Muhammad Abduh melanjutkan dengan memberikan tafsirannya tentang Islam yang lebih dekat dengan Al-Qur'an, yaitu "Islam yang merupakan agama dan sebuah hukum syari'ah." Namun, Muhammad Abduh memberikan batasan bahwa hukum syari'ah tersebut supaya selalu ditinjau, diperbaiki, dan lain-lain, sesuai dengan ajaran etik (cahaya kebenaran) yang terpancar dalam Al-Qur'an.
Peninjauan kembali itu penting bagi hukum syari'ah, karena 95% yang ada di dalamnya adalah hasil ijtihad dari para yuris Muslim, untuk memenuhi perkembangan zaman. Oleh karena itu, dalam "sebuah negara Islam", maka Yuris Muslim ini telah menjadi "lembaga legislatif" dalam konstitusi negara Islam.
Menariknya adalah, di dalam Al-Qur'an, tidak ada sama sekali tentang teori atau bentuk negara yang konkret, tetap, dan kering. Maka, sia-sialah mereka yang mencari teori atau bentuk negara yang tetap dengan uraian yang konkret dalam Al-Qur'an. Hal ini disebabkan oleh dua alasan.Â
Pertama, Al-Qur'an pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia; bukan kitab ilmu politik yang berisi norma-norma politik. Kedua, Al-Qur'an mengkehendaki sudah sunnatullah bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi manusia apa pun selalu berubah-ubah dan dinamis mengikuti zaman.  Maka dari itu, dalam menyikapi kondisi ini, sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara Islam bilamana negara tersebut dapat mendistribusikan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh rakyatnya, sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai Al-Qur'an, tanpa perlu mendeklarasikan sebagai Kekhalifahan, Negara Islam, atau Republik Islam.Â
Adapun untuk mengondisikan suatu organisasi kekuasaan Islam, Islam menawarkan prinsip syura. Akan tetapi, sangatlah disayangkan, prinsip ini sejak setengah abad lamanya sudah tidak pernah terpatri dalam negara-negara yang bercorak Islam. Hal ini terutama disebabkan oleh perubahan sistem pengorganisasian atau kekuasaan Islam yang mengarah pada kedinastian-keluarga yang sempit dan dikelilingi oleh pertarungan antar-suku di Arab setelah wafatnya Nabi Muhammad .
Nabi Muhammad pun telah memberikan contoh atau teladannya kepada umat manusia bagaimana mengelola kekuasaan yang adil dan dapat mendistribusikan kesejahteraan seutuhnya. Kita hanya tinggal mencontoh teladan beliau. Atas dasar inilah, Khalifah Abdul Hakim pernah memberikan tanggapannya tentang Sang Nabi Besar Muhammad :
"Ia (Nabi Muhammad ) adalah raja-filsuf yang diimpikan Plato; ia adalah manusia dengan cita-cita keadilan yang tinggi, pada waktu yang sama memiliki karakter dan kekuasaan untuk menerjemahkannya ke dalam praktik dan melihat hasilnya dengan mata kepalanya sendiri semasa hidupnya..."
Akan tetapi, sungguh sangat disayangkan, sebab pencapaiannya ini tidak berlangsung lama dalam arus sejarah Islam. Setelah berakhirnya Khulafaur Rasyidin, cita-cita ini telah hilang dan menguap dari sejarah Islam. Tingkah laku politik Islam setelahnya, sudah tidak patut lagi untuk dicontoh, sebab tidak sesuai dengan ajaran-ajaran etik dalam Al-Qur'an.
Konsep antara Khilafah dan Imamah pun hanyalah perdebatan ketatanegaraan dalam tataran teori saja, dengan perdebatan yang hanya bergumul pada kekuasaan politik di dalamnya. Keduanya sama-sama tidak bersumber dari Al-Qur'an. Menurut Buya Syafii Ma'arif, Ketua Umum PP Muhammadiyah, keduanya bahkan tidak sama sekali memiliki hubungan dengan Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad .
Dengan adanya konsep syura, maka sistem politik Islam nyatanya lebih dekat dengan prinsip demokrasi, meski tidak harus mencontoh demokrasi Barat. Sistem pemerintahan a la Nabi Muhammad pun bercorak khusus yang hanya dapat dilakukan oleh dirinya sebagai Nabi Besar. Pemerintahan demikian ini tidak mungkin terulang, atau bahkan berusaha untuk diulang, sebab Allah sendirilah yang memilih dan mengangkat Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS Al-Anbiya': 107).