Perusahaan perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas melalui tata kelola yang baik. Ini mencakup kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dan sosial, serta keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, perusahaan dapat membangun kepercayaan dan reputasi yang baik di mata masyarakat dan investor.
4. Edukasi dan Kesadaran
Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya ESG di kalangan karyawan, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya sangat penting. Kampanye edukasi dapat membantu semua pihak memahami manfaat dari praktik berkelanjutan dan mendorong mereka untuk berkontribusi pada pelestarian lingkungan.
5. Kolaborasi Multi-Pihak
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil sangat penting untuk mempromosikan praktik ESG yang baik. Proyek bersama dapat membantu menyelesaikan masalah lingkungan dan sosial yang relevan, seperti pengelolaan limbah dan akses air bersih.
6. Pengembangan Kebijakan dan Regulasi
Pemerintah perlu membentuk kerangka kerja regulasi yang mendukung penerapan ESG di industri ekstraktif. Ini termasuk memberikan insentif bagi perusahaan yang menerapkan praktik berkelanjutan serta memperkuat lembaga pengawasan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar ESG.
Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, industri ekstraktif kelautan tidak hanya dapat mengurangi dampak lingkungannya tetapi juga berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan yang lebih luas di Indonesia.
Contoh Industri Ekstraktif Kelautan yang Sukses Menerapkan ESGÂ
Industri ekstraktif kelautan di Indonesia semakin menyadari pentingnya penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) untuk mencapai keberlanjutan. Berikut adalah beberapa contoh industri yang sukses menerapkan ESG:
PT Perikanan Indonesia
- Inovasi PULAS: PT Perikanan Indonesia meraih juara II dalam kategori ESG pada I FIND 2023 dengan inovasi bernama PULAS (Purifikasi Laut Andal Semalaman), yang dirancang untuk mengumpulkan polusi dari permukaan air di pelabuhan. Inovasi ini tidak hanya menguntungkan secara lokal tetapi juga memperhatikan kepentingan internasional terkait isu lingkungan laut.
Aruna
- SEA Pledge 2030: Aruna, perusahaan perikanan terintegrasi, meluncurkan SEA Pledge 2030 sebagai komitmen terhadap keberlanjutan. Program ini mencakup pengadaan makanan laut secara berkelanjutan, pemberdayaan pemangku kepentingan, dan advokasi untuk keberlanjutan. Aruna juga berkolaborasi dengan USAID dalam program Ber-IKAN untuk memperkuat ekosistem perikanan skala kecil dan mempromosikan makanan laut berkelanjutan.
PT Vale
- Praktik Pertambangan Baik: PT Vale telah menerapkan praktik pertambangan yang baik selama lebih dari 56 tahun dengan menjaga ekosistem Danau Matano dan merehabilitasi lahan lebih dari dua kali lipat dari luas lahan yang dibuka. Perusahaan ini juga berfokus pada penanganan perubahan iklim dan target Net Zero Emissions pada tahun 2050, serta melibatkan generasi muda dalam inisiatif lingkungan.
PT Pertamina
- Laporan Keberlanjutan: PT Pertamina menunjukkan komitmen terhadap ESG melalui laporan keberlanjutan yang mencakup berbagai inisiatif untuk mengurangi emisi dan meningkatkan kapasitas energi bersih. Pertamina juga terlibat dalam pengembangan ekosistem energi hijau dan mempromosikan transparansi dalam operasionalnya.
Keempat contoh di atas menunjukkan bahwa industri ekstraktif kelautan di Indonesia tidak hanya berfokus pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga berusaha untuk menciptakan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat melalui penerapan prinsip ESG.Â
Tantangan yang Dihadapi Perusahaan Perikanan dalam Menerapkan ESGÂ
Perusahaan perikanan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Tantangan ini mencakup aspek regulasi, budaya bisnis, sumber daya, dan kesadaran pemangku kepentingan. Berikut adalah beberapa tantangan utama yang dihadapi:Â
Tantangan dalam Penerapan ESG
1. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman
Banyak perusahaan perikanan masih kurang memahami manfaat dari penerapan ESG dan bagaimana cara mengimplementasikannya secara efektif. Edukasi dan pelatihan yang terbatas mengenai ESG menjadi kendala dalam meningkatkan pemahaman di kalangan pemangku kepentingan.
2. Keterbatasan Sumber Daya dan Infrastruktur
Implementasi ESG sering memerlukan investasi besar dalam sumber daya manusia, teknologi, dan infrastruktur. Biaya yang tinggi menjadi hambatan, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang mungkin tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menerapkan inisiatif ESG.
3. Budaya Bisnis yang Belum Mendukung