Pandemi Covid-19 menyebabkan Indonesia memerlukan pengeluaran yang tidak sedikit untuk mengatasi dan memulihkan perekonomian. Proyeksi pembiayaan utang pemerintah meningkat dari 741.8 Triliun menjadi 1.645 Triliun. Kemudian defisit anggaran yang dialami juga menjadi 6.34 persen dari PDB (Kementrian Keuangan, 2020).
Tekanan tersebut menyebabkan pemerintah yaitu kementrian keuangan memiliki beban yang sangat besar. Oleh karena itu, kebijakan burden sharing ini dilakukan untuk membagi beban kepada bank sentral yaitu Bank Indonesia agar kebutuhan di dalam mengatasi dan memulihkan Indonesia dapat terpenuhi.Â
Sejarah Burden Sharing dan Independensi Bank Indonesia
Burden sharing merupakan kebijakan dimana pemerintah dan bank sentral saling berbagi beban pembiayaan. Kebijakan ini bukanlah kebijakan yang baru, hal tersebut dikarenakan kebijakan ini pernah diterapkan pada Asian Financial Crisis atau disebut dengan krisis moneter 1997-1998. Bentuk burden sharing yang dilakukan pada masa itu adalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Bantuan tersebut dilakukan agar likuiditas bank yang bermasalah dapat teratasi, sehingga risiko sistemik yang dipaparkan tidak terlalu parah. Namun, konsekuensi yang ditanggung oleh Bank Indonesia menjadi lebih berat (Tarmidi, 1998). Hal tersebut dikarenakan Bank Indonesia yang awalnya hanya fokus pada stabilitas nilai rupiah menjadi melakukan interverensi pada bank -- bank yang bermasalah.
Penyelamatan bank tersebut memberikan sentimen negatif terhadap nasabah sehingga terjadi bank run. Nilai rupiah menjadi tidak terkendali sehingga menyebabkan inflasi besar -- besaran yang memangkas daya beli masyarakat. Sehingga pada tahun 1999, Bank Indonesia menjadi lembaga independen yaitu merupakan lembaga negara yang independen bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya agar dapat fokus kepada stabilitas nilai rupiah (NKRI, 1999)
Burden Sharing pada Pandemi Covid-19
Berdasarkan siaran pers oleh Kementrian Keuangan (2020), skema burden sharing dilakukan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh Bank Indonesia yang berperan sebagai standby buyer. SBN tersebut akan digunakan untuk memenuhi pembiayaan penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi Indonesia. Â Pemerintah dan Bank Indonesia setuju melakukan burden sharing dengan 2 kategori yaitu :
- Public Goods
Kategori ini terdiri dari kesehatan, perlindungan sosial dan belanja tambahan untuk Kementerian/Lembaga (K/L) maupun Pemda. Total pembiayaan public goods mencapai 397.56 triliun rupiah.
Untuk pembiayaan public goods, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian SBN melalui mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate. Bank Indonesia akan mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada pemerintah secara penuh
- Non Public Goods
Kategori ini terdiri dari pembiayaan untuk UMKM, korporasi di luar UMKM dan lainnya . Total pembiayaan non public goods mencapai 505.90 triliun. pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, akan ditanggung oleh Pemerintah melalui penjualan SBN kepada market dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%.
Sementara itu, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate. Dengan demikian, pembiayaan non-public-goods tetap dilakukan melalui mekanisme pasar (market mechanism) dan BI bertindak sebagai standby buyer/last resort sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Pertama tanggal 16 April 2020
Konsekuensi Burden Sharing
Nilai rupiah yang tidak terjaga dengan baik dapat menyebabkan masalah -- masalah lain seperti inflasi. Inflasi dapat terjadi karena dengan Bank Indonesia sebagai standby buyer yang akan membeli SBN yang diterbitkan oleh pemerintah, sehingga secara tidak langsung jumlah uang beredar juga meningkat.
Selain itu, beban tambahan yang dimiliki bank sentral juga dapat menganggu fokus di dalam menjaga stabilitas nilai rupiah. Hal tersebut dikarenakan peningkatan jumlah uang beredar akan menyebabkan dampak inflasioner
Peningkatan harga secara umum dimungkinkan tidak akan separah pada krisis moneter 1997-1998. Hal tersebut dikarenakan perdagangan valas sudah diregulasi menjadi lebih ketat, sehingga tidak akan memberikan dampak pelemahan yang cepat akibat kepanikan pasar.
Regulasi -- regulasi tersebut menyebabkan nilai tukar rupiah menjadi lebih stabil sehingga utang dalam bentuk luar negeri baik pemerintah maupun swasta masih dapat terkendali. Selain itu, bahan baku industri yang berbasis impor juga masih dapat terkendali sehingga tidak menimbulkan inflasi yang parah seperti saat krisis moneter 1997-1998.
Kesimpulan
Pandemi Covid-19 menyebabkan pemerintah dan Bank Indonesia melakukan skema burden sharing dalam rangka memenuhi pembiayaan penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi. Skema ini memiliki risiko terjadinya inflasi akibat jumlah uang beredar yang meningkat, namun risiko yang ditimbulkan masih dapat lebih terjaga daripada saat krisis moneter 1997-1998. Sehingga, skema burden sharing merupakan langkah yang tepat apabila dilakukan secara efektif dan efisien
Referensi
Kementrian Keuangan. (2020). Burden Sharing Pembiayaan Penanganan Pandemi Covid-19 antara Pemerintah dan Bank Sentral. Retrieved from https://www.kemenkeu.go.id/media/15559/sp_49-burden-sharing-pembiayaan-penanganan-pandemi-covid-19-antara-pemerintah-dan-bank-sentral.pdf
NKRI. Undang - Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. , (1999).
Tarmidi, L. T. (1998). Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran Imf Dan Saran. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, pp. 1--131. https://doi.org/10.21098/bemp.v1i4.183
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H