Seiring dengan berkembangnya kasus yang melibatkan Israel di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan Pengadilan Internasional (ICJ), muncul perdebatan mengenai relevansi atas penerapan konsep "tatanan internasional berbasis aturan" (rules-based international order) yang sering dipromosikan oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Menurut John Reynolds, ahli hukum internasional dari Maynooth University yang dilansir dari Jacobin pada 5 Desember 2024, konsep "tatanan internasional berbasis aturan" telah menunjukkan dua pengertian yang sangat berbeda dan bertolak belakang, di mana pengertiannya bergantung pada perspektif yang diambil.
Di satu sisi, "tatanan berbasis aturan" sering dipahami sebagai pengertian sehari-hari di mana sebuah sistem kemasyarakatan berlangsung dengan berlakunya aturan-aturan internasional yang jelas dan terkodifikasi serta diterapkan oleh semua negara, tanpa pengecualian. Dengan demikian, semua negara---termasuk negara-negara adidaya seperti AS dan sekutu-sekutunya---tetap dapat mendapatkan pertanggungjawaban jika melanggar aturan-aturan tersebut.
Akan tetapi, di sisi lain, bagi perspektif AS dan beberapa negara sekutunya, "tatanan berbasis aturan" ternyata memiliki makna yang jauh berbeda. Bagi AS dan sekutunya, "tatanan berbasis aturan" memiliki arti penegasan bahwa, "kami yang membuat aturan dan kami yang memberikan perintah." Dengan kata lain, aturan tersebut tidak berlaku bagi AS dan sekutu-sekutunya, sehingga aturan itu hanya berlaku bagi negara-negara yang tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya.
Ahli hukum yang juga menjadi aktivis demokrasi dan HAM ini menilai bahwa konsep "tatanan berbasis aturan" sesungguhnya hanya merupakan rekayasa yang dikonsepkan oleh pemerintahan Barack Obama untuk menghindari pembahasan tentang hukum internasional dan keadilan internasional bagi AS. "Konsep ini dirancang untuk mengelola persaingan ekonomi [internasional] yang [saat itu] berkembang dengan China dan terkait dengan persaingan imperialisme dalam tatanan ekonomi dan geopolitik internasional," ujarnya.
"Konsep ini dirancang untuk mengelola persaingan ekonomi [internasional] yang [saat itu] berkembang dengan China dan terkait dengan persaingan imperialisme dalam tatanan ekonomi dan geopolitik internasional," ujarnya.
Kendati "tatanan berbasis aturan" tampaknya menyuarakan sebuah sistem global yang adil dan universal, kenyataannya sistem ini kerap kali dibentuk hanya untuk menguntungkan kekuatan-kekuatan adidaya, terutama AS. Ketika AS dan sekutunya merasa aturan internasional menghalangi kepentingan mereka, mereka dengan mudah memilih untuk mengabaikan atau mengganti aturan tersebut sesuai dengan kepentingan mereka.
Terkait dengan ICC, Prof. Reynolds mencatat bahwa ketika pengadilan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin Rusia lainnya, banyak pihak memuji langkah tersebut sebagai tindakan yang "benar-benar" menegakkan tatanan internasional berbasis aturan. Namun, situasi dengan cepat berubah ketika ICC mulai mengeluarkan perintah serupa terhadap para pemimpin Israel. "Semua orang yang sebelumnya merayakan perintah penangkapan terhadap Putin kini menuduh ICC merusak ide keadilan internasional, dan bahkan ada yang menyarankan agar ICC [untuk segera] dibubarkan," ungkapnya.
"Semua orang yang sebelumnya merayakan perintah penangkapan terhadap Putin kini menuduh ICC merusak ide keadilan internasional, dan bahkan ada yang menyarankan agar ICC [untuk segera] dibubarkan," ungkapnya.
Reynolds menjelaskan bahwa perspektif imperialisme yang tersembunyi dengan nada rasial, turut membentuk pandangan media-media ternama, seperti Washington Post dan Wall Street Journal, yang dengan jelas menyatakan bahwa ICC "bukanlah wadah untuk meminta pertanggungjawaban Israel"---melainkan hanya untuk negara-negara yang lebih dianggap "buruk" oleh media-media tersebut, seperti Rusia, Sudan, atau Myanmar. Pandangan ini juga didukung oleh tokoh politik AS, seperti Senator Lindsey Graham, yang pernah menyatakan bahwa ICC tidak seharusnya menangani kasus-kasus yang melibatkan sekutu AS, seperti Israel.