Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ibnu Abi Rabi' dan Teori Asal-Mula Negara dalam Perspektif Pemikir Islam

8 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 21 November 2024   01:26 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari Republik Online

Ibnu Abi Rabi' adalah tokoh pemikir politik Islam yang paling awal dan terkenal sebagai penasihat dari Khalifah Abbasiyyah yang saat itu berkuasa. Karyanya yang termasyhur berjudul Suluk al-Malik fi Tadbir al-Manalik (Kebijakan Raja dalam Mengelola Pemerintahan) menjadi rujukan untuk pedoman khalifah kedelapan Dinasti Abbasiyyah---Al-Mu'tasim Billah---dalam menjalankan pemerintahannya.

Menurut Ibnu Abi Rabi', asal-mula negara adalah dilandaskan pada ketidakmungkinan manusia untuk mencukupi kebutuhan alamiahnya sendiri tanpa bantuan manusia lainnya. Manusia secara fitrah (kodrati ilahi) adalah makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain dengan manusia lainnya. Hal ini kemudian mendorong manusia untuk saling membantu dan bekerja sama, yang kemudian berkumpul di satu tempat dan berdiam di sana.  Dalam proses yang demikian, kemudian mulai bertumbuhlah kota-kota dan berkembang terus-menerus menjadi komunitas masyarakat yang lebih besar, yang mana komunitas masyarakat tersebut nantinya akan menjadi embrio terbentuknya organisasi kekuasaan (negara modern dalam kasus ini).

Ibnu Abi Rabi' menjelaskan ada empat keperluan yang ada dalam dirinya manusia,  yaitu:

1) Pakaian (al-libas) untuk melindungi diri dari rasa sakit dan udara panas, udara dingin, dan angin yang kencang;
2) Kebutuhan untuk makan, yang merupakan bahan dasar (energi) manusia supaya dapat memiliki jasmani yang sehat dan kuat agar manusia dapat bekerja dan beribadah;
3) Tempat tinggal (rumah) untuk menjadi "penjagaan dan pertahanan" dari berbagai ancaman dari luar diri manusia;
4) Reproduksi yang ditujukan dalam rangka memperpanjang generasi manusia di muka bumi; dan
5) Pelayanan kesehatan yang bertujuan dalam rangka memenuhi kestabilan kesehatan jasmani.

Dapat disimpulkan secara sepintas, bahwa teori Ibnu Abi Rabi' ini terkait erat dengan "asal-mula negara" dalam perspektif Plato. Namun demikian, Ibnu Abi Rabi' tidak hanya menelannya mentah-mentah semuanya, tetapi Ibnu Abi Rabi' pun menyesuaikan dengan pandangan mengenai keislaman dan aqidah Islam yang ia yakini. Hal ini dapat terlihat dalam argumentasinya mengenai asal-usul lahirnya kota-kota (negara kota) dengan memadukannya pada nilai-nilai ketuhanan.  

Ibnu Abi Rabi' juga mengambil hikmah lainnya dalam pemikiran Plato, yaitu "naluri manusia untuk berperadaban" (anna al- insn madaniy bi thab'ihi), yang dijelaskan Plato dalam karyanya, Politik. Meskipun demikian, Ibnu Abi Rabi' mengemasnya dalam fondasi Islam,  dengan tiga unsur tambahan yang ia jelaskan:

1) Tabiat dan watak manusia saat diciptakan oleh Allah Swt. menyebabkan kecenderungan dalam diri manusia sebagai makhluk untuk berkumpul dan bermasyarakat;
2) Allah Swt. telah memberikan pedoman mengenai hak dan kewajiban masing-masing individu masyarakat dan menjadi landasan yang harus dipatuhi oleh mereka dalam kitab suci Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad; dan
3) Allah Swt. pun menakdirkan pengangkatan para penguasa di muka bumi ini, untuk mengemban tugas supaya peraturan-peraturan dari Allah Swt. dapat diterapkan dan dijalankan, serta dapat menjalankan fungsi-fungsi pemimpin untuk mengelola masyarakat sesuai dengan petunjuk-petunjuk keilahian.

Terkait konteks berpemerintahan, Ibnu Abi Rabi' berpendapat bahwa manusia sudah semestinya untuk membentuk peradaban dan pemerintahan, karena disebabkan oleh upaya-upaya manusia supaya terhindar dari keburukan (syarr).  Menurutnya, keburukan-keburukan bagi manusia itu terbagi menjadi tiga jenis dan sekaligus dapat diatasi dengan beberapa solusi yang berkaitan dengan penyebabnya, antara lain:

1) Keburukan yang bersumber dalam diri manusia sendiri.

Cara mengatasinya adalah dengan menempuh jalan kebaikan (jalan menuju Allah Swt. atau jalan untuk mendekatan diri dengan Allah Swt.), memperbaiki moral sekaligus jiwanya, dan melalui sikap yang rasional dalam berperilaku;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun