Slogan "Indonesia Emas 2045" merujuk pada visi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045, tepat satu abad setelah kemerdekaan. Dengan menggaungkan target transformasi Indonesia menjadi negara adil, inklusif, dan sejahtera---visi ini membangkitkan optimisme publik dan menjadi kompas bagi arah pembangunan nasional. Pencapaian visi ini sangat bergantung pada kualitas SDM Indonesia yang salah satu faktor penentunya adalah pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat. Pendidikan berperan penting dalam mempersiapkan generasi emas Indonesia yang cerdas, berkarakter, dan cakap dalam menghadapi tantangan abad ke-21.
Namun, di balik gemerlap visi tersebut, terbentang realitas yang tak selalu sejalan. Pada dasarnya, mimpi dan angan selalu lebih indah dari kenyataan. Kesenjangan antara cita-cita dan fakta di lapangan memunculkan sebuah pertanyaan: Apakah visi tersebut dapat benar-benar terlaksana? Mengingat hingga kini Indonesia masih dihantam bermacam problematika dari berbagai celah.
Di pertengahan tahun ini, marak pemberitaan terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Polemik tersebut berawal dari munculnya penetapan kebijakan baru oleh Kemendikbudristek yang mengacu pada Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOTN). Jika ditarik benang merahnya lebih jauh lagi, akar permasalahan kenaikan UKT di beberapa PTN terletak pada kebijakan otonomisasi perguruan tinggi yang diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) Nomor 12 Tahun 2012. Bersama Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024, UU PT menggantikan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang terbit jauh lebih awal. UU PT menyatakan bahwa perguruan tinggi dibebaskan untuk mengelola sumber dana mereka tanpa adanya campur tangan dari pemerintah, alhasil terjadi kenaikan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa akibat pemerintah resmi mengurangi sokongan dana untuk masing-masing perguruan tinggi yang statusnya berubah menjadi PTN-BH.
Kenaikan ini tentu menimbulkan keresahan bagi sebagian mahasiswa, terutama mahasiswa baru yang menjadi target utama kebijakan tersebut. Bayangkan, sebelum merasakan realita dunia perkuliahan yang sebenarnya, mereka sudah dihadapkan pada situasi yang mengejutkan ini. Lebih memprihatinkan, setiap kampus seakan berlomba-lomba menerapkan kebijakan ini tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mahasiswa baru. Penetapan biaya yang tidak sejalan dengan kemampuan finansial mahasiswa berpotensi membebani dan mendorong mereka untuk meninggalkan bangku kuliah. Kondisi ini seolah menunjukkan bahwa pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial yang memadai.
Ironisnya lagi, adanya statement yang dilontarkan oleh Tjitjik Sri Tjahjandarie selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek cukup membuat masyarakat gusar. Beliau menegaskan bahwa pendidikan tinggi dikategorikan sebagai pendidikan tersier, berbeda dengan pendidikan wajib belajar selama 12 tahun. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons atas kritik mahasiswa terkait tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Kemendikbudristek, sebagai lembaga pendidikan tinggi terkemuka, tidak semestinya melontarkan pernyataan yang merendahkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier atau mewah. Akses pendidikan tinggi bukanlah sesuatu yang patut diperdagangkan. Negara berkewajiban mencerdaskan bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 31 ayat (1) UU NRI 1945. Pernyataan tersebut berpotensi memperlebar jurang kesenjangan sosial dan bertentangan dengan prinsip pendidikan yang inklusif. Selain itu, pernyataan ini jelas mencederai peran krusial pendidikan tinggi dalam membangun individu dan bangsa, terutama bagi mereka yang berada di garis kemiskinan.
Meskipun pendidikan tinggi tidak termasuk dalam agenda wajib belajar, tak dapat dipungkiri bahwa perannya sangat signifikan dalam mendorong kemajuan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan individu. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemerintah dan pihak penyelenggara pendidikan menyediakan akses dan fasilitas yang memadai supaya anak bangsa dari seluruh lapisan masyarakat dapat memiliki kesempatan yang sama untuk duduk di bangku perkuliahan. Dengan mengenyam pendidikan tinggi, kita dapat memperdalam ilmu dan pengetahuan, mendorong berpikir kritis, serta memahami inovasi teknologi terkini.
Dilansir dari situs Medcom.id, Cecep Darmawan selaku Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyebutkan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2023 hanya sejumlah 31.45%, menyisakan 68.55% siswa lulusan SMA tidak lanjut ke jenjang perguruan tinggi. Faktor penting yang melatarbelakangi adalah biaya pendidikan yang terlampau mahal sehingga beberapa dari mereka lebih memilih untuk bekerja. Namun, tanpa mereka ketahui lowongan pekerjaan saat ini umumnya mensyaratkan minimal pendidikan S1. Bahkan, bagi para sarjana (S1) pun tak mudah dalam mencari pekerjaan. Lantas, bagaimana dengan lulusan SMA? Kesempatan kerja mereka semakin terbatas dengan nominal upah yang tak masuk akal dan tentunya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Berdasarkan laporan dalam situs resmi Kementerian Sekretariat Negara, pada periode 2020-2045, Indonesia akan memasuki era bonus demografi yang mana 70% penduduknya tergolong usia produktif (15-64 tahun). Fenomena ini menghadirkan peluang besar bagi kemajuan bangsa karena proporsi penduduk yang tidak produktif (<14 tahun dan >65 tahun) hanya 30%. Betapa disayangkannya apabila potensi luar biasa generasi muda, bibit unggul bangsa ini, terancam sia-sia hanya karena keterbatasan akses pendidikan. Masa depan bangsa akan rusak jika generasi muda tidak dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Pada hakikatnya, mereka merupakan pilar utama pembangun negara yang patut diperjuangkan haknya.
Di tengah kekhawatiran ini, slogan "Indonesia Emas 2045" bagaikan tamparan keras bagi pemerintah. Alih-alih mewujudkan visi ambisius tersebut, pemerintah justru menciptakan kondisi yang membuat masyarakat semakin pesimis tentang masa depan bangsa---justru kini yang akan kita sambut adalah "Indonesia Cemas 2045". Dalam konteks ini, kecemasan masyarakat bukanlah hal yang berlebihan. Mereka mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyediakan akses pendidikan yang terjangkau dan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat. Tanpa solusi yang jelas, impian "Indonesia Emas 2045" bisa menjadi sekadar angan-angan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H