Mohon tunggu...
Daffa Rizqi Prayudya
Daffa Rizqi Prayudya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Perkenalkan saya Daffa seorang penulis. Saya menulis untuk menjelaskan fenomena - fenomena ekonomi dan mencoba menjelaskan dengan bahasa yang mudah. Saat ini, saya sedang menempuh studi S2 mengambil program Master of Applied Economics di The University of Adelaide, Australia

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Physical Attractiveness Stereotype : Diskriminasi di Pasar Tenaga Kerja

30 Mei 2020   21:41 Diperbarui: 31 Mei 2020   11:39 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: thejobnetwork.com, diolah penulis

Pendahuluan

Kita pernah mendengar rumor bahwa orang yang lebih menarik secara penampilan akan lebih mudah di dalam mencari pekerjaan. Mungkin kita juga pernah mendapat masukan dari orang lain bahwa kita harus tampil menarik dengan cara berpenampilan rapi. 

Mereka beranggapan bahwa orang yang lebih menarik dianggap lebih baik daripada orang yang kurang menarik. Peristiwa itu biasa disebut dengan physical attractiveness stereotype dan hal tersebut sudah biasa terjadi di dunia kerja. 

Fenomena physical attractiveness stereotype merupakan kecenderungan individu yang menarik diharapkan lebih ramah dan pandai daripada individu yang kurang menarik (Feingold, 1992).

Penelitian yang dilakukan oleh Watkins & Johnston (2000) menunjukan terdapat banyak bukti empiris bahwa daya tarik fisik memengaruhi pengambilan keputusan dalam perekrutan.  Apabila seseorang semakin menarik, maka semakin besar kemungkinan orang itu akan dipekerjakan.

Pengambilan dengan dasar keputusan seperti itu apabila tidak di dalam ranah pekerjaan tepat, maka akan membuat perusahaan tidak dapat mencapai titik optimalnya. Padahal  perusahaan memiliki kontribusi yang besar di dalam mendorong perekonomian.

Tenaga kerja yang optimal juga akan meningkatkan performa perusahaan itu sendiri. Performa yang baik juga akan meningkatkan keuntungan dari perusahaan tersebut sehingga mereka dapat melakukan ekspansi dan mendorong perbumuhan ekonomi. Oleh karena itu, penulis di dalam artikel ini akan membahas lebih lanjut terkait physical attractiveness stereotype di pasar tenaga kerja

Sumber: fiftyshadesofgrey.fandom.com
Sumber: fiftyshadesofgrey.fandom.com

Bentuk Diskriminasi di dalam Dunia Kerja

Diskriminasi di pasar tenaga kerja dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti hubungan antara penampilan fisik dengan tingkat upah (French, 2002). Disikriminasi tersebut disebabkan oleh physical attractiveness stereotype.

Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian terhadap physical attractiveness stereotype di pasar tenaga kerja. Kraft (2012) di dalam disertasinya dengan studi kasus 990 perusaah di Jerman menemukan bahwa orang yang lebih menarik memiliki 14 persen kemungkinan lebih besar untuk dapat diundang ke tahap wawancara.

Bahkan di dalam pekerjaan tertutup seperti riset, penampilan juga memiliki hubungan positif terhadap produktivitas riset (Fidrmuc & Paphawasit, 2018). Penelitian -- penelitian tersebut menekankan bahwa penampilan memang harus diperhatikan di dalam pekerjaan.

Namun, physical attractiveness stereotype akan memunculkan pendapat dan keputusan yang bias ketika membandingkan orang-orang dari tingkat daya tarik yang berbeda (Lorenzo, Biesanz, & Human, 2010). Hal tersebut dikarenakan kita akan terkecoh pada stereotip tersebut, padahal kandidat lain yang mungkin kurang menarik memiliki kemampuan yang lebih mumpuni

Di sisi lain, diskriminasi penampilan fisik yang menarik memang dibutuhkan untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu. Pekerjaan tersebut merupakan posisi dengan tingkat paparan publik yang tinggi seperti news anchor dan orang marketing agar mereka dapat menarik segmen bawah (McElroy & DeCarlo, 1999; Shahani-Denning, 2003).

Namun, pekerjaan yang memang tidak memerlukan paparan publik yang tinggi harus mengatasi diskriminasi pada penampilan fisik. Hal tersebut dikarenakan agar perekrut dapat lebih objektif di dalam melihat kemampuan kandidat.

Sumber: matamata.com
Sumber: matamata.com

Pendekatan Solow Growth Model

Solow growth model merupakan model pertumbuhan ekonomi dan merupakan pengembangan dari fungsi produksi (Acemoglu, 2009). Model ini menjelaskan bahwa variabel tenaga kerja memiliki angka pengganda berupa edukasi. Edukasi di dalam variabel tersebut menggambarkan kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja tersebut.

Variabel tersebut juga dapat disebut dengan modal manusia. Model ini menunjukan bahwa tingkat output per kapita berhubungan positif dengan investasi modal manusia (Canarella & Pollard, 2011). Penjelasan tersebut dapat menunjukan bahwa semakin tinggi kemampuan tenaga kerja, maka output yang diperoleh.

Peningkatan produktivitas tersebut akan berimbas ke dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, namun terdapat fenomena physical attractiveness stereotype di dalam proses perekrutan tenaga kerja.

Fenomena tersebut dapat menurunkan potensi output yang dapat diraih di suatu negara. Hal tersebut dikarenakan potensi kandidat lain yang mungkin akan lebih baik tertutup dengan kandidat yang kurang menarik secara penampilan apabila terjadi di jenis pekerjaan yang kurang tepat.

Kesimpulan

Melalui tulisan ini, kita dapat mengetahui bahwa diskriminasi di dalam pasar tenaga kerja memang diperlukan untuk beberapa kasus. Diskriminasi tersebut diperlukan untuk pekerjaan -- pekerjaan yang memiliki paparan publik tinggi dan yang berhubungan dengan segmen bawah secara langsung.

Namun, diskriminasi tersebut menjadi kurang tepat apabila terjadi di jenis pekerjaan yang memiliki paparan publik rendah. Hal tersebut akan menyebabkan produktivitas pekerjaan dengan paparan publik rendah menjadi kurang optimal, sehingga akan mengurangi potensi di dalam pertumbuhan ekonomi

Oleh karena itu, saya sebagai penulis menyarankan bahwa tidak ada salahnya kita tetap menjaga penampilan. Menjaga penampilan memang hal yang penting apabila kita ingin mencari pekerjaan. Menjaga penampilan tidak harus dengan menjadi tampan maupun rapi, namun kita dapat menjaga penampilan dengan bersih, rapi, dan wangi. 

Referensi

Acemoglu, D. (2009). The Solow Growth Model. Princeton: Princeton University Press.

Canarella, G., & Pollard, S. K. (2011). The Augmented SOLOW Model And The OECD Sample. International Business & Economics Research Journal (IBER), 2(7). https://doi.org/10.19030/iber.v2i7.3824

Feingold, A. (1992). Good-looking people are not what we think. Psychological Bulletin, 111(2), 304--341. https://doi.org/10.1037/0033-2909.111.2.304

Fidrmuc, J., & Paphawasit, B. (2018). Beautiful Minds: Physical Attractiveness and Research Productivity in Economics *. Retrieved from http://www.fidrmuc.net/.

French, M. T. (2002). Physical appearance and earnings: further evidence. Applied Economics, 34(5), 569--572. https://doi.org/10.1080/00036840010027568

Kraft, P. (2012). THE ROLE OF BEAUTY IN THE LABOR MARKET. CHARLES UNIVERSITY PRAGUE.

Lorenzo, G. L., Biesanz, J. C., & Human, L. J. (2010). What Is Beautiful Is Good and More Accurately Understood. Psychological Science, 21(12), 1777--1782. https://doi.org/10.1177/0956797610388048

McElroy, J. C., & DeCarlo, T. E. (1999). Physical Attractiveness on Cognitive Evaluations of Saleswomen's Performance. Journal of Marketing Theory and Practice, 7(1), 84--100. https://doi.org/10.1080/10696679.1999.11501823

Shahani-Denning, C. (2003). Physical attractiveness bias in hiring: What is beautiful is good. Hofstra Horizon, 2, 14--17. Retrieved from http://www.hofstra.edu/pdf/about/administration/provost/hofhrz/hofhrz_s03_denning.pdf

Watkins, L. M., & Johnston, L. (2000). Screening Job Applicants: The Impact of Physical Attrloactiveness and Application Quality. International Journal of Selection and Assessment, 8(2), 76--84. https://doi.org/10.1111/1468-2389.00135

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun