Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Krisis Kepemimpinan Dunia Islam Modern: Belajar dari Keteguhan Salahuddin Al-Ayyubi

15 Januari 2025   10:40 Diperbarui: 15 Januari 2025   10:40 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Fragmentasi dan Pengaruh Asing dalam Era Salahuddin Al-Ayyubi

1. Fragmentasi Politik di Dunia Islam

Setelah masa keemasan Khulafaur Rasyidin dan awal kejayaan Khilafah Abbasiyah, dunia Islam mulai memasuki fase disintegrasi dalam aspek politik. Pada abad ke-10 M, Khilafah Abbasiyah mulai melemah akibat munculnya dinasti-dinasti lokal yang menuntut otonomi, seperti Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Dinasti Buwaihi di wilayah Persia. Konflik internal ini tidak hanya menimbulkan instabilitas politik tetapi juga memperdalam perpecahan sektarian antara Sunni dan Syiah.

a) Dinasti Fatimiyah

Fatimiyah, sebuah khilafah Ismailiyah Syiah yang berdiri di Afrika Utara, kemudian memperluas kekuasaannya ke Mesir dan mendirikan Kairo sebagai pusat pemerintahannya. Fatimiyah menjadi ancaman serius bagi dominasi Sunni Abbasiyah dan menciptakan ketegangan sektarian yang merusak solidaritas umat Islam pada masa itu.

b) Dinasti Buwaihi

Buwaihi, dinasti Syiah Dua Belas Imam yang muncul dari wilayah Daylam, berhasil mengambil alih Baghdad pada 945 M. Mereka menjadikan khalifah Abbasiyah sebagai simbol tanpa kekuasaan nyata, di mana dinasti ini mengurangi legitimasi politik Abbasiyah di mata dunia Islam.

Fragmentasi politik ini menciptakan ruang bagi munculnya dinasti-dinasti Sunni lainnya, seperti Seljuk untuk memulihkan kekuasaan Sunni dan berupaya menyatukan umat Islam. Namun, Seljuk pun tidak kebal terhadap perpecahan internal, ditambah dengan wilayah kekuasaan yang terpecah di antara pemimpin-pemimpin lokal. Rivalitas di antara para pemimpin ini semakin memperlemah kemampuan dunia Islam untuk menghadapi ancaman eksternal.

2. Pengaruh Asing dan Ekspansi Perang Salib

Disintegrasi politik dunia Islam yang sebelumnya dijelaskan dimanfaatkan oleh pasukan Salib dari Eropa untuk merebut wilayah strategis di Timur Tengah. Perang Salib pun dimulai pada akhir abad ke-11 dengan tujuan utama merebut wilayah Yerusalem dan tanah suci umat Islam lainnya.

a) Kemenangan Awal Pasukan Salib

Pada tahun 1099 M, dalam Perang Salib Pertama, pasukan Kristen berhasil merebut Yerusalem, di mana Kristen membantai penduduk Muslim dan Yahudi di kota tersebut. Selama beberapa dekade berikutnya, pasukan Salib mendirikan negara-negara Latin di wilayah Syam, seperti Kerajaan Yerusalem, yang menjadi ancaman langsung bagi dunia Islam.

b) Eksploitasi Perpecahan Muslim

Pasukan Salib mampu bertahan dan memperluas pengaruhnya karena memanfaatkan fragmentasi politik dunia Islam yang terjadi pada masa itu. Banyak penguasa Muslim yang lebih fokus pada kepentingan lokal mereka daripada menyatukan kekuatan untuk melawan musuh bersama. Dalam banyak kasus, penguasa Muslim bahkan menjalin aliansi sementara dengan pasukan Salib untuk mengalahkan rival Muslim mereka.

3. Usaha Pemulihan oleh Dinasti Seljuk

Dinasti Seljuk, yang muncul pada abad ke-11, berupaya memulihkan kekuatan Sunni dan menyatukan dunia Islam. Pada tahun 1055 M, Seljuk mengambil alih Baghdad dan menjadi pelindung atas Khilafah Abbasiyah. Namun, meskipun mereka berhasil menciptakan stabilitas sementara, Seljuk juga menghadapi tantangan berupa perpecahan internal di antara para penguasa lokalnya.

Kondisi ini membuat dunia Islam tetap rentan terhadap ancaman eksternal, termasuk serangan pasukan Salib. Salahuddin Al-Ayyubi muncul di tengah konteks ini, dengan visi untuk memulihkan persatuan umat Islam dan membebaskan tanah suci dari cengkeraman pasukan Salib.

B. Strategi Salahuddin dalam Mengatasi Fragmentasi dan Pengaruh Asing

Salahuddin memahami bahwa kunci untuk menghadapi ancaman eksternal bagi umat Muslim satu-satunya adalah dengan mengatasi perpecahan internal umat Islam. Ia menerapkan strategi yang mencakup aspek politik, militer, dan keagamaan untuk mengatasi tantangan ini.

1. Penyatuan Mesir dan Suriah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun