Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sukarno di Roma, Italia (1956): Pertemuan Bersejarah yang Mengguncang Politik Belanda (2-Selesai)

19 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 22 November 2024   06:10 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya itu, De Telegraaf bahkan memecat Willem Oltmans, setelah ia menerima tekanan demi tekanan dari Duta Besar Boon (Duta Besar Belanda di Italia) yang menyatakan bahwa Oltmans telah "bersekongkol" dengan Presiden Sukarno. Oltmans diklaim sebagai pengkhianat bangsa dan negara oleh pemerintah Kerajaan Belanda.

Selama bertahun-tahun setelah pertemuannya dengan Presiden Sukarno, Willem Oltmans kemudian harus mengalami penindasan dari pemerintah Belanda. Ia kehilangan karier jurnalistiknya dan harus menghadapi pelarangan sosial dan politik di negaranya sendiri, sehingga ia harus mengalami penderitaan demi penderitaan. 

Meskipun demikian, Oltmans tetap mempertahankan keyakinannya bahwa apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang benar dan nyata-nyata sesuai dengan prinsip-prinsip kemerdekaan pers. Baru pada tahun 1991-lah, berkat intervensi dari Ratu Beatrix melalui penandatangan undang-undang kebebasan informasi, Oltmans baru bisa memperoleh dokumen yang membuktikan bahwasanya memang terdapat campur tangan pemerintah dalam pemecatannya kala bertemu dengan Presiden Sukarno.

Selanjutnya, pada tahun 1994, Perdana Menteri Ruud Lubbers bahkan mengakui bahwa apa yang dialami oleh Oltmans selama empat dekade adalah situasi yang sangat "tidak menyenangkan" dan merupakan bentuk ketidakadilan bagi seorang jurnalis yang kompeten, objektif, dan menjunjung tinggi kebebasan pers. Namun demikian, bagi Oltmans, pengakuan ini tidak cukup untuk menghapus kerusakan demi kerusakan yang telah dilakukan oleh Belanda kepada Oltmans. Kisahnya adalah bukti bahwa jurnalisme yang jujur dan independen, sering kali harus berhadapan dengan kekuatan politik yang besar dengan kepentingan-kepentingannya.

Pertemuan Willem Oltmans dengan Presiden Sukarno di Roma ini bukan hanya sebuah momen diplomatik antara jurnalis dan seorang presiden dari negara besar yang baru merdeka, melainkan juga simbol dari perjuangan seorang jurnalis yang ingin mewartakan informasi sejujur-jujurnya kepada publik. Terbukti di mana dia berani mengambil keputusan untuk melawan keputusan politik yang mencoba menutup-nutupi kebenaran.

Presiden Sukarno, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, melihat dalam diri Oltmans sebagai seorang wartawan yang berani berbicara jujur, meski dirinya harus menghadapi konsekuensi berat di dalam hidupnya. Bagi Oltmans, persahabatan dengan Presiden Sukarno menjadi landasan penting dalam hidupnya, walaupun harus menyebabkan dirinya "dipinggirkan dan diasingkan" oleh negaranya sendiri selama empat dekade.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa dalam diplomasi, media, dan politik, ada harga yang harus dibayar oleh mereka yang memilih untuk menentang arus kekuasaan.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun