Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Taqrib: Cita-cita Persatuan Islam (Sunni-Syiah) dalam Sejarah dan Tantangan di Era Modern

21 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 22 November 2024   03:47 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan muda memegang spanduk Sunni & Syiah untuk bersatu dalam irama ke-Islam-an. (Sumber: FLICKR)

Cita-cita persatuan Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah, sudah menjadi harapan dalam komunitas Muslim. Oleh karena itu, di sini kami akan memaparkan gambaran tentang upaya persatuan ini, supaya kekuatan Islam semakin kuat dalam menghadapi segala ancaman dari luar.

Fokus dari tulisan ini adalah untuk melacak asal-usul dan jalannya perdebatan yang terjadi di intra-Islam sepanjang abad ke-20. Di sentral tulisan kal ini, kami akan menjelaskan tentang hubungan antara Universitas Al-Azhar di Kairo, sebagai pusat terpenting bagi ilmu agama aliran Sunni, dengan Iran, sebagai pusat utama dari ulama Syiah. 

Meskipun Syiah hanya memiliki sedikit pengaruh di Mesir pada era modern, Kairo menjadi tempat di mana bagian paling penting dari gerakan ekumenis (taqrb) ditulis. Hal ini terjadi berkat berdirinya Jam'at Al-taqrb bayn Al-madhhib Al-Islmiyya pada tahun 1947, yang berhasil mengumpulkan banyak ulama dari Al-Azhar dan ulama Syiah dari dunia Islam yang lebih luas.

Perpecahan polemik antara Sunni dan Syiah telah berakar lama dalam tradisi heresiografis Islam, sehingga upaya untuk mencapai rekonsiliasi yang bersifat ekumenis (taqrb atau taqrub) antara kedua komunitas adalah fenomena yang relatif baru dalam sejarah Islam. Gerakan ini muncul pada akhir abad ke-19, bersamaan dengan berkembangnya gerakan pan-Islamisme di dunia.

Aktivitas organisasi ini, sejarah dan latar belakangnya, yang berhasil diciptakan secara sementara akan dibahas secara mendetail. Pertanyaan utamanya adalah, di luar dari tujuan-tujuan teologis dan yuridis yang sudah diharapkan, mengenai suatu yang memotivasi bagi para sarjana untuk menjalin kontak dengan perwakilan dari denominasi lain. Dalam hal ini, akan pula diselidiki mengenai sejauh mana keadaan politik saat itu berpengaruh pada kesuksesan diskusi teologis dan sejauh mana keadaan tersebut membuat diskusi tersebut mungkin terjadi serta menyebabkan kegagalannya.

Gaya argumentasi, potensi rekonsiliasi, dan hambatan-hambatan yang muncul kembali selama diskusi akan dianalisis secara mendalam. Tidak akan dilupakan pula bahwa polemik-polemik yang muncul akibat upaya-upaya ekumenis itu sendiri juga terjadi. Organisasi Jam'at Al-taqrb yang memiliki misi utama untuk mengurangi ketegangan sektarian melalui diskusi teologis, penerbitan karya ilmiah, dan penyebaran gagasan bahwa perbedaan antarmazhab tidak harus menjadi penghalang bagi kesatuan umat. Namun, sebagaimana yang telah ditulis sebelumnya, gerakan ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk:

1) Ketegangan Politik dan Keagamaan

Meski dialog berjalan pada tingkat intelektual (ranah akademis), pengaruh dalam aspek perpolitikan (kekuasaan) sering kali menghambat kemajuan dalam pengupayaan rekonsiliasi. Hubungan diplomatik antara negara-negara mayoritas Sunni dan Syiah, seperti Mesir dan Iran, mencerminkan tantangan ini.

2) Keterbatasan Penerimaan Sosial

Meskipun organisasi ini berhasil melibatkan cendekiawan terkemuka, penerimaan ide taqrb oleh masyarakat umum tetap menjadi tantangan besar. Sentimen sektarian yang mendalam dan konflik historis sering kali menghambat penyebaran gagasan rekonsiliasi. Ditambah lagi, dalam lingkungan Islam Syiah, kebencian terhadap sahabat Nabi Muhammad telah berakar sangat dalam, sedangkan di kalangan Sunni, mereka merasa bahwa Syiah terlalu ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun