Pada tahun 1957, Willem Oltmans bersama dengan beberapa pendukung di Belanda mengajukan "pleidoi" yang menyoroti ketidakmampuan Belanda dalam mempertahankan Papua Barat sembari terus menjaga posisinya sebagai kekuatan perdagangan di Asia Tenggara. Pleidoi ini, yang didukung oleh berbagai individu penting di Belanda, termasuk profesor, pengusaha, dan cendekiawan, memicu reaksi kemarahan di Belanda. Media seperti De Telegraaf mengkritik Oltmans dengan sebutan "woelratje" (pengacau), dan beberapa komentar bahkan menyamakan situasinya dengan pengkhianatan negara, seperti yang dilakukan terhadap Johan van Oldenbarneveldt di masa lalu.
Oltmans mengkritik keras kebijakan Belanda dan menilai bahwa negaranya ini terlalu memaksakan diri dalam mempertahankan Papua Barat, sedangkan posisi Belanda sebagai kekuatan posisi perdagangan di Asia Tenggara menjadi taruhannya. Pleidoi ini menunjukkan ketegangan antara kepentingan kolonial Belanda dan realitas politik internasional yang berubah.
Akibat dari pleidoi ini, Oltmans menghadapi dampak langsung berupa pemecatan dari posisinya di beberapa media karena campur tangan pemerintah Belanda, terutama melalui Kementerian Luar Negeri. Oltmans melaporkan bahwa ia menerima telegram pemecatan dari media tempat ia bekerja dan merasakan dampak langsung dari campur tangan pemerintah dalam jurnalisme. Ini mencerminkan ketegangan antara kebebasan pers dan intervensi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan luar negeri.
Tak lama dari kejadian ini, Oltmans melakukan perjalanan internasional, ke New York, Amerika Serikat, pada tahun 1957, untuk melaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Papua Barat. Barulah tepat pada tanggal 28 Februari 1957, Komite Politik PBB mengadopsi resolusi yang diajukan oleh Oltmans ini untuk membentuk komisi mediasi guna membantu menyelesaikan sengketa antara Belanda dan Indonesia. Selama perjalanan ini, Oltmans juga melaporkan kondisi batalyon Kontingen Garuda Indonesia yang ditempatkan di Timur Tengah, termasuk di Gaza dan Sinai.
Dalam laporan-laporannya, Oltmans menghadapi reaksi keras dari pemerintah Mesir yang merasa terancam oleh laporan-laporannya yang dianggap merugikan. Ini menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh jurnalis dalam melaporkan kondisi di area berlangsungnya konflik dan bagaimana laporan tersebut bisa mempengaruhi hubungan internasional.
Di tengah konteks politik internasional yang demikian inilah, Presiden Sukarno berusaha mengimplementasikan reformasi politik di Indonesia dengan memperkenalkan ide "demokrasi terpimpin". Presiden Sukarno merasa bahwa sistem demokrasi Barat, khususnya model Westminster, tidak sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dia mengusulkan bentuk demokrasi yang lebih sesuai dengan budaya dan sejarah Indonesia, yakni demokrasi yang mengutamakan musyawarah dan mufakat.
Presiden Sukarno berpendapat bahwa masyarakat Indonesia, dengan tradisi musyawarah-mufakatnya yang panjang, lebih cocok dengan sistem pemerintahan yang mengutamakan konsensus atau bersepakat daripada model pemungutan suara (mayoritas) yang sering menyebabkan perpecahan. Dalam usahanya untuk mengubah sistem politik, Presiden Sukarno menginginkan sistem yang membatasi jumlah partai politik dan memperkuat pengambilan keputusan yang berbasis konsensus.
Oltmans mencatat bahwa pandangan Presiden Sukarno mengenai demokrasi juga memiliki kesamaan dengan pandangan Nelson Mandela yang diungkapkan dalam bukunya "Long Walk to Freedom". Mandela dalam bukunya juga menggarisbawahi pentingnya proses musyawarah dan konsensus dalam budaya ke-Afrika-an yang mirip dengan ide Presiden Sukarno mengenai ke-Indonesia-an. Keduanya sama-sama menolak model Westminster yang berbasis pada mayoritas sederhana dan menekankan pentingnya inklusi semua pihak dalam proses pengambilan keputusan.
Reaksi internasional terhadap ide Presiden Sukarno mengenai "demokrasi terpimpin" sangat beragam. Beberapa pihak di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, salah memahami konsep tersebut dengan pandangan yang mereka anggap sebagai kecenderungan ke arah komunis. Oltmans mencatat bahwa Presiden Sukarno merasa frustrasi dengan penilaian yang tidak akurat dan upaya media internasional yang merancukan gagasannya.
Presiden Sukarno melakukan reformasi politik hukum ke arah Demokrasi Terpimpin ini ditujukan untuk membatasi konflik politik di tengah elite dan memperkuat stabilitas dengan mengurangi jumlah partai politik yang berpartisipasi dalam pemerintahan. Ini merupakan bagian dari usahanya untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih stabil dan sesuai dengan kebutuhan serta karakter bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H