Dalam konteks studi akademis oleh para sarjana Barat, terdapat anggapan bahwa perhatian dan minat terhadap Syiah sering kali lebih rendah dibandingkan Sunni. Dalam sejarah Islam, kaum Sunni memang menjadi kelompok mayoritas dan mendominasi wilayah politik dan budaya Islam selama berabad-abad, meski masih ada beberapa saat di mana Syiah memimpin (Khalifah Fatimiyah). Hal ini kemudian menciptakan bias dalam catatan sejarah dan penelitian akademik, di mana Sunni sering kali lebih banyak diulas dan dianalisis sebagai representasi Islam. Akibatnya, literatur dan studi tentang Syiah relatif lebih sedikit. Peneliti-peneliti yang ingin meneliti Syiah pun mungkin harus menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akses terhadap sumber-sumber primer yang ditulis oleh ulama-ulama Syiah atau mengakses komunitas Syiah di berbagai wilayah, terutama di kawasan di mana Syiah merupakan minoritas. Sumber-sumber Syiah yang autentik sering kali sulit ditemukan di institusi akademik yang dikuasai oleh Sunni.
Ada persepsi di kalangan akademisi bahwa kajian tentang Syiah bisa menjadi objek penelitian yang sensitif secara politik, mengingat perbedaan doktrinal yang tajam antara Sunni dan Syiah serta sejarah panjang konflik dan ketegangan antara kedua kelompok ini. Hal ini dapat menyebabkan pengabaian terhadap penelitian yang mendalam mengenai tradisi Syiah.
Dalam dunia Islam modern, negara-negara dengan mayoritas Sunni sering kali memiliki pengaruh yang lebih besar di panggung internasional, yang menyebabkan studi akademis tentang Sunni lebih menonjol di universitas-universitas besar. Di sisi lain, negara-negara Syiah seperti Iran, meskipun berpengaruh secara politik, tidak memiliki pengaruh yang sama dalam konteks internasional bila dibandingkan dengan negara-negara Sunni, seperti Indonesia, Malaysia, atau Mesir.
Dalam sejarah studi Islam saja, dapat dilihat bahwa memang perhatian lebih banyak diarahkan kepada Sunni. Syiah, pada umumnya, digambarkan melalui sudut pandang para penentangnya, sehingga menghasilkan citra negatif Syiah di kalangan Barat. Baru pada akhir abad ke-19, penelitian independen tentang Syiah mulai berkembang. Perkembangan ini terutama dipelopori oleh seorang orientalis Hungaria bernama Ignaz Goldziher. Goldziher adalah salah satu dari sedikit sarjana Barat pada waktu itu yang menganggap penting untuk mempelajari Syiah secara mendalam.
Sebelumnya, kajian tentang Islam, khususnya di kalangan para orientalis, lebih berfokus pada tradisi Sunni yang dianggap sebagai representasi utama dari Islam. Syiah tidak mendapatkan perhatian yang signifikan, dan pengetahuan tentangnya terbatas pada narasi dari sudut pandang Sunni yang mendominasi studi Islam di Barat.
Ada berbagai cara untuk menjelaskan perbedaan ini, mulai dari membandingkannya dengan konflik Katolik-Protestan dalam Kekristenan, hingga penjelasan etnis yang meragukan seperti Sunnisme Arab versus Syiah Persia. Meskipun beberapa interpretasi ini ada benarnya, mereka juga cenderung lebih salah daripada benar, seperti yang dinyatakan oleh Bernard Lewis.
Kontroversi antara Sunni dan Syiah berpusat pada bagaimana mereka menafsirkan peristiwa-peristiwa awal dalam sejarah Islam, khususnya terkait dengan suksesi kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Namun, sumber sejarah yang ada adalah laporan yang disusun secara ex post facto dan sering kali dipengaruhi oleh bias penulisnya.
Menurut pandangan Syiah, Nabi Muhammad ﷺ telah menunjuk Ali sebagai penggantinya, terutama melalui peristiwa Ghadir Khumm, di mana Nabi ﷺ mengatakan, “Barang siapa yang menjadikanku sebagai tuannya, maka Ali adalah tuannya.” Bagi Syiah, ini adalah penegasan Ilahi melalui Nabi Muhammad ﷺ bahwa Ali adalah Imam yang sah. Namun, menurut Sunni, ini tidak dimaksudkan sebagai penunjukan Ali sebagai pemimpin politik.
Setelah wafatnya Nabi ﷺ, Abu Bakar dipilih sebagai khalifah pertama, sebuah peristiwa yang dianggap oleh kaum Syiah sebagai pengabaian kehendak ilahi. Ali tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar sampai beberapa bulan kemudian, setelah wafatnya Fatimah, istri Ali.
Ali tidak memegang peran politik atau militer selama masa kekhalifahan tiga khalifah pertama (Abu Bakar, Umar, dan Utsman). Dia kemudian menjadi khalifah setelah terbunuhnya Utsman, tetapi kekuasaannya segera ditantang oleh kelompok-kelompok yang menentangnya, termasuk Muawiyah, gubernur Suriah, yang akhirnya mendirikan Dinasti Umayyah setelah kematian Ali. Husain, putra kedua Ali, memimpin pemberontakan melawan Yazid, putra Muawiyah, tetapi pemberontakan ini berakhir tragis dengan tewasnya Husain di Pertempuran Karbala pada tahun 680. Peristiwa ini memiliki makna besar dalam identitas Syiah, memperkuat klaim mereka atas kepemimpinan umat Islam.
Sunni dan Syiah memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang peristiwa-peristiwa awal dalam sejarah Islam. Kaum Sunni cenderung mendukung status quo dan memandang pilihan Abu Bakar sebagai khalifah sebagai sesuatu yang sah dan tidak bertentangan dengan kehendak ilahi. Mereka juga menerima Ali sebagai salah satu dari empat “khalifah yang benar” (Rasyidun), meskipun tidak setuju dengan klaim Syiah atas penunjukannya sebagai Imam yang sah.