Banyak yang berteriak akan melemahnya nilai mata uang garuda, namun masih banyak yang malu dalam menggunakan produk domestik. Ketika hanya diam saat dihadapkan sebuah opsi dalam suatu permasalahan, mereka akan menghujat para inisiator yang melakukan kesalahan tanpa memberikan solusi yang solutif.Â
Ketika ASEAN melakukan integrasi dalam menghadapi free trade area, bukannya memutar otak dengan meningkatkan kompetensi namun mengeluh dan takut akan datangnya pesaing asing yang masuk. Jangankan membaca, menumbuhkan niat untuk mencari tahu pun masih minim.Â
Kita tak jarang melihat media massa dengan begitu mudahnya menggiring opini publik di negeri ini sehingga menimbulkan miskonsepsi yang berujung koflik tanpa adanya upaya untuk melakukan klarifikasi lebih lanjut, itulah mental inlander.
Memang sulit dalam menghilangkan buah tangan yang diberikan oleh para kolonialis terdahulu yang telah menjajah Bumi Pertiwi selama kurang lebih 350 tahun lamanya,.Â
Mental inlander , yaitu mental dijajah atau yang disebut dengan mental para budak. Hal tersebut juga terindikasi dari minimnya rasa percaya diri terhadap bangsa sendiri. Pengaruh yang melekat akan sulit dihilangkan apabila belum ada kesadaran dari dalam diri sendiri.Â
Manfaat dari bonus demografi akan menjadi utopis belaka apabila mental tersebut masih melekat pada bangsa ini. Penyakit tersebut tidak akan hilang apabila kita terus mengekang diri kita sendiri dalam upaya peningkatan literasi. Buah tangan tersebut tidak akan hilang, apabila kita masih tidak dapat berintergritas terhadap kegiatan yang kita kerjakan.
"...tidak semua menjadi kapten,
tentu harus ada awak kapalnya,
bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendah nilai dirimu
jadilah saja dirimu sebaik baiknya dirimu sendiri "
Melihat fenomena tersebut, saya jadi teringat dengan sepenggal puisi karangan Taufiq Ismail yang biasa saya jadikan renungan di dalam kehidupan sehari -- hari. Menyalahkan para penjajah juga menjadi percuma karena pada
hakikatnya kita memang masih bodoh. Keinginan untuk berkembang pun masih minim, dan integritas untuk menjadi yang terbaik juga masih surut. Lantas, adakah obat yang dapat digunakan untuk menghilangkan penyakit ini?
Permasalahan mendasar di dalam penyakit ini adalah mental yang masih diperbudak, dengan kata lain minimnya kepercayaan diri dan keinginan untuk berkembang. Rasa percaya diri bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang besar harus muncul, bukalah mata dengan lebar dan lihatlah potensi sumber daya alamnya.Â
Budaya malu juga harus mulai ditumbuhkan untuk mengatasi mental -- mental tersebut. Malu apabila kurang memiliki kontribusi terhadap negeri ini. Komponen yang kurang disini adalah sumber daya manusianya, yang telah terkikis oleh penyakit ini. Oleh karena itu, perlu adanya revolusi mental dalam upaya menghilangkan penyakit yang telah membudaya ini.
Tidak perlu saling menyalahkan dengan keadaan di sekitar kita, yang diperlukan hanya saling berkaca dan mengingatkan. Jatidiri kita sebagai bangsa Indonesia harus segera ditemukan, dan jangan sampai kita terus dipertuan di dalam negeri kita sendiri.Â
Mulailah banyak membaca, karena membaca merupakan upaya untuk melakukan perlawanan, yaitu perlawanan terhadap kebodohan. Jadilah bangsa yang cerdas, tingkatkanlah literasi, dan bersama-sama hilangkan mental yang telah mendarah daging ini. Maju terus Bumi Pertiwiku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H