunanku terpecah ketika Mumu menjilat kakiku dan seperti hendak memberitahu sesuatu
kepadaku. Aku mengikuti Mumu yang berlari menuju kamar tidurku. Pasti telah terjadi sesuatu.
Sontak, aku langsung kaget melihat tubuh mungil putriku kejang-kejang. Ketika aku pegang dahinya ternyata suhu badannya sangat tinggi. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Kucoba menghubungi suamiku namun sulit sekali mendapatkan sinyal saat cuaca seperti ini. Akhirnya kuputuskan untuk menemui dokter jaga di puskemas.
"Mumu, kutitipkan Nabila kepadamu," kataku seolah-olah Mumu mengerti yang kuperintahkan.
"Meong... meong... meong," sahut Mumu seakan-akan mengerti yang kuperintahkan.
Jarak anatara rumahku dengan puskesmas kurang lebih dua kilo meter. Aku harus menggunakan jasa ojek untuk menuju puskesmas. Namun, malam ini tidak ada ojek yang mangkal karena hujan sangatlah lebat.
Kuputuskan untuk menemui pak Sudarwan satu-satunya orang yang memiliki mobil di desa kami, itu pun mobil yang biasa dipakai untuk mengirim kerbau ke kota. Untunglah pak Sudarwan meluluskan yang aku minta. Dengan sigap ia menyiapkan mobil miliknya dan kami bergegas menuju puskesmas.