Definisi dan Asal Mula Apartheid
Awalnya, istilah "apartheid" merujuk pada sistem politik yang diperkenalkan secara resmi di Afrika Selatan pada tahun 1948. Sistem ini dibangun atas dasar undang-undang dan kebijakan diskriminasi rasial yang sudah ada sebelumnya, yang diterapkan di bawah pemerintahan minoritas kulit putih. Kajian kali ini akan mendasarkan pada Laporan Amnesty International yang terbit pada 2022.
Sistem apartheid di Afrika Selatan ditandai dengan undang-undang, kebijakan, dan praktik yang menjamin penindasan dan dominasi rasial, di mana satu kelompok ras (kulit putih) menguasai kelompok ras lain, terutama kulit hitam, tetapi tidak terbatas ras ini saja. Undang-undang Afrika Selatan ini, di antaranya termasuk Population Registration Act (1950), yang mengklasifikasikan warga negara menjadi "kelompok-kelompok populasi" berdasarkan ras; dan Reservation of Separate Amenities Act (1953), yang memungkinkan segregasi rasial fasilitas publik seperti tempat, kendaraan, dan layanan; serta masih banyak lainnya.
Sistem ini mencakup segregasi rasial formal dan diskriminasi yang diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan. Meskipun apartheid di Afrika Selatan berakhir pada pertengahan 1990-an, sistem serupa tetap diterapkan di negara-negara lain di Afrika bagian selatan hingga berakhirnya pemerintahan oleh minoritas rasial kulit putih. Misalnya, Zimbabwe, yang merdeka pada tahun 1980, dan Namibia, yang merdeka pada tahun 1990. Tiga negara lain di sub-wilayah tersebut secara resmi merupakan protektorat Inggris dan dengan efektif mempraktikkan beberapa bentuk segregasi dan/atau bergantung pada hubungan dengan ekonomi Afrika Selatan sehingga tunduk pada kebijakan apartheid; Botswana, yang memperoleh kemerdekaan pada tahun 1964; Lesotho, yang memperoleh kemerdekaan pada tahun 1966; dan Swaziland, yang memperoleh kemerdekaan pada tahun 1968. Bentuk-bentuk segregasi dan diskriminasi sistematis juga dipraktikkan di Angola dan Mozambik, yang merdeka pada tahun 1975.
Setelah pengenalan resmi apartheid pada 1948 dan terutama pada tahun 1970-an, komunitas internasional mulai mengadopsi istilah "apartheid" untuk mengutuk sistem-sistem penindasan rasial dan dominasi yang terinstitusionalisasi tersebut. Hal ini ditengarai oleh penetapan Mahkamah Internasional (ICJ) bahwa apartheid merupakan "pelanggaran terang-terangan terhadap tujuan dan prinsip-prinsip Piagam (PBB)."
Hal ini juga ditetapkan dalam Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Pembalasan Tindak Pidana Apartheid tahun 1973 atau International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid (Konvensi Apartheid) dan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Statuta Roma). Selain itu, Majelis Umum PBB (UNGA) telah menyatakan apartheid sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1968. Begitu pula, "tindakan tidak manusiawi yang dihasilkan dari kebijakan apartheid" telah terdaftar sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal I(b) Konvensi tentang Tidak Berlakunya Batas Waktu Hukum untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan atau Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity, diadopsi oleh Resolusi UNGA 2391 (XXIII) pada 26 November 1968, mulai berlaku pada 11 November 1970.
Larangan Hukum Internasional terhadap Apartheid
Komunitas internasional secara tegas melarang praktik apartheid dalam hukum publik internasional, hukum hak asasi manusia internasional, dan hukum pidana internasional. Pembatasan, larangan, dan kriminalisasi ini, termasuk dalam Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional (ICC), menggarisbawahi kehendak komunitas internasional untuk tidak hanya mengutuk dan mengkriminalisasi apartheid yang dipraktikkan di Afrika Selatan, tetapi juga mengutuk apartheid di mana pun sistem penindasan dan dominasi seperti ini diterapkan.
Lembaga internasional secara eksplisit melarang apartheid dalam tiga instrumen hukum utama:
- 1. Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial atau International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD).
- 2. Konvensi Internasional tentang Penghentian dan Hukuman Kejahatan Apartheid atau International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid (Konvensi Apartheid).
- 3. Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional (Statuta Roma).
Pencantuman apartheid dalam ketiga instrumen ini menunjukkan bahwa terdapat komitmen komunitas internasional untuk menanggulangi sistem apartheid di mana pun itu terjadi, dengan menindak setiap bentuk penindasan berdasarkan ras.
Ditambah lagi, "praktik apartheid" juga telah terdaftar sebagai pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional dan kejahatan perang. Lihat, khususnya, Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, dan Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), diadopsi 8 Juni 1977, mulai berlaku 7 Desember 1978, Pasal 85(4)(c); International Committee of the Red Cross (ICRC), Customary International Humanitarian Law, 2005, Aturan 156: Definition of War Crimes. Apartheid juga telah dikriminalisasi di bawah: UN Transitional Administration in East Timor Regulation 2000/15, 6 June 2000, UN Doc. UNTAET/REG/2000/15, Section 5(1)(j); Statute of the Extraordinary African Chambers Within the Courts of Senegal Created to Prosecute International Crimes Committed in Chad antara 7 Juni 1982 dan 1 Desember 1990, Pasal 6(e); Protocol on Amendments to the Protocol on the Statute of the African Court of Justice and Human Rights (Annex: Statute of the African Court of Justice and Human and Peoples 'Rights), diadopsi pada 27 Juni 2014.
Pencantuman Apartheid dalam Konvensi Internasional
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) yang diadopsi pada tahun 1965, dan telah diratifikasi oleh 182 negara, adalah instrumen pertama dalam hukum hak asasi manusia internasional yang secara tegas mengutuk dan melarang apartheid. Dalam Pasal 3 ICERD, ditegaskan bahwa "Negara Pihak secara khusus mengutuk segregasi rasial dan apartheid serta berjanji untuk mencegah, melarang, dan menghapuskan semua praktik seperti itu di wilayah yurisdiksinya."
Selain itu, Konvensi Apartheid yang diterima pada tahun 1973 mengutuk apartheid sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan Statuta Roma dari ICC, yang disahkan pada tahun 1998, juga mencakup apartheid sebagai kejahatan internasional yang dapat diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional.
Hukum Internasional tentang Apartheid dan Penerapannya dalam Kasus Israel
Hukum internasional dengan jelas mengkriminalisasikan praktik apartheid dan hal ini relevan dengan situasi di wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel. Kebijakan Israel yang menyegregasikan dan mendiskriminasi warga Palestina baik di wilayah yang dijajah (OPT) maupun di dalam negara Israel sendiri, menampilkan praktik-praktik yang serupa dengan apartheid, seperti segregasi rasial dan diskriminasi dalam akses terhadap sumber daya, tempat tinggal, dan kebebasan bergerak.
Praktik ini bertujuan untuk menghalangi warga Palestina dalam berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial dan politik di wilayah yang mereka tinggali, sedangkan pada saat yang bersamaan, sistem ini memberikan keuntungan dan hak istimewa kepada warga Yahudi Israel.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwasanya kebijakan Israel ini telah mencerminkan unsur-unsur dari apartheid sebagaimana didefinisikan oleh hukum internasional, termasuk segregasi hukum dan geografis antara warga Palestina dan warga Israel, serta pemisahan yang sengaja dilakukan untuk memperkuat dominasi satu kelompok rasial di atas yang lainnya.
Konsekuensi Hukum dari Praktik Apartheid
Berdasarkan ketiga instrumen internasional tersebut, komunitas internasional mengharapkan penegakan hukum yang efektif terhadap praktik-praktik apartheid di mana pun tindakan dan kebijakan ini terjadi. Negara-negara yang menandatangani ICERD, Konvensi Apartheid, dan Statuta Roma memiliki kewajiban untuk tidak hanya mengutuk tindakan apartheid, tetapi juga untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mencegah dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial dan apartheid dalam praktik mereka sendiri ataupun dalam hubungan internasional mereka. Jika terdapat bukti bahwa suatu negara, khususnya Israel, melakukan kejahatan apartheid, maka negara tersebut bisa dikenakan sanksi internasional atau bahkan diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional (ICC).
Dengan demikian, temuan Amnesty International menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan Israel terhadap warga Palestina tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga dapat dipandang sebagai bagian dari sistem apartheid yang secara tegas dilarang oleh hukum internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H