Perkembangan industri halal menunjukkan hasil yang luar biasa di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Industri halal dewasa ini semakin terlihat sebagai sektor kunci untuk pengembangan ekonomi di Indonesia. Dari segi peringkat, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan lebih dari 245 juta orang sebagai pasar potensial. Â Menariknya, penyumbang terbesar pertumbuhannya adalah Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebut, jumlah sektor bisnis UMKM di Indonesia pada 2021 mencapai 64,19 juta dengan partisipasi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 61,97% atau senilai Rp 8,6 triliun. Untuk meningkatkan kontribusinya yang signifikan, self declare halal atau ikrar halal bagi UMK menjadi sangat krusial.
Bagi masyarakat muslim, mengkonsumsi produk halal adalah bagian dari perintah agama yang dinilai ibadah, hal ini sudah dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Secara hukum di Indonesia, Produk halal ialah Produk Pangan, Obat-obatan, kosmetika, dan Produk Gunaan lainnya yang tersusun dari unsur yang halal dan telah melalui sertifikasi produk halal yang telah dinyatakan halal sesuai dengan Syari’ah (Hukum Islam). Sertifikat halal pada hakikatnya adalah fatwa tertulis tentang kehalalan produk. Sertifikat halal ini tidak bisa dipandang hanya sebagai administratif saja karena menyangkut hakikat dari produk.
Dalam konsteks kenegaraan, beragama adalah hak konstitusional warnagenagara, negara dalam konsteks ini berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warganegara dalam menjalankan perintah agama yang dipeluknya, termasuk ketersediaan produk halal bagi warga negara muslim Indonesia. Umat Islam pada satu sisi kedudukannya sebagai warga negara yang berhak atas perlindungan dalam mengekpresikan kewajiban agamanya, dan pada sisi lain sebagai konsumen, juga berhak atas perlindungan terhadap hakhaknya yang diakui oleh hukum.
Pentingnya label Halal bagi produk ini membuat pelaku usaha berlomba lomba untuk memastikan produknya sesuai dengan standar halal baik dari segi bahan baku maupun proses. Hal ini juga secara otomatis menggeser pelaku usaha yang tidak menerapkan konsep halal dalam proses produksinya dan membuat konsumen Indonesia yang mayoritas muslim ini cenderung lebih memilih produk yang Halal meskipun secara harga atau kualitas sama. Sayangnya, untuk mendapatkan sertifikasi Halal ini diperlukan proses yang panjang dan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu, hanya industri besar saja yang mampu untuk mendapatkan sertifikasi halal ini. Bagi UMK proses sertifikasi halal cenderung diabaikan karena kendala keuangan.
Kehadiran konsep Self Declare Halal beberapa waktu lalu secara praktis mampu mempermudah UMK untuk mendapatkan label halal bagi produknya. Self Declare itu sendiri tidak serta merta pelaku usaha dapat menyatakan produknya halal, namun tetap ada mekanisme yang mengaturnya. Self declare wajib memenuhi syarat tertentu, antara lain harus ada pendampingan oleh pendamping Proses Produk Halal (PPH) yang terdaftar serta proses penetapan halal oleh Komisi Fatwa MUI. Hal ini secara tidak langsung juga akan menggerakkan ekonomi di Indonesia. Maka self declare halal ini mampu menjadi percepatan dalam proses sertifikasi halal khusus produk UMK. Selain prosesnya yang cepat, biaya sertifikasi halal dengan skema self declare ini juga lebih murah daripada skema regular. Dengan mengantongi sertifikat halal pastinya produk UMK akan memiliki nilai tambah di mata konsumen dan dapat lebih bersaing dengan produk produk lain di pasaran.
Terlebih dengan terbitnya Keputusan Kepala BPJPH No 141 Tahun 2021 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH No 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH, diatur terkait ketentuan tarif layanan sertifikasi halal bagi pelaku UMK dengan dua skema, self declare dan reguler.
Pada kedua skema tersebut, tarif sertifikasi  terbagi menjadi dua yakni,  tarif pendaftaran dan penetapan kehalalan sebesar Rp 300.000,- serta tarif pemeriksaan kehalalan sebesar Rp 350.000,-. Akan tetapi pada skema self declare proses pemeriksaan kehalalan dilakukan secara mandiri dan adanya pendampingan Proses Produksi Halal oleh ormas Islam yang berbadan hukum atau perguruan tinggi. Kemudian biaya pendaftaran dan penetapan kehalalan sebesar Rp 300.000,- ditanggung pemerintah melalui APBN, APBD, atau pembiayaan lainnya yang sah dan tidak mengikat. Sehingga tarif layanan sertifikasi halal melalui self declare bagi UMK adalah nol rupiah.
Setidaknya, pelaku UMK harus memenuhi beberapa kriteria seperti produk tidak berisiko, bahan dan proses yang sudah dipastikan kehalalannya. Terkait kehalalan bahan yang digunakan harus bersertifikat halal atau sesuai dengan daftar bahan sesuai Keputusan Menteri Agama No 1360 Tahun 2021 tentang Bahan yang Dikecualikan Kewajiban Bersertifikat Halal. Dalam proses produksinya harus didampingi oleh pendamping PPH yang berasal dari organisasi kemasyarakatan  Islam  yang berbadan hukum dan/atau perguruan tinggi. Hal ini bertujuan untuk memvalidasi pernyataan atau ikrar kehalalan oleh pelaku usaha. Selanjutnya, permohonan self declare diajukan pelaku UMK secara online melalui SIHALAL.
Terbitnya peraturan tersebut, merupakan bentuk komitemen pemerintah dalam memberikan kenyamanan, keamanan dan kepastian atas tersedianya produk halal untuk seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, melalui proses sertifikasi akan membantu pelaku UMK yang memproduksi produk halal memperluas pemasaran produknya hingga menembus pasar global
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H