Mohon tunggu...
Daffa Mahardhika
Daffa Mahardhika Mohon Tunggu... Akuntan - Finance

Mahasiswa Magister Akuntansi - NIM 55523110019 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pemeriksaan Pajak - Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dialetika Hermeneutis Hancaraka untuk Prosedur Audit Pajak

20 Oktober 2024   13:37 Diperbarui: 20 Oktober 2024   13:51 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari perspektif logos atau rasionalitas, Aji Saka bisa ditafsirkan sebagai simbol dari peralihan masyarakat Jawa dari era mitos menuju era rasionalitas. Dalam tafsir ini, kisah Aji Saka melambangkan perubahan besar dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Jawa, dari dominasi kekuatan mistik dan tiran menjadi era yang lebih beradab dan tertata.

Hanacaraka, aksara Jawa yang diperkenalkan oleh Aji Saka, adalah representasi dari logos atau pemikiran rasional. Aksara adalah alat untuk menulis dan mencatat, yang merupakan bagian penting dari peradaban dan pengembangan intelektual. Dengan demikian, pengenalan aksara ini menandakan masuknya masyarakat Jawa ke era baru yang lebih rasional dan terorganisir.

Dalam tafsir historis, Dewata Cengkar dapat dilihat sebagai simbol kekuatan-kekuatan lama yang didasarkan pada ketakutan, takhayul, dan kekuasaan tiranik, sementara Aji Saka melambangkan kedatangan peradaban baru yang lebih berlandaskan hukum dan ketertiban. Dengan kata lain, ini bisa diartikan sebagai cerita tentang transisi dari "mitos" (ketergantungan pada kekuatan magis dan kepercayaan mistis) ke "logos" (pemikiran rasional dan tertata).

3. Tafsir Filosofis, Dualisme dan Kesetimbangan Kosmik

Dalam tafsir filosofis, kisah Aji Saka mencerminkan konsep dualisme dan kesetimbangan kosmik yang kental dalam budaya Jawa. Kehadiran Aji Saka yang melawan Dewata Cengkar sering kali dilihat sebagai simbolisasi pertarungan antara dua kekuatan yang berlawanan: terang melawan gelap, kebaikan melawan kejahatan, dan keteraturan melawan kekacauan. Namun, dalam tradisi Jawa, pertarungan ini tidak selalu berarti bahwa satu sisi harus sepenuhnya menghancurkan sisi lain; melainkan, keseimbangan dan harmoni harus dicapai antara kedua kekuatan tersebut.

Hanacaraka sendiri, aksara yang diperkenalkan oleh Aji Saka, juga melambangkan hubungan timbal balik dan harmoni ini. Setiap baris dalam aksara Hanacaraka menceritakan kisah tentang dua ksatria yang saling bertempur namun pada akhirnya tidak ada yang menang atau kalah secara mutlak. Ini dapat ditafsirkan sebagai metafora tentang bagaimana keseimbangan antara kekuatan yang berlawanan adalah kunci dalam menjaga ketertiban dunia. Dalam kosmologi Jawa, tidak ada kekuatan yang sepenuhnya baik atau jahat, tetapi keduanya saling melengkapi dan menciptakan keseimbangan.

4. Tafsir Budaya, Pengenalan Identitas dan Nilai Jawa

Dalam tafsir budaya, Aji Saka dan pengenalan aksara Hanacaraka merepresentasikan bangkitnya identitas budaya Jawa yang khas. Kisah ini menunjukkan bagaimana budaya Jawa memisahkan dirinya dari pengaruh luar dan membangun peradaban sendiri yang mandiri, baik dalam bentuk tulisan, bahasa, maupun nilai-nilai moral. Aksara Jawa menjadi salah satu identitas yang membedakan budaya Jawa dari yang lain, sementara tokoh Aji Saka menjadi simbol dari kebangkitan budaya tersebut.

Tafsir budaya ini sering digunakan untuk menekankan pentingnya nilai-nilai Jawa yang terkandung dalam cerita Aji Saka, seperti keadilan, kebijaksanaan, dan tatanan sosial yang baik. Aksara Hanacaraka dalam hal ini dilihat bukan hanya sebagai sistem penulisan, tetapi juga sebagai simbol dari filosofi dan pandangan hidup orang Jawa yang menekankan harmoni, keselarasan, dan keseimbangan dalam kehidupan.

5. Tafsir Spiritual, Mitos sebagai Refleksi Diri dan Kesadaran

Dalam tafsir spiritual, kisah Aji Saka dapat dipandang sebagai perjalanan spiritual seorang individu menuju pencerahan. Aji Saka melambangkan pencarian manusia untuk memahami realitas yang lebih dalam dan meraih kebijaksanaan. Pertarungannya melawan Dewata Cengkar dapat dipandang sebagai simbolisasi perjuangan batin melawan ego atau nafsu yang destruktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun