A. Pembebasan Yerusalem oleh Umat Islam
Pada tahun 637 M, pasukan Muslim di bawah Khalifah Umar bin Khattab r.a. mulai memasuki wilayah sekitar Yerusalem. Pada masa itu, Yerusalem masih berada di bawah kekuasaan Patriarkh Sophronius dari Yerusalem, seorang wakil pemerintah Kekaisaran Bizantium sekaligus pemimpin dalam Gereja Kristen di wilayah tersebut. Meskipun pasukan Muslim yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dan Amr bin 'Ash telah mengepung kota tersebut, Sophronius tetap bersikeras untuk tidak menyerah kecuali Khalifah Umar bin Khattab, pemimpin tertinggi umat Islam pada masa itu, datang sendiri untuk menerima penyerahan kota.
1. Kehadiran Umar bin Khattab di Yerusalem
Mengetahui syarat tersebut, Khalifah Umar bin Khattab, dengan kerendahan hatinya yang luar biasa, segera melakukan perjalanan dari Madinah menuju Yerusalem. Ia berangkat ke Yerusalam hanya dengan menunggangi seekor keledai dan hanya diiringi oleh seorang pelayan tanpa diiringi pasukan besar atau kemewahan yang biasanya melekat pada seorang pemimpin-pemimpin besar pada masa itu.
Setibanya di Yerusalem, Khalifah Umar langsung disambut oleh Patriarkh Sophronius. Penampilannya yang sederhana, yang hanya mengenakan jubah biasa, menyebabkan Khalifah Umar tidak dapat dibedakan dari pelayannya yang sama-sama sederhana. Sikap rendah hati (tawadhu') ini mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan Islam yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan keadilan.
2. Kunjungan Umar ke Tempat-Tempat Suci
Setelah penyerahan kota dari Patriarkh Sophronius, Khalifah Umar diajak untuk berkeliling (tur) kota oleh Sophronius. Dalam turnya ke sekitaran kota, Khalifah Umar terutama mengunjungi tempat suci, khususnya ke Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre), salah satu situs paling suci dalam tradisi Kristen. Peristiwa ini menjadi momen penting yang menunjukkan betapa masyhurnya cara berhubungan diplomatis dan penghormatan terhadap agama lain dalam sejarah kekuasaan Islam.
Ketika waktu shalat tiba, Sophronius mempersilakan Khalifah Umar untuk melaksanakan shalat di dalam gereja tersebut. Namun, Khalifah Umar dengan bijaksana menolak tawaran itu. Ia menyadari bahwa, jika ia shalat di dalam gereja, umat Islam pada masa depan kemungkinan besar akan menggunakan peristiwa itu sebagai alasan untuk mengubah gereja tersebut menjadi masjid, yang pada akhirnya akan menghilangkan tempat suci tersebut dari komunitas Kristen. Sebagai alternatif, Khalifah Umar memilih untuk shalat di luar gereja. Di lokasi tersebutlah kemudian dibangun sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid Umar (Masjid Umar bin Khattab).
3. Kebijakan Toleransi Umar terhadap Komunitas Kristen
Sikap Umar terhadap penduduk Kristen di Yerusalem menunjukkan prinsip-prinsip keadilan dan toleransi yang menjadi ciri khas pemerintahan Islam. Penyerahan Yerusalem kepada Khalifah Umar ini disertai pula dengan jaminan perlindungan terhadap penduduknya, termasuk hak untuk menjalankan agama mereka tanpa adanya gangguan. Pakta Umar, yang disepakati pada masa itu, memberikan jaminan bahwa tempat-tempat peribadatan umat Kristen, seperti Gereja Makam Kudus, tidak akan diubah ataupun dirusak.
Kebijakan ini tidak hanya menunjukkan penghormatan dari agama Islam terhadap keberagaman agama, tetapi juga memperkuat adanya hubungan diplomasi sosial-politik antara umat Islam dan komunitas Kristen di wilayah tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, tindakan Khalifah Umar dalam Pakta Umar ini menjadi contoh bagaimana Islam telah memberikan kerangka untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di wilayah yang baru ditaklukkan.
4. Masjid Umar sebagai Simbol Perdamaian
Pendirian Masjid Umar di luar Gereja Makam Kudus merupakan simbol nyata dari komitmen umat Islam terhadap toleransi beragama. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah bagi umat Muslim, melainkan juga simbol perdamaian dan penghormatan terhadap keyakinan agama lain. Tindakan Umar ini menjadi preseden penting dalam sejarah Islam tentang bagaimana umat Islam berinteraksi dengan komunitas agama lain di wilayah yang mereka kuasai.
B. Kesimpulan
Penaklukan Yerusalem pada masa Umar bin Khattab tidak hanya menandai peristiwa besar dalam sejarah politik Islam, tetapi juga menjadi contoh penting dalam penerapan nilai-nilai Islam, seperti kesederhanaan, keadilan, dan toleransi yang dicontohkan langsung oleh beliau. Sikap Umar yang rendah hati (tawadhu') dan kebijaksanaannya dalam menangani hubungan diplomatisnya dengan komunitas Kristen menunjukkan bahwa Islam tidak hanya "berkeinginan" untuk memperluas wilayah kekuasaannya melalui kekuatan militer, tetapi juga melalui pendekatan moral yang mampu membangun hubungan harmonis dengan masyarakat yang berbeda agama dan budaya.
Penyerahan Yerusalem secara damai serta pendirian Masjid Umar mencerminkan semangat keberagaman dan perdamaian yang seharusnya terus menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan bersama di tengah perbedaan. Hal ini menjadikan kisah penaklukan Yerusalem sebagai salah satu babak yang membanggakan dalam sejarah Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H