Mohon tunggu...
Daffa ArkaRahina
Daffa ArkaRahina Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa kampus swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebiasaan Bandel Masyarakat Indonesia

13 Mei 2020   12:01 Diperbarui: 13 Mei 2020   12:12 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang hubungan sosial masyarakatnya kental. Setiap kegiatan daerah lekat dengan agenda kumpul bersama baik dalam perayaan suka maupun duka. Hal ini tentunya merupakan suatu nilai yang patut dibanggakan dan dijaga kelestariannya karena sesuai sifat dasar manusia yang pastinya tidak akan hidup sendiri.

Sebelum masuk ke dalam topik pembahasan pada judul, mari kita belajar bahasa nasional kita yaitu bahasa Indonesia. Apakah anda akrab mendengar kata bandel? jika iya, maka anda pasti tahu arti dari kata tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bandel berarti melawan kata atau nasihat orang; tidak mau menurut atau mendengar kata orang; dan terakhir yaitu kepala batu.

Bandel merupakan salah satu kata sifat yang sangat maklum dilakukan setiap manusia jika merasa tidak setuju/sepaham dengan apa yang diperintahkan. Bandel ini bisa menjadi kebiasaan jika keseharian seorang individu selalu tidak menuruti bila diperintah. Hal ini sayangnya telah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia.

Contoh sederhana perilaku bandel yang dilakukan masyarakat Indonesia adalah melanggar peraturan lalu lintas, baik lampu lalu lintas, batas kecepatan, kelengkapan berkendara dan sebagainya selalu menjadi hal yang pasti terjadi di kehidupan sehari-hari seakan itu adalah sesuatu yang wajar. Rasa kepedulian akan dampak selanjutnya kerap menjadi pertimbangan nomor sekian yang akhirnya tidak dihiraukan.

Kembali ke topik bahasan, masyarakat Indonesia yang dikenal rasa sosialnya tinggi ini menjadikan perilaku bandel menjadi hal yang wajar. Sekarang Indonesia sedang menghadapi kondisi darurat COVID-19 (corona virus disease) yang telah terjadi sejak awal bulan Maret hingga kini mulai pertengahan April. Dalam situasi genting ini pemerintah memberlakukan pembatasan sosial (social distancing) dibandingkan memberlakukan penutupan akses (lockdown) karena dirasa agar perekonomian masyarakat tidak terjadi kelumpuhan. Sikap pemerintah ini sejak kemunculan wabah COVID-19 ini selalu menjadi sorotan. Banyak yang menyayangkan kebijakan yang diambil pemerintah karena dinilai meremehkan wabah COVID-19 (corona virus disease).

Melihat respon masyarakat yang pro akan kebijakan lockdown memang memunculkan rasa ketidakpuasan akan pemerintah. Namun rasa itu sirna saat melihat kenyataan yang ada dilapangan. Masyarakat dengan santainya beraktivitas seperti biasa seperti tidak terjadi wabah. Hal ini dibuktikan dengan masih ramainya jalan raya, perbelanjaan, fasilitas umum angkutan, dan perkantoran.

Desakan masyarakat kepada pemerintah untuk memberlakukan lockdown menjadi tidak masuk akal dengan perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi permintaan. Imbasnya lonjakan pasien positif terjadi, kepanikan di masyarakat, kelangkaan alat kesehatan atau perlindungan, stigma terhadap penderita positif COVID-19 (corona virus disease) dan lain sebagainya.

Akhirnya masyarakat menyalahkan pemerintah setelah tidak memberlakukan kebijakan lockdown. Logika saja, masyarakat ingin lockdown, tetapi malah santai berkeliaran di luar rumah. Kenyataan ini sama saja jika pemerintah memberlakukan lockdown tetapi masyarakat melakukan hal yang sama yaitu tidak menghiraukan imbauan pemerintah, seperti hanya beda judul tapi praktek di lapangannya sama saja.

Rutinitas harian seperti berkendara saja melanggar walau sudah ada ancaman tilang bagaimana yang menghadapi suatu kondisi baru di masyarakat seperti peristiwa wabah COVID-19 (corona virus disease) ini. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang senang berkumpul kini menjadi suatu ancaman dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak yang bandel dan tidak peduli untuk menjaga jarak dalam pergaulan.

Contohnya adalah tetap melakukan aktivitas nongkrong di kafe atau angkringan, bermain di persewaan konsol, dan yang paling membuat geleng-geleng adalah berkumpul dalam jumlah besar di portal masuk desa yang sekarang dilengkapi relawan masyarakat untuk menyemprotkan disinfektan kepada siapapun yang masuk ke desa.

Sangat disayangkan imbauan pemerintah untuk menjaga jarak tidak dihiraukan, desa-desa yang memberlakukan lockdown mandiri pada portal masuk desa malah dijadikan tempat berkumpul baru, parahnya ada yang menyediakan gerobak angkringan di samping portal desa, sama saja logikanya tidak berjalan.

Kesimpulannya adalah adat masyarakat Indonesia yang senang berkumpul ini sebaiknya ditunda untuk sementara waktu hingga situasi kembali kondusif dan kebiasaan masyarakat bersikap bandel ini harusnya mulai diubah dengan pemahaman pemikiran yang lebih jauh dan tidak berpikiran sumbu pendek, disayangkan kemajuan zaman telah pesat tetapi masyarakatnya masih tertinggal.

Daffa Arka Rahina, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun