Cita-cita persatuan Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah, sudah menjadi harapan dalam komunitas Muslim. Oleh karena itu, di sini kami akan memaparkan gambaran tentang upaya persatuan ini, supaya kekuatan Islam semakin kuat dalam menghadapi segala ancaman dari luar.
Fokus dari tulisan ini adalah untuk melacak asal-usul dan jalannya perdebatan yang terjadi di intra-Islam sepanjang abad ke-20. Di sentral tulisan kal ini, kami akan menjelaskan tentang hubungan antara Universitas Al-Azhar di Kairo, sebagai pusat terpenting bagi ilmu agama aliran Sunni, dengan Iran, sebagai pusat utama dari ulama Syiah.
Meskipun Syiah hanya memiliki sedikit pengaruh di Mesir pada era modern, Kairo menjadi tempat di mana bagian paling penting dari gerakan ekumenis (taqrb) ditulis. Hal ini terjadi berkat berdirinya Jam'at Al-taqrb bayn Al-madhhib Al-Islmiyya pada tahun 1947, yang berhasil mengumpulkan banyak ulama dari Al-Azhar dan ulama Syiah dari dunia Islam yang lebih luas.
Perpecahan polemik antara Sunni dan Syiah telah berakar lama dalam tradisi heresiografis Islam, sehingga upaya untuk mencapai rekonsiliasi yang bersifat ekumenis (taqrb atau taqrub) antara kedua komunitas adalah fenomena yang relatif baru dalam sejarah Islam. Gerakan ini muncul pada akhir abad ke-19, bersamaan dengan berkembangnya gerakan pan-Islamisme di dunia.
Aktivitas organisasi ini, sejarah dan latar belakangnya, yang berhasil diciptakan secara sementara akan dibahas secara mendetail. Pertanyaan utamanya adalah, di luar dari tujuan-tujuan teologis dan yuridis yang sudah diharapkan, mengenai suatu yang memotivasi bagi para sarjana untuk menjalin kontak dengan perwakilan dari denominasi lain. Dalam hal ini, akan pula diselidiki mengenai sejauh mana keadaan politik saat itu berpengaruh pada kesuksesan diskusi teologis dan sejauh mana keadaan tersebut membuat diskusi tersebut mungkin terjadi serta menyebabkan kegagalannya.
Gaya argumentasi, potensi rekonsiliasi, dan hambatan-hambatan yang muncul kembali selama diskusi akan dianalisis secara mendalam. Tidak akan dilupakan pula bahwa polemik-polemik yang muncul akibat upaya-upaya ekumenis itu sendiri juga terjadi. Organisasi Jam'at Al-taqrb yang memiliki misi utama untuk mengurangi ketegangan sektarian melalui diskusi teologis, penerbitan karya ilmiah, dan penyebaran gagasan bahwa perbedaan antarmazhab tidak harus menjadi penghalang bagi kesatuan umat. Namun, sebagaimana yang telah ditulis sebelumnya, gerakan ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk:
1) Ketegangan Politik dan Keagamaan
Meski dialog berjalan pada tingkat intelektual (ranah akademis), pengaruh dalam aspek perpolitikan (kekuasaan) sering kali menghambat kemajuan dalam pengupayaan rekonsiliasi. Hubungan diplomatik antara negara-negara mayoritas Sunni dan Syiah, seperti Mesir dan Iran, mencerminkan tantangan ini.
2) Keterbatasan Penerimaan Sosial
Meskipun organisasi ini berhasil melibatkan cendekiawan terkemuka, penerimaan ide taqrb oleh masyarakat umum tetap menjadi tantangan besar. Sentimen sektarian yang mendalam dan konflik historis sering kali menghambat penyebaran gagasan rekonsiliasi. Ditambah lagi, dalam lingkungan Islam Syiah, kebencian terhadap sahabat Nabi Muhammad telah berakar sangat dalam, sedangkan di kalangan Sunni, mereka merasa bahwa Syiah terlalu ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.
3) Keberlanjutan Gerakan
Setelah mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20, gerakan taqrb kemudian mengalami penurunan pengaruh, sebagian besar karena dinamika politik global dan regional yang memengaruhi hubungan Sunni-Syiah.
Gerakan taqrb ini juga mencerminkan upaya untuk meninjau kembali narasi sejarah Islam yang terfragmentasi, dengan tujuan menciptakan ruang dialog dan kesatuan antara Islam Sunni dan Syiah. Inisiatif ini juga menyoroti peran sejarah awal pada masa penyebaran Islam dalam membentuk identitas sektarian modern. Dalam konteks yang lebih luas, taqrb bukan hanya upaya untuk memahami masa lalu, melainkan juga langkah penting dalam menjawab tantangan umat Islam di era modern.
Intisari
Upaya rekonsiliasi Sunni-Syiah melalui gerakan taqrb menunjukkan bahwa tetap terdapat potensi untuk menciptakan dialog lintas sektarian, meskipun polemik sejarah telah memecah belah umat Islam selama berabad-abad. Peran institusi seperti Jam'at Al-taqrb bayn Al-madhhib Al-islmiyya menjadi bukti bahwa dialog dapat membuka jalan untuk pemahaman yang lebih mendalam, meskipun tidak selalu menghasilkan kesatuan yang utuh.
Namun, keberhasilan gerakan ini sangat tergantung pada konteks politik, sosial, dan budaya yang melingkupinya. Dalam historiografi Islam, gerakan taqrb menjadi contoh penting bagaimana masa lalu dapat digunakan untuk membangun masa depan yang lebih inklusif dan harmonis di tengah perbedaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI