Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontroversi Suksesi dalam Sejarah Islam: Perpecahan Sunni dan Syiah

6 Desember 2024   16:14 Diperbarui: 6 Desember 2024   16:14 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grand Syekh Al-Azhar (Sunni) Ahmad At-Thayyib bersama Pemimpin Spiritual Iran (Syiah Imamiyah) Ayatollah Ali Khamenei (Sumber foto: khamenei.ir)

Perpecahan dalam sejarah Islam terjadi pada masa awal penyebarannya setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Penyebab perpecahan adalah akibat munculnya perbedaan tentang siapa yang dianggap berhak memimpin komunitas Muslim pasca-Nabi ﷺ memimpin komunitas ini.

Kaum Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah) memercayai bahwa kepemimpinan umat pasca-Nabi Muhammad ﷺ haruslah dipilih melalui konsensus umat atau melalui mekanisme syura (musyawarah). Tepat setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, para sahabat Nabi dari kaum Anshar dan Muhajirin bersepakat untuk memilih sahabat dekat Nabi ﷺ, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., sebagai khalifah pertama. 

Kaum Sunni kemudian mendasarkan pandangan kekhalifahan pasca-Nabi dengan landasan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah secara eksplisit menunjuk seorang penggantinya sebagai epmimpin, sehingga keputusan mengenai suksesi harus diserahkan kepada umat untuk memilih pemimpin yang paling cocok melalui mekanisme musyawarah di tengah umat. Sampai hari ini, kaum Sunni menggunakan mekanisme ini untuk memilih pemimpin di negara-negara mayoritas Sunni (kecuali yang bersifat kedinastian atau kerajaan).

Berbeda halnya dengan kaum Sunni, kaum Syiah memiliki pandangan yang meyakini bahwa kepemimpinan umat Islam seharusnya berada di tangan keluarga (ahlul bait) Nabi Muhammad ﷺ, khususnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a., menantu sekaligus sepupu Nabi ﷺ. Kaum Syiah dalam hal ini merujuk keyakinannya kepada peristiwa Ghadir Khumm, di mana Nabi Muhammad ﷺ diyakini oleh kaum Syiah telah menunjuk Sayyidina Ali sebagai pemimpin umat dengan mengatakan bahwa, “Barang siapa yang menjadikanku sebagai tuannya, maka Ali adalah tuannya.” Oleh karena itu, kaum Syiah memandang penunjukan Sayyidina Ali ini sebagai mandat ilahi yang menegaskan bahwa Ali dan keturunannya adalah pemimpin sah yang harus diikuti setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ.

Saat sebagian besar kaum Muslim (dari kalangan kaum Anshar dan Muhajirin) berkumpul dan memilih Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah pertama. kaum Syiah menganggap pemilihan ini sebagai pengkhianatan terhadap penunjukan ilahi (perintah Nabi) yang telah ditujukan kepada Sayyidina Ali. Selain itu, Syiah mengklaim bahwa Sayyidina Ali sendiri tidak mau memberikan baiat kepada Sayyidina Abu Bakar, meski beberapa bulan kemudian Sayyidina Ali segera membaiat Sayyidina Abu Bakar, tepat setelah meninggalnya Sayyidah Fatimah r.a.

Ketegangan antara kedua kelompok ini semakin memuncak setelah Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. akhirnya diangkat menjadi khalifah keempat. Saat ia memerintah, kepemimpinannya ditantang oleh Sayyidina Muawiyah, Gubernur Suriah, yang menolak mengakui otoritas Kekhalifahan Ali.  Tepat setelah terbunuhnya Ali, Muawiyah segera mendirikan Dinasti Umayyah, yang menjadi awal dari dominasi politik kaum Sunni.

Perpecahan dalam Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah, menghasilkan berbagai sub-grup yang terbagi menurut aliran teologis, politik, dan sosial. Dua aliran utama ini memiliki pandangan dan praktik keagamaan yang berbeda.

Kelompok mayoritas dalam Islam, kaum Sunni, meyakini bahwa suksesi kepemimpinan dan pemilihan khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ harus melalui musyawarah. Sunni sendiri terdiri dari empat mazhab (aliran hukum) utama dalam hal yurisprudensi (fiqh), yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Kelompok minoritas, kaum Syiah, meyakini bahwa kepemimpinan Islam seharusnya diberikan kepada keluarga Nabi ﷺ, khususnya Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Syiah juga terbagi menjadi beberapa sub-grup berdasarkan pandangan mereka tentang imam-imam yang sah, seperti Syiah Imamiyah (Imam 12 Belas), Syiah Ismailiyah, dan Syiah Zaidiyah, yang kesemua imamnya adalah ahlul bait (keluarga) Nabi Muhammad ﷺ melalui Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah r.a.

Selain golongann Sunni dan Syiah, terdapat pula beberapa sekte atau sub-grup kecil lainnya dalam Islam, seperti Khawarij yang muncul pada awal sejarah Islam sebagai kelompok oposisi terhadap khalifah keempat, Ali. Kelompok ini dikenal karena sikapnya yang radikal dan berbeda dari kedua kelompok besar (Sunni dan Syiah).

Perbedaan signifikan yang terjadi di antara keduanya terutama hanya karena penentuan Khalifah pengganti Nabi Muhammad ﷺ yang dapat disebut sebagai aspek teologis-politik dan perbedaan dalam aspek historis-politik dalam hal perebutan kekuasaan. Selain kedua aspek ini, perbedaan Sunni-Syiah juga dapat dilihat dari sudut pandang sosial dan budaya. Kedua kelompok ini kemudian mengembangkan tradisi keagamaan, ritual peribadahan, dan hukum keagamaan yang berbeda. Sebagai contoh, Syiah memiliki perayaan khusus seperti Asyura yang memperingati kematian Imam Husain di Karbala, sedangkan Sunni tidak merayakan peristiwa ini dengan cara yang sama, Sunni hanya mendoakan Sayyidina Imam Husain r.a.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun