Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Di Persimpangan Dua Paradigma: Merangkai Keseimbangan antara Rule of Law dan Hukum Syariah (4-Selesai)

27 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 21 November 2024   06:08 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Al-Qur'an dan spirit Islam (Sumber gambar: Okezone.com)

Rule of Law dan Kenyataan di Negara-negara Islam

Meski penerapannya di dunia nyata sangatlah kompleks dan bervariasi, terdapat kesesuaian antara prinsip-prinsip sosial-Islam dengan prinsip-prinsip rule of law. Tantangan utamanya terletak pada: apakah negara-negara Islam benar-benar menerapkan rule of law dalam praktik, dan bukan hanya dalam teori saja.

Tidak hanya itu, meskipun ada korelasi antara pengaruh Islam dan rule of law, sulit untuk mengidentifikasi efek kausalitas di keduanya, karena banyak variabel yang mempengaruhi implementasi rule of law. Variabel-variabel ini termasuk kekayaan negara, pendidikan, fraksionalisasi etnis, sejarah dan poskolonial, dan faktor-faktor lain.

Berdasarkan riset, negara-negara dengan pengaruh Islam yang kuat cenderung menunjukkan defisit dalam dua aspek penting: hak-hak perempuan dan independensi yudisial. Namun, terdapat perbedaan dalam kualitas perlindungan hak milik dan kekuasaan parlemen yang tidak selalu signifikan secara statistik.

Di Arab Saudi, misalnya, sistem hukum yang didasarkan pada hukum ilahi menunjukkan ketidakpastian karena tidak adanya kodifikasi hukum yang jelas. Hal ini menyebabkan banyak pihak yang terlibat dalam sengketa hukum mencari mekanisme penyelesaian alternatif, dan sulit bagi negara untuk memprediksi hukum apa yang akan dianggap sah dan diterapkan oleh para hakim.

Selain itu, di Iran, kekuasaan politik sepenuhnya berasal dari Tuhan dan bukan dari rakyat. Konstitusi Iran hanya mengakui kedaulatan rakyat secara simbolis dan memberikan kekuasaan politik langsung kepada para ulama Islam Syiah. Bahkan, Dewan Pengawas---yang berisikan ulama---dapat membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan syariah atau konstitusi.

Berbeda dengan keduanya, Mesir dan Indonesia dapat menjadi percontohan dalam hal ini, di mana ketidaksetaraan dalam "hukum Islam" dapat dimitigasi oleh interpretasi kreatif (ijtihad) dari syariah oleh Mahkamah Konstitusi. Praktik politik di Mesir sebelumnya didasarkan pada prinsip-prinsip sekuler, meskipun syariah dinyatakan sebagai sumber utama legislasi dalam konstitusi. Perubahan dalam interpretasi hukum Islam ini dapat mempengaruhi penerapan rule of law.

Secara umum, negara-negara Muslim menunjukkan masalah sistemik dalam penerapan rule of law, terutama dalam hal perlakuan hukum yang setara bagi semua anggota masyarakat dan independensi pengadilan. Namun, ini tidak berarti bahwa negara-negara Muslim akan terus tertinggal dalam penerapan rule of law. Ada potensi perbaikan, terutama jika masyarakat Muslim mampu menyeimbangkan antara prinsip-prinsip agama dan tuntutan rule of law modern.

Salah satu tantangan utama adalah menafsirkan hukum agama secara tepat agar selaras dengan konsep rule of law yang tidak ada pada masa awal Islam. Meskipun hak-hak perempuan dalam Islam sangat progresif pada masa-masa awalnya, penerapan prinsip kesetaraan gender dan hak-hak lainnya pada saat ini sering kali tidak sesuai dengan interpretasi secara literal dalam hukum Islam yang dibuat lebih dari 1.000 tahun yang lalu.

Ditambah juga, adanya pluralisme hukum, di mana hukum tradisional saling berinteraksi dengan hukum negara. Hal ini menjadi perhatian penting dan membutuhkan perhatian lebih lanjut secara akademis. Selain itu, konsep "militant democracy" atau demokrasi militan, yang memberikan kekuasaan khusus untuk mempertahankan tatanan demokrasi liberal, mungkin dapat diadaptasi untuk melindungi rule of law di masyarakat Muslim yang berusaha mencapai keseimbangan antara prinsip-prinsip agama dan hukum negara.

Konsep "demokrasi militan" berasal dari pengalaman Jerman pasca-Perang Dunia II. Setelah mengalami kegagalan Weimar Republic dan kekuasaan Nazi, Jerman mengadopsi sistem demokrasi yang dikenal sebagai "demokrasi militan."  Ini merujuk pada penerapan langkah-langkah khusus yang memungkinkan pemerintah dan, jika diperlukan, warga negara untuk melindungi tatanan demokrasi liberal dari ancaman yang mungkin muncul. Tujuannya adalah untuk melindungi sistem demokrasi dari elemen-elemen yang ingin merusak atau menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Ini termasuk langkah-langkah preventif dan reaktif untuk menangkal ideologi atau kelompok yang berpotensi membahayakan sistem demokrasi yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun