Orang-orang desa berlarian panik, tetapi Arka berdiri di tengah jalan utama, menghadang makhluk itu. "Berhenti!" teriaknya dengan suara yang lebih tegas dari sebelumnya.
Makhluk itu mengaum, tetapi ketika melihat pedang di tangan Arka, ia mundur sejenak. Pedang itu bersinar terang, seolah-olah merespons keberanian pemiliknya.
Dengan lompatan kecil namun penuh tekad, Arka menyerang makhluk itu. Pedang kecilnya tampak tak berarti melawan tubuh raksasa itu, tetapi setiap kali ia menyerang, cahaya dari pedang itu melukai makhluk tersebut. Pertarungan berlangsung hingga matahari terbenam. Akhirnya, dengan satu serangan terakhir, makhluk itu tumbang dan menghilang menjadi asap hitam.
Orang-orang desa bersorak. Mereka mengangkat Arka ke udara, memujinya sebagai pahlawan. Namun, Arka hanya tersenyum malu-malu. "Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan," katanya.
Malam itu, peri penjaga pedang muncul kembali. "Kau telah membuktikan dirimu, Arka. Tetapi ingat, menjadi pahlawan bukan tentang kekuatan, melainkan tentang keberanian dan kebaikan hati. Pedang ini sekarang milikmu."
Sejak hari itu, Arka bukan lagi anak kecil yang diremehkan. Ia menjadi pelindung desa, pahlawan kecil dengan hati besar yang selalu siap menghadapi bahaya apa pun. Namun, di hatinya, ia tetaplah Arka yang suka duduk di bawah pohon beringin, bermimpi tentang dunia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H