Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perdebatan Sejarah di Jerman: Antara Kontroversi, Identitas Nasional, dan Refleksi Kolektif

14 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 22 November 2024   02:08 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada musim panas tahun 1986, terjadi kontroversi besar di kalangan sejarawan-sejarawan di Jerman. Dengan tajuk "Masa lalu yang tidak ingin berlalu", Ernst Nolte memicu sebuah perdebatan besar yang mencakup dua aspek penting. 

Pertama, di dalam artikelnya, Nolte mempertanyakan kembali mengenai pemusnahan bangsa Yahudi oleh Nazi Jerman (Holocaust) dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan yang berdiri sendiri secara khusus, ataukah sebenarnya peristiwa Gulag Archipelago di Uni Soviet---sistem kamp kerja paksa di bawah pemerintahan Stalin---lebih dapat dianggap sebagai peristiwa yang lebih mendasar daripada Auschwitz. Pertanyaan ini kemudian memicu diskusi akademik yang tajam mengenai hierarki moral dan historis dari kejahatan-kejahatan besar yang terjadi pada abad ke-20. 

Kedua, perdebatan ini juga menyentuh aspek sensitif terkait bagaimana Reich Ketiga (Nazi Jerman), sebagai elemen paling kontroversial dalam sejarah peradaban Jerman, harus diposisikan dalam literatur sejarah Jerman. Katakanlah, haruskah Reich Ketiga  dilihat sebagai anomali yang terpisah dari sejarah Jerman atau sebagai bagian integral dari sejarah bangsa Jerman yang lebih luas.

Perdebatan kesejarahan ini sangat sensitif, emosional, dan dipenuhi dengan polemik yang tajam. Akan tetapi, perdebatan ini bukan yang pertama atau terakhir terjadi dalam sejarah peradaban Jerman. Hal ini memperlihatkan bahwa sejarah bukan hanya sekadar catatan masa lalu, melainkan juga merupakan refleksi identitas, nilai-nilai, dan perasaan kolektif suatu bangsa. 

Perdebatan yang dipicu oleh Nolte hanyalah salah satu dari banyak kontroversi dalam historiografi negara Jerman. Sebelumnya pernah terjadi perdebatan tentang tujuan strategis dari Kekaisaran Jerman dalam Perang Dunia Pertama yang dilakukan kira-kira pada pada tahun 1960-an. Setelah runtuhnya Tembok Berlin pun, diskusi mengenai Sejarah di Jerman kembali memanas, kali ini polemiknya adalah tentang penilaian terhadap arsip keamanan negara (Stasi) dari bekas Republik Demokratik Jerman (GDR) atau Jerman Timur. Berkas Stasi yang diteliti ini merupakan singkatan dari Staatssicherheit, yang berarti Keamanan Negara. Stasi merupakan salah satu badan intelijen paling sukses dan tentunya mengerikan dalam sejarah Jerman, bahkan dunia. Stasi bertugas untuk memata-matai rakyat Jerman Timur guna meredam ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah. Stasi juga menekan dan memata-matai mantan tentara Nazi, serta melakukan kontra-intelijen terhadap agen mata-mata asing. Stasi dibubarkan pada 13 Januari 1990 atas tuntutan rakyat.

Berbagai contoh ini menunjukkan bagaimana perdebatan tentang kesejarahan selalu berkaitan erat dengan konstruksi identitas nasional. Pertanyaan mengenai interpretasi sejarah suatu bangsa atau komunitas sering kali tidak memiliki jawaban konkret yang definitif, karena di dalam setiap narasi sejarah yang disusun pasti mengandung informasi yang bias, perspektif, dan kepentingan tertentu. Dalam konteks sejarah Jerman, debat-debat ini menjadi sangat penting karena sejarah bangsa ini sarat dengan peristiwa-peristiwa besar yang melibatkan moralitas yang dianut oleh dunia pada saat ini, seperti Holocaust dan kebangkitan serta kejatuhan Nazisme.

Sejarah, terutama interpretasi yang dianggap "benar" oleh seorang penguasa atau pemerintahan yang berkuasa, memiliki kemampuan untuk membangkitkan emosi (perasaan sensitif) yang sangat kuat. Bahkan dalam lingkungan akademik, di mana para sejarawan mengklaim melakukan pekerjaan mereka dengan penelitian yang objektif (sine ira et studio), bias dan emosi di dalam hasil penelitian sejarahnya sering kali tidak dapat dihindari. Perdebatan sebagaimana dilakukan oleh Nolte menunjukkan bahwa pertanyaan sejarah bukan hanya soal fakta dalam sejarah, melainkan juga menyangkut nilai-nilai moralitas dan identitas yang dipegang oleh individu atau masyarakat.

Dalam perdebatan yang berkenaan dengan sejarah, sering kali terjadi pergeseran fokus dari diskusi yang berbasis fakta menuju serangan personal (pribadi dan kerap bersifat subjektif) terhadap pihak yang berbeda pendapat. Fenomena ini mencerminkan bagaimana perasaan kolektif terhadap sejarah dapat begitu mendalam, sehingga akademisi pun sulit untuk melepaskan diri dari keterlibatan emosional di dalam dirinya sebagai seorang makhluk manusia.

Fenomena perselisihan sejarah yang intens seperti yang terjadi di Jerman tidak hanya terbatas pada historiografi Eropa, apalagi hanya pada kasus negara Jerman. Namun, perdebatan ini pastinya akan terjadi di setiap komunitas. Misalnya, Indonesia yang sampai sekarang masih memperdebatkan tentang G30S, Malaysia yang masih kalut terhadap kerusuhan etnis pada 1960-an, dan di komunitas Islam tentang perdebatan sejarah Kekhalifahan Islam pascawafatnya Nabi Muhammad dan setelah dibunuhnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.

Intisari

Perselisihan mengenai sejarah yang "benar" bukan hanya soal penulisan sejarah an sich, melainkan juga mengenai bagaimana masyarakat memaknai masa lalu mereka dan bagaimana hal tersebut membentuk identitas mereka saat ini. Dalam konteks sejarah di Jerman, pertanyaan tentang Holocaust, Gulag, dan Reich Ketiga menjadi lebih dari sekadar isu akademis; ini adalah cermin dari upaya suatu bangsa atau komunitas untuk memahami diri mereka sendiri di tengah kompleksitas sejarah global.

Perdebatan seperti yang dipicu oleh Ernst Nolte menggarisbawahi betapa pentingnya refleksi kritis terhadap sejarah di suatu komunitas atau bangsa, meskipun hal tersebut tidak selalu menghasilkan konsensus yang baik dan berbuah manfaat. Justru ketidakmampuan untuk mencapai jawaban yang definitif itulah yang menunjukkan kompleksitas historiografi dan pentingnya pendekatan yang lebih berimbang, adil, dan tidak bias sama sekali dalam memahami sejarah suatu bangsa, komunitas ataupun dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun