Mohon tunggu...
Daffa Mahardhika
Daffa Mahardhika Mohon Tunggu... Akuntan - Finance

Mahasiswa Magister Akuntansi - NIM 55523110019 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pemeriksaan Pajak - Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dialetika Hermeneutis Hancaraka untuk Prosedur Audit Pajak

20 Oktober 2024   13:37 Diperbarui: 20 Oktober 2024   13:51 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dialektika Hermeneutis adalah pendekatan filosofis yang berfokus pada proses dialogis untuk memahami suatu teks atau fenomena. Dialektika ini menekankan pentingnya pertanyaan dan jawaban sebagai mekanisme untuk mengungkapkan kebenaran tersembunyi. Sementara itu, hermeneutika berasal dari kata Yunani "hermeneuein" yang berarti "menafsirkan," yang bertujuan untuk mengungkap makna di balik teks atau tindakan.

Hanacaraka, aksara Jawa kuno, bukan hanya alat komunikasi tetapi juga representasi budaya dan filosofi Jawa. Setiap huruf memiliki nilai simbolis yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan, seperti keseimbangan, harmoni, dan kebijaksanaan. Dalam konteks ini, Hanacaraka bisa digunakan sebagai medium untuk memahami lebih dalam proses-proses di balik laporan pajak yang diaudit. Misalnya, setiap elemen laporan pajak bisa dianalisis tidak hanya berdasarkan angka-angka rasional, tetapi juga melalui interpretasi simbolik yang bisa mengungkapkan dinamika yang lebih mendasar antara wajib pajak dan otoritas pajak.

Dalam audit pajak, prosedur yang biasanya sangat teknis dan rasional dapat diperluas melalui pendekatan dialektika hermeneutis. Prosedur ini mengajak auditor untuk tidak hanya memverifikasi angka-angka, tetapi juga memahami konteks sosial, budaya, dan personal dari wajib pajak. Dengan mengadopsi metode Hanacaraka, auditor akan dapat membaca data pajak dengan lebih kaya dan mendalam.

Dok Pribadi: Prof Apollo
Dok Pribadi: Prof Apollo

Ada beberapa alasan mengapa dialektika hermeneutis Hanacaraka relevan untuk diterapkan dalam prosedur audit pajak

  1. Memahami Konteks Sosial dan Budaya Wajib PajakDalam audit pajak tradisional, auditor cenderung fokus pada angka-angka yang ada di laporan pajak, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi wajib pajak. Dalam konteks budaya Jawa, cara orang berpikir, berperilaku, dan berbisnis sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tercermin dalam aksara Hanacaraka. Dengan memahami latar belakang budaya ini, auditor dapat mengidentifikasi potensi kesalahpahaman atau ketidaksesuaian yang mungkin muncul karena perbedaan persepsi antara auditor dan wajib pajak

  2. Mengatasi Kompleksitas Audit PajakAudit pajak adalah proses yang kompleks, yang melibatkan tidak hanya data keuangan tetapi juga pemahaman mendalam tentang operasi bisnis wajib pajak. Pendekatan hermeneutis dapat membantu auditor untuk menafsirkan data dengan lebih holistik, melihat hubungan antara berbagai elemen laporan pajak, dan memahami bagaimana keseluruhan sistem keuangan wajib pajak bekerja. Pendekatan ini juga memungkinkan auditor untuk mendeteksi pola-pola yang mungkin tidak terlihat pada analisis yang lebih konvensional

  3. Mengembangkan Hubungan yang Lebih Humanis dengan Wajib PajakAudit pajak sering kali dipandang sebagai proses yang formal dan kaku. Namun, dengan menerapkan dialektika hermeneutis, auditor dapat mendekati proses ini dengan cara yang lebih humanis, di mana dialog dan pemahaman menjadi kunci utama. Hanacaraka, dengan nilai-nilai harmoni dan keseimbangannya, bisa menjadi simbol dari pendekatan yang lebih dialogis dan inklusif ini. Dengan demikian, hubungan antara auditor dan wajib pajak dapat menjadi lebih kolaboratif, di mana tujuan akhirnya adalah mencapai kepatuhan pajak yang lebih baik melalui pemahaman bersama

Untuk menerapkan dialektika hermeneutis Hanacaraka dalam prosedur audit pajak, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh auditor

  1. Memahami Filosofi HanacarakaLangkah pertama yang harus dilakukan auditor adalah mempelajari filosofi Hanacaraka. Auditor perlu memahami simbolisme yang terkandung dalam aksara Jawa ini dan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam konteks audit pajak. Misalnya, huruf pertama dalam aksara Hanacaraka, "Ha", melambangkan harmoni, yang dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan negara dan wajib pajak dalam proses audit.

  2. Melakukan Pendekatan DialektisDalam prosedur audit, auditor perlu mengadopsi pendekatan dialektis, di mana mereka tidak hanya memverifikasi data tetapi juga berdialog dengan wajib pajak untuk memahami alasan di balik setiap angka. Proses ini melibatkan pertanyaan kritis yang bertujuan untuk menggali lebih dalam makna dari setiap elemen laporan pajak. Misalnya, jika ada ketidaksesuaian dalam laporan pajak, auditor tidak langsung menyimpulkan adanya kesalahan, tetapi mencari tahu konteks di balik data tersebut.

  3. Menggunakan Hermeneutika untuk Menafsirkan DataSetelah dialog dilakukan, auditor harus menggunakan pendekatan hermeneutis untuk menafsirkan data yang telah dikumpulkan. Data tersebut perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, baik itu konteks sosial, budaya, maupun ekonomi. Sebagai contoh, jika seorang pengusaha melaporkan pendapatan yang lebih rendah dari yang diharapkan, auditor perlu mempertimbangkan faktor-faktor eksternal seperti kondisi ekonomi lokal, peraturan yang berlaku, atau bahkan norma-norma budaya yang mungkin mempengaruhi perilaku bisnis wajib pajak.

  4. Mengembangkan Kesimpulan Berdasarkan Pemahaman HolistikSetelah data dianalisis melalui pendekatan dialektika hermeneutis, auditor harus mengembangkan kesimpulan yang holistik. Kesimpulan ini tidak hanya berdasarkan data kuantitatif tetapi juga berdasarkan pemahaman kualitatif tentang wajib pajak dan situasi mereka. Pendekatan ini memungkinkan auditor untuk membuat penilaian yang lebih akurat dan adil, serta menghindari kesalahan persepsi atau asumsi yang mungkin timbul dalam audit konvensional.

  5. Membangun Hubungan Berbasis KepercayaanProsedur audit yang mengadopsi dialektika hermeneutis Hanacaraka akan lebih fokus pada membangun hubungan berbasis kepercayaan antara auditor dan wajib pajak. Dengan memahami wajib pajak sebagai individu atau entitas yang beroperasi dalam konteks sosial dan budaya tertentu, auditor dapat menciptakan suasana yang lebih terbuka dan kolaboratif, di mana tujuan utama adalah mencapai kepatuhan pajak yang lebih baik, bukan hanya menemukan kesalahan atau ketidakpatuhan.

Dok pribadi: Prof Apollo
Dok pribadi: Prof Apollo

Mitos "Aji Saka" adalah salah satu cerita yang sangat terkenal di Jawa, terutama terkait dengan asal-usul aksara Jawa, Hanacaraka. Mitos ini memadukan unsur sejarah, legenda, dan nilai-nilai budaya Jawa. Cerita tentang Aji Saka sering kali dianggap sebagai jembatan antara dunia mitologi dan sejarah, menggambarkan pergeseran dari zaman yang didominasi oleh mitos ke era rasionalitas dan logos (nalar). Mitos ini juga mencerminkan pertarungan antara kekuatan baik dan jahat serta simbolisasi pencapaian peradaban baru dalam sejarah Jawa.

1. Tafsir Mitos, Kekuatan Sakti dan Pengusiran Kegelapan

Dalam tafsir mitologis, Aji Saka dipandang sebagai figur mistis yang membawa tatanan baru ke Tanah Jawa. Aji Saka digambarkan sebagai seorang pemuda sakti yang datang ke pulau Jawa untuk menghadapi seorang raja lalim bernama Prabu Dewata Cengkar, yang konon memerintah dengan kejam dan memakan manusia. Prabu Dewata Cengkar sering dipandang sebagai simbol kekuatan destruktif atau kegelapan dalam mitos ini.

Mitos ini menunjukkan bagaimana Aji Saka dengan kekuatan mistiknya mengalahkan Dewata Cengkar dan membawa kedamaian ke tanah Jawa. Dengan kemampuannya, Aji Saka tidak hanya mengalahkan sang raja tiran tetapi juga memperkenalkan tatanan baru berupa Hanacaraka, aksara Jawa yang menjadi simbol peradaban. Cerita ini sering ditafsirkan sebagai metafora tentang bagaimana seorang pahlawan (atau kekuatan baik) mengusir kekuatan kegelapan dan memperkenalkan peradaban dan keteraturan sosial.

Tafsir ini cenderung mengedepankan aspek magis dari mitos, di mana dunia dilihat sebagai tempat pertarungan antara kekuatan baik dan jahat, dengan Aji Saka sebagai pembawa terang dan tatanan baru.

2. Tafsir Historis, Transisi dari Mitos ke Logos (Rasionalitas)

Dari perspektif logos atau rasionalitas, Aji Saka bisa ditafsirkan sebagai simbol dari peralihan masyarakat Jawa dari era mitos menuju era rasionalitas. Dalam tafsir ini, kisah Aji Saka melambangkan perubahan besar dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Jawa, dari dominasi kekuatan mistik dan tiran menjadi era yang lebih beradab dan tertata.

Hanacaraka, aksara Jawa yang diperkenalkan oleh Aji Saka, adalah representasi dari logos atau pemikiran rasional. Aksara adalah alat untuk menulis dan mencatat, yang merupakan bagian penting dari peradaban dan pengembangan intelektual. Dengan demikian, pengenalan aksara ini menandakan masuknya masyarakat Jawa ke era baru yang lebih rasional dan terorganisir.

Dalam tafsir historis, Dewata Cengkar dapat dilihat sebagai simbol kekuatan-kekuatan lama yang didasarkan pada ketakutan, takhayul, dan kekuasaan tiranik, sementara Aji Saka melambangkan kedatangan peradaban baru yang lebih berlandaskan hukum dan ketertiban. Dengan kata lain, ini bisa diartikan sebagai cerita tentang transisi dari "mitos" (ketergantungan pada kekuatan magis dan kepercayaan mistis) ke "logos" (pemikiran rasional dan tertata).

3. Tafsir Filosofis, Dualisme dan Kesetimbangan Kosmik

Dalam tafsir filosofis, kisah Aji Saka mencerminkan konsep dualisme dan kesetimbangan kosmik yang kental dalam budaya Jawa. Kehadiran Aji Saka yang melawan Dewata Cengkar sering kali dilihat sebagai simbolisasi pertarungan antara dua kekuatan yang berlawanan: terang melawan gelap, kebaikan melawan kejahatan, dan keteraturan melawan kekacauan. Namun, dalam tradisi Jawa, pertarungan ini tidak selalu berarti bahwa satu sisi harus sepenuhnya menghancurkan sisi lain; melainkan, keseimbangan dan harmoni harus dicapai antara kedua kekuatan tersebut.

Hanacaraka sendiri, aksara yang diperkenalkan oleh Aji Saka, juga melambangkan hubungan timbal balik dan harmoni ini. Setiap baris dalam aksara Hanacaraka menceritakan kisah tentang dua ksatria yang saling bertempur namun pada akhirnya tidak ada yang menang atau kalah secara mutlak. Ini dapat ditafsirkan sebagai metafora tentang bagaimana keseimbangan antara kekuatan yang berlawanan adalah kunci dalam menjaga ketertiban dunia. Dalam kosmologi Jawa, tidak ada kekuatan yang sepenuhnya baik atau jahat, tetapi keduanya saling melengkapi dan menciptakan keseimbangan.

4. Tafsir Budaya, Pengenalan Identitas dan Nilai Jawa

Dalam tafsir budaya, Aji Saka dan pengenalan aksara Hanacaraka merepresentasikan bangkitnya identitas budaya Jawa yang khas. Kisah ini menunjukkan bagaimana budaya Jawa memisahkan dirinya dari pengaruh luar dan membangun peradaban sendiri yang mandiri, baik dalam bentuk tulisan, bahasa, maupun nilai-nilai moral. Aksara Jawa menjadi salah satu identitas yang membedakan budaya Jawa dari yang lain, sementara tokoh Aji Saka menjadi simbol dari kebangkitan budaya tersebut.

Tafsir budaya ini sering digunakan untuk menekankan pentingnya nilai-nilai Jawa yang terkandung dalam cerita Aji Saka, seperti keadilan, kebijaksanaan, dan tatanan sosial yang baik. Aksara Hanacaraka dalam hal ini dilihat bukan hanya sebagai sistem penulisan, tetapi juga sebagai simbol dari filosofi dan pandangan hidup orang Jawa yang menekankan harmoni, keselarasan, dan keseimbangan dalam kehidupan.

5. Tafsir Spiritual, Mitos sebagai Refleksi Diri dan Kesadaran

Dalam tafsir spiritual, kisah Aji Saka dapat dipandang sebagai perjalanan spiritual seorang individu menuju pencerahan. Aji Saka melambangkan pencarian manusia untuk memahami realitas yang lebih dalam dan meraih kebijaksanaan. Pertarungannya melawan Dewata Cengkar dapat dipandang sebagai simbolisasi perjuangan batin melawan ego atau nafsu yang destruktif.

Dalam tafsir ini, Hanacaraka tidak hanya dilihat sebagai aksara biasa, tetapi sebagai simbol dari tahap-tahap perjalanan spiritual seseorang. Setiap huruf mungkin mencerminkan langkah-langkah tertentu dalam perjalanan menuju kesadaran yang lebih tinggi. Misalnya, pertarungan antara dua ksatria dalam aksara Hanacaraka bisa dilihat sebagai simbol dari konflik internal yang harus dihadapi seseorang dalam perjalanan spiritualnya.

Dok pribadi: Prof Apollo
Dok pribadi: Prof Apollo

Hanacaraka adalah aksara Jawa yang sarat dengan makna simbolis dan historis, terutama di dalam budaya Jawa. Lebih dari sekadar sistem penulisan, Hanacaraka juga mengandung cerita dan filosofi mendalam yang mencerminkan pandangan hidup masyarakat Jawa. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami makna dan filosofi di balik Hanacaraka adalah melalui hermeneutika, yaitu ilmu atau metode penafsiran teks yang mengungkap makna di balik suatu simbol atau cerita.

Melalui pendekatan hermeneutis, Hanacaraka bisa ditafsirkan dari berbagai perspektif yang memperlihatkan bagaimana simbol dan aksara ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai medium untuk memahami hubungan manusia dengan dunia, spiritualitas, dan tatanan sosial.

1. Tafsir Filosofis, Hubungan Antara Manusia dan Kosmos

Dalam tafsir hermeneutis filosofis, Hanacaraka sering dianggap sebagai gambaran hubungan antara manusia dengan kosmos atau alam semesta. Dalam masyarakat Jawa, ada pemahaman mendalam bahwa manusia hidup dalam keseimbangan dengan alam dan kekuatan spiritual di sekitarnya. Aksara Hanacaraka sendiri terdiri dari 20 huruf, yang jika dibaca secara berurutan, menghasilkan narasi tentang dua ksatria yang saling bertarung, yaitu Ajisaka dan kedua pengawalnya.

Kisah ini, jika dipahami melalui hermeneutika, menggambarkan dualisme yang selalu ada dalam kehidupan manusia: pertempuran antara baik dan jahat, terang dan gelap, harmoni dan kekacauan. Namun, dalam budaya Jawa, pertempuran ini bukan untuk menghancurkan salah satu pihak, tetapi untuk mencapai keseimbangan. Dualisme ini adalah bagian dari harmoni kosmis yang diyakini masyarakat Jawa sebagai dasar dari tatanan alam.

2. Tafsir Sosial, Tatanan Masyarakat dan Kehidupan Harmonis

Dalam tafsir sosial, Hanacaraka bisa dipandang sebagai representasi dari tatanan sosial yang teratur dan harmonis. Setiap huruf dalam aksara ini memiliki posisi dan urutan yang tetap, mencerminkan pentingnya hierarki dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam budaya Jawa, keteraturan sosial adalah aspek yang sangat dijunjung tinggi. Ada norma-norma yang harus diikuti, peran sosial yang ditentukan oleh usia, status, dan pengalaman, serta kewajiban-kewajiban sosial yang harus dipatuhi untuk menjaga harmoni dalam masyarakat.

3. Tafsir Spiritual, Simbolisme Perjalanan Jiwa

Dalam tafsir spiritual, Hanacaraka memiliki makna yang lebih mendalam sebagai simbol dari perjalanan spiritual seseorang. Kisah tentang Aji Saka yang membawa aksara ini ke tanah Jawa dan kisah pertempuran antara dua pengawalnya dapat dipandang sebagai alegori dari perjalanan batin manusia dalam menghadapi konflik internal.

Dua pengawal yang bertarung, Dora dan Sembada, melambangkan pertentangan antara pikiran dan hati, atau antara ego dan kesadaran spiritual. Pertarungan mereka hingga kematian melambangkan pentingnya manusia untuk mengatasi dualisme dalam diri mereka, dan akhirnya mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Pada akhirnya, pertarungan ini bukan tentang kemenangan atau kekalahan, tetapi tentang mencapai keselarasan batin.

4. Tafsir Kultural, Identitas dan Kebanggaan Budaya Jawa

Hanacaraka juga bisa ditafsirkan melalui lensa budaya, di mana aksara ini menjadi simbol dari identitas budaya Jawa. Melalui pendekatan hermeneutis, kita bisa melihat bagaimana Hanacaraka mengandung nilai-nilai budaya yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Jawa, termasuk dalam hal cara pandang terhadap dunia, cara hidup, dan cara berinteraksi dengan orang lain.

Hanacaraka sering kali dianggap sebagai representasi dari kebanggaan akan kebudayaan lokal. Dengan menggunakan aksara ini, masyarakat Jawa dapat melestarikan dan menyampaikan tradisi serta nilai-nilai mereka dari generasi ke generasi. Dalam hermeneutika budaya, Hanacaraka adalah medium yang menjembatani masa lalu dan masa kini, menciptakan kesinambungan budaya yang kuat di tengah-tengah perubahan zaman.

5. Tafsir Edukatif, Hanacaraka sebagai Media Pembelajaran Moral

Pendekatan hermeneutis juga dapat diterapkan dalam tafsir edukatif terhadap Hanacaraka, di mana aksara ini dilihat sebagai sarana pembelajaran moral dan etika bagi masyarakat Jawa. Kisah yang terkandung dalam urutan aksara ini -- tentang dua ksatria yang loyal kepada Aji Saka hingga akhirnya bertarung sampai mati karena kesalahpahaman -- memberikan pelajaran berharga tentang loyalitas, kesetiaan, dan pentingnya komunikasi.

6. Tafsir Sejarah, Aksara sebagai Jejak Peradaban Jawa

Dalam tafsir historis, Hanacaraka dapat dipahami sebagai jejak sejarah peradaban Jawa yang panjang. Hermeneutika membantu kita untuk menelusuri bagaimana aksara ini berkembang dan digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa, dari administrasi pemerintahan, sastra, hingga ritual keagamaan.

Dok pribadi: Prof Apollo
Dok pribadi: Prof Apollo

Penerapan konsep dialektika hermeneutis dalam audit pajak, dengan menggunakan analogi Hanacaraka sebagai medium filosofis, mencerminkan pendekatan yang inovatif dan kontekstual dalam memahami audit pajak sebagai prosedur yang tidak hanya berbasis aturan, tetapi juga melibatkan dimensi interpretasi dan analisis kritis. Audit pajak adalah proses evaluasi atas kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, yang umumnya berfokus pada angka dan data. Namun, dengan pendekatan dialektika hermeneutis, audit pajak dapat dilihat lebih dalam, menggabungkan aspek formal dengan konteks sosial, historis, dan kultural yang lebih luas.

Hanacaraka sebagai representasi dari sistem aksara Jawa mengandung makna filosofis dan simbolis yang dapat diinterpretasikan melalui pendekatan hermeneutis. Pendekatan ini berfokus pada bagaimana teks atau simbol dibaca dan dipahami secara mendalam dalam konteksnya. Dengan menggunakan prinsip hermeneutika dalam audit pajak, kita dapat menggali lapisan-lapisan makna di balik setiap data dan kebijakan perpajakan, sehingga dapat dihasilkan pemahaman yang lebih komprehensif dan holistik. Berikut adalah beberapa poin utama yang dapat diambil dari pendekatan ini dalam konteks prosedur audit pajak:

1. Dialektika, Proses Dialogis dalam Audit Pajak

Dialektika adalah proses dialogis yang melibatkan dua atau lebih pandangan yang bertentangan untuk mencapai kesimpulan atau kebenaran yang lebih tinggi. Dalam konteks audit pajak, dialektika dapat digunakan untuk memahami perbedaan perspektif antara wajib pajak dan otoritas pajak. Kedua pihak sering kali memiliki interpretasi yang berbeda mengenai aturan pajak atau penerapannya, dan di sinilah dialektika berperan penting.

Proses audit bukan hanya soal mencari kesalahan wajib pajak, tetapi juga tentang menemukan kesepahaman dan titik temu dalam penerapan aturan yang mungkin diinterpretasikan secara berbeda. Misalnya, beberapa aturan pajak mungkin memiliki interpretasi yang bervariasi tergantung pada situasi ekonomi atau bisnis tertentu. Dengan pendekatan dialektis, auditor dapat mengundang dialog yang produktif dengan wajib pajak, sehingga tidak hanya fokus pada pelanggaran, tetapi juga mempertimbangkan konteks bisnis, kondisi ekonomi, dan niat di balik keputusan perpajakan yang dibuat oleh wajib pajak.

Pendekatan ini memungkinkan auditor dan wajib pajak untuk bekerja sama dalam menemukan solusi yang adil dan proporsional. Dalam konteks Hanacaraka, ini sejalan dengan filosofi keseimbangan dan harmoni yang tercermin dalam susunan aksara Jawa, di mana setiap elemen memiliki peran dan tempat yang penting untuk menciptakan keselarasan.

2. Hermeneutika, Menafsirkan Data dan Konteks

Hermeneutika dalam audit pajak menekankan pentingnya interpretasi dan pemahaman terhadap data dan konteks di balik setiap transaksi. Setiap angka atau laporan keuangan memiliki konteks tertentu yang mungkin tidak sepenuhnya tercermin dalam angka itu sendiri. Dalam hal ini, auditor tidak hanya perlu melihat angka secara harfiah, tetapi juga menafsirkan makna yang lebih luas di baliknya, termasuk kondisi bisnis, praktik industri, dan faktor-faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi kepatuhan perpajakan.

Prosedur audit yang hanya berfokus pada kepatuhan formal tanpa mempertimbangkan konteks bisa mengakibatkan kesalahan penilaian. Misalnya, fluktuasi ekonomi atau perubahan regulasi yang mendadak dapat memengaruhi kemampuan wajib pajak untuk mematuhi aturan pajak. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutis, auditor dapat melihat gambaran yang lebih luas dan memahami alasan di balik keputusan perpajakan wajib pajak.

Pendekatan ini juga memungkinkan auditor untuk menilai niat dan integritas wajib pajak. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus, kesalahan pelaporan pajak mungkin bukan karena niat untuk menghindari pajak, tetapi karena kebingungan atau ketidaktahuan terhadap aturan yang berlaku. Dengan pendekatan hermeneutis, auditor dapat mengidentifikasi motif di balik kesalahan dan menentukan apakah tindakan korektif atau edukasi lebih tepat daripada sanksi yang keras.

Dalam konteks Hanacaraka, hermeneutika dapat dihubungkan dengan makna di balik aksara itu sendiri. Setiap huruf dalam Hanacaraka memiliki cerita dan makna yang lebih dalam, yang mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat permukaan, tetapi juga menafsirkan dan memahami makna di balik simbol-simbol yang ada. Dalam audit pajak, pendekatan ini mencerminkan pentingnya melihat konteks dan tidak hanya fokus pada angka dan aturan semata.

3. Hanacaraka, Simbol Keseimbangan dan Keselarasan dalam Audit Pajak

Hanacaraka, dengan urutannya yang menggambarkan kisah tentang dua ksatria yang saling bertarung hingga keduanya mati, sering ditafsirkan sebagai simbol keseimbangan dan konflik yang harus diselesaikan untuk mencapai harmoni. Dalam audit pajak, keseimbangan ini dapat diartikan sebagai upaya untuk menciptakan keadilan antara wajib pajak dan otoritas pajak.

Dalam sistem perpajakan, ada ketegangan alami antara upaya pemerintah untuk memaksimalkan pendapatan pajak dan keinginan wajib pajak untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka. Di sinilah peran audit menjadi penting dalam memastikan bahwa kedua pihak beroperasi dalam kerangka aturan yang adil dan proporsional.

Pendekatan dialektika dan hermeneutika dalam audit pajak, sebagaimana tercermin dalam filosofi Hanacaraka, menekankan pentingnya keseimbangan antara pengumpulan pajak yang adil dan perlakuan yang adil terhadap wajib pajak. Auditor berperan sebagai penjaga keseimbangan ini, memastikan bahwa kewajiban perpajakan dipenuhi tanpa merugikan pihak mana pun secara tidak adil.

4. Prosedur Audit sebagai Proses Dinamis

Prosedur audit pajak sering kali dianggap sebagai proses yang statis, dengan auditor mengikuti serangkaian langkah-langkah yang ditentukan. Namun, dengan pendekatan dialektika hermeneutis, prosedur audit dapat dilihat sebagai proses yang dinamis, di mana dialog dan interpretasi memainkan peran penting. Prosedur audit tidak hanya tentang mengikuti aturan, tetapi juga tentang beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang terus berubah.

Dalam konteks ini, auditor harus mampu menyesuaikan pendekatan mereka berdasarkan keadaan yang dihadapi. Mereka harus menggunakan keterampilan hermeneutis untuk menafsirkan data dan informasi secara holistik, serta menggunakan pendekatan dialektis untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul antara wajib pajak dan otoritas pajak. Hal ini mencerminkan fleksibilitas dan adaptabilitas yang diperlukan dalam audit pajak modern.

Pendekatan ini mencerminkan filosofi Hanacaraka yang menggambarkan hubungan dinamis antara elemen-elemen yang berbeda untuk mencapai keseimbangan dan harmoni. Dalam audit pajak, ini berarti bahwa auditor harus berperan sebagai mediator yang membantu menciptakan keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan wajib pajak.

5. Menggabungkan Nilai-Nilai Tradisional dan Modern dalam Audit Pajak

Pendekatan dialektika hermeneutis terhadap audit pajak, dengan menggunakan Hanacaraka sebagai analogi, juga menunjukkan bagaimana nilai-nilai tradisional dapat diintegrasikan dengan pendekatan audit modern. Dalam konteks budaya Jawa, nilai-nilai seperti keadilan, harmoni, dan integritas sangat dijunjung tinggi. Nilai-nilai ini sejalan dengan prinsip-prinsip audit yang mengutamakan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.

Dengan menggabungkan nilai-nilai tradisional ini dengan metode audit modern yang berbasis data dan teknologi, kita dapat menciptakan prosedur audit yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga bermakna secara moral dan etis. Pendekatan ini mengakui bahwa audit pajak bukan hanya soal mengevaluasi angka, tetapi juga soal memastikan bahwa proses ini dilakukan dengan cara yang adil dan bijaksana.

Daftar Pustaka

  1. Ricoeur, P. (1991). From Text to Action: Essays in Hermeneutics II. Northwestern University Press.
  2. Gadamer, H.-G. (1975). Truth and Method. Sheed and Ward.
  3. Suryadinata, L. (2000). Hanacaraka: Sejarah dan Filosofi Aksara Jawa. Yogyakarta: Penerbit Javanese Culture.
  4. Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
  5. Prakoso, B. (2015). Audit Pajak: Teori dan Praktik. Jakarta: Mitra Wacana Media.
  6. Muljono, A. (2002). Etika dan Filosofi Jawa dalam Audit Modern. Surabaya: Pustaka Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun