Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang pada pemilu kemarin terpilih, memulai pemerintahan keduanya dengan gegap-gempita, di mana tekad dan kekuatan politiknya benar-benar sedang dipuncak. Dengan mengklaim kemenangan mutlak di tujuh negara bagian swing states dan suara publik, Trump memulai periode ini dengan serangkaian langkah strategis yang cenderung agresif.
Para pendukungnya menyebut langkah Trump tersebut sebagai pendekatan "shock and awe", yaitu strategi yang merujuk kepada serangan bom besar-besaran saat Amerika membuka jalannya untuk menginvasi Irak. Segera setelah Trump dilantik, presiden dari Partai Republik ini meluncurkan sejumlah instruksi presiden yang mencakup berbagai isu, mulai dari perintah untuk menarik diri dari kesepakatan internasional hingga pembatalan berbagai kebijakan era Biden, termasuk langkah-langkah politiknya untuk membersihkan pegawai-pegawai federal dan menyerang isu-isu konservatif terkait dengan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran.
Akan tetapi, di balik semua langkah strategis yang juga arogan tersebut, terdapat banyak tantangan yang mengintai Trump dan pemerintahannya. Tantangan tersebut datang baik dari dalam koalisi politiknya, maupun ketika nanti Trump mengelola berbagai krisis yang dihadapi negaranya.
Retaknya Koalisi Pendukung Trump
Salah satu tantangan yang dihadapi Trump adalah koalisi pendukungnya yang dapat dibilang "retak" dan sungguh rentan. Bahkan, situasi ini dapat kita ketahui sejak sebelum Trump dilantik, di mana muncul ketegangan antara kelompok pendukung Trump yang berhaluan garis keras, seperti para pendukung politik "pembatasan imigran", dengan kelompok elite dari kalangan teknokrat yang berkecimpung di sektor bisnis besar, seperti Elon Musk dan Vivek Ramaswamy.
Elon Musk yang merupakan penyumbang dana terbesar untuk kampanye Trump, kini harus berada dalam posisi politik yang rumit. Kondisi ini terjadi setelah ia mengambil langkah-langkah politik yang berseberangan dengan Trump, termasuk langkahnya untuk mendorong kesepakatan untuk utang yang tak sejalan dengan kehendak Trump.
Konflik ini diperuncing lagi ketika Elon Musk memberikan pernyataan dan gestur tubuh seperti "hormat Nazi" yang kontroversial pada saat acara pelantikan Trump. Pernyataan Elon Musk segera memicu kecaman dari tokoh-tokoh MAGA (Make America Great Again), khususnya Steve Bannon, yang langsung mengkritik sikap Elon Musk saat itu.
Krisis Dalam Negeri dan Luar Negeri
Dalam konteks urusan dalam negeri, Trump dihadapkan pada sejumlah krisis besar yang diwarisi oleh pemerintahan Joe Biden. Salah satunya adalah dampak dari bencana alam yang melanda Amerika Serikat, yaitu kebakaran hutan yang dahsyat di California. Kebakaran ini saja sudah mengakibatkan tidak hanya kerusakan infrastruktur di sana, tetapi juga telah mengancam perekonomian negara bagian penyumbang 14% PDB Nasional tersebut.
Tidak hanya itu, bencana-bencana lainnya juga menyumbang krisis bagi pemerintahan Trump, yaitu potensi bencana iklim dan krisis finansial yang akan terjadi berikutnya. Situasi inilah yang menguji kapasitas Trump di era pemerintahan keduanya.
Selain krisis dalam negeri, Trump juga harus berhadapan pada tantangan geopolitik yang kompleks. Konflik Gaza, meskipun telah disepakati cease fire, tetap menimbulkan PR besar bagi pemerintahan Trump. Ketegangan Amerika dengan Israel menyebabkan situasi ini semakin mengancam stabilitas ekonomi-politik internasional.
Begitu juga dengan stiuasi di Ukraina. Potensi kegagalan Trump dalam berupaya untuk menegosiasikan konflik ini dengan Rusia menyebabkan negeri Paman Sam akan terjebak di dalam eskalasi perang atau "balik kiri bubar jalan", yang tentunya akan memengaruhi citra Amerika di tingkat internasional.
Janji Tinggallah Janji
Janji kampanye Trump yang ingin menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang "pahlawan" dari rakyat pekerja Amerika justru menjadi bumerang bagi pemerintahannya. Hal ini disebabkan politik pekerja/buruh yang diambil oleh pemerintahan Trump sangatlah berkontradiksi dengan "bualan" kampanyenya.