Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penolakan Pemerintah Belanda (16 April 1925): Tan Malaka Tegaskan Komitmen untuk Perjuangan Kemerdekaan

10 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 21 November 2024   00:46 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tan Malaka muda (@bukupembaharu via X)

Di dalam surat yang ditulis Tan Malaka pada tanggal 16 April 1925 dari pengasingannya di Tiongkok, ia memberikan tanggapan terhadap keputusan pemerintah Hindia Belanda yang menolak permohonannya untuk menetap di Jawa, tetapi mengizinkan ia tinggal di daerah-daerah luar Jawa, dengan pengecualian daerah Kupang, serta memenuhi beberapa syarat termasuk pemeriksaan kesehatan. Surat ini menggambarkan pandangan Tan Malaka terhadap penolakan tersebut dan juga sikapnya terhadap pemerintah kolonial, yang di dalamnya memperlihatkan kekuatan argumennya sebagai seorang pejuang kemerdekaan.

Tan Malaka memulai suratnya dengan mengungkapkan bahwa penolakan pemerintah Hindia Belanda atas permohonannya untuk menetap di Jawa, sangatlah tidak mengejutkan dirinya. Sebaliknya, hal ini justru memperkuat keyakinannya bahwa partainya (Komunis) telah menjadi lebih kuat dibandingkan saat ia meninggalkannya. Penolakan ini dianggapnya sebagai bukti bahwa partainya memiliki pengaruh yang signifikan di kalangan rakyat Indonesia, bahkan lebih besar dari yang diperkirakan oleh pemerintah kolonial. 

Tan Malaka juga menyatakan bahwa penolakan tersebut menunjukkan bahwa jurang perpisahan antara pemerintah kolonial dan rakyat Indonesia semakin melebar. Ia membandingkan situasi ini dengan masa-masa pergerakan sebelumnya, khususnya ketika pemerintah masih mengizinkan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Nationale Indische Partij (NIP) kembali ke Indonesia. Saat itu, pemerintah kolonial tidak merasa terancam dengan kehadiran para pemimpin politik tersebut di tanah air, meskipun ada ketegangan politik dengan kedua organisasi itu. Namun, pada saat surat ini ditulis, pemerintah justru menolak kehadirannya, meskipun ia tidak bersenjata dan sedang berada dalam kondisi yang sulit.

Penafsiran Tan Malaka terhadap sikap pemerintah yang menolak mengizinkannya tinggal di Jawa merupakan satu indikasi bahwa pemerintah kolonial sangat mewaspadai pengaruh komunis di kalangan rakyat Indonesia. Ia menyebutkan bahwa penolakan pemerintah kolonial ini menunjukkan betapa besar pengaruh komunisme di kalangan rakyat, sehingga pemerintah merasa terancam, meskipun Tan Malaka sendiri berada dalam kondisi yang lemah. Pemerintah kolonial yang "bersenjata hingga ke gigi" masih khawatir bahwa Tan Malaka dapat membahayakan kekuasaan mereka jika diizinkan berada di Jawa.

Selain itu, Tan Malaka juga mencatat bahwa penolakan pemerintah ini disertai dengan syarat-syarat yang tidak jelas, seperti tidak mengizinkan ia tinggal di Kupang tetapi memberikan izin tinggal di daerah lain yang tidak disebutkan dengan pasti. Ia menilai bahwa pemerintah tidak memberikan jawaban tegas, baik itu ya maupun tidak, terkait tempat tinggalnya di luar Jawa, dan justru tampak ragu-ragu.

Tan Malaka dengan tegas menolak tawaran pemerintah untuk tinggal di luar Jawa. Alasannya adalah karena pemerintah tidak memberikan kejelasan tentang lokasi di luar Kupang dan di mana ia diizinkan tinggal. Tan Malaka merasa bahwa ini hanyalah menjadi strategi pemerintah untuk menghindari tanggung jawab dan menghindari janji yang bisa mengikat mereka. Menurutnya, pemerintah mungkin takut kehilangan muka atau kehormatan jika mereka telah berjanji pada satu tempat tertentu dan kemudian gagal menepati janji tersebut.

Dengan kondisi seperti itu, Tan Malaka pun menyindir dengan menyebut bahwa pemerintah kolonial mungkin akan menempatkannya di daerah-daerah terpencil yang lebih buruk dari Kupang, seperti Atapupu atau Purukcahu. Ia menganggap tempat-tempat tersebut lebih berbahaya dan tidak layak untuk dirinya, karena ia menganggap pemerintah tidak benar-benar memberikan perlindungan atau niat baik.

Dalam bagian yang lebih luas dari surat ini, Tan Malaka mengkritik keras pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia menuduh bahwa pemerintah tidak pernah benar-benar menghormati niat baik pemimpin-pemimpin Indonesia yang pernah menyerah kepada mereka. Ia menyebutkan contoh Pangeran Diponegoro, yang tertipu oleh pemerintah kolonial dan kemudian menjadi korban dari kepercayaannya sendiri. Ia membandingkan pemerintah kolonial saat itu dengan Jan Pieterszoon Coen, seorang Gubernur Jenderal VOC yang terkenal karena kebrutalannya. Menurut Tan Malaka, satu-satunya perbedaan antara pemerintah saat itu dan Coen adalah bahwa Coen setidaknya melawan orang-orang yang bersenjata, sedangkan pemerintah Hindia Belanda menganggap rakyat yang tidak bersenjata sebagai musuh.

Tan Malaka juga menyatakan bahwa ia merasa bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia yang berada di bawah penindasan pemerintahan kolonial. Karena itu, ia merasa bahwa menerima tawaran pemerintah akan bertentangan dengan rasa tanggung jawabnya terhadap rakyat. Ia tidak ingin menyerahkan dirinya kepada niat baik pemerintah kolonial, karena ia yakin niat baik tersebut adalah ilusi yang berbahaya dan menipu.

Pada akhirnya, Tan Malaka menutup suratnya dengan nada yang tegas. Ia menolak tawaran pemerintah untuk tinggal di luar Jawa dan lebih memilih untuk tidak menyerahkan nasibnya kepada pemerintah kolonial yang, menurutnya, tidak bisa dipercaya. Sikapnya menunjukkan komitmen yang kuat terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, serta ketidakpercayaannya pada niat baik atau belas kasihan dari pemerintah kolonial.

Surat ini ditulis dalam konteks pergerakan nasionalis dan komunis di Indonesia yang sedang berkembang pesat pada masa itu. Tan Malaka adalah salah satu tokoh utama dalam gerakan komunis dan pergerakan nasionalis Indonesia. Ia percaya bahwa hanya dengan perlawanan yang tegas dan gagah beranilah, Indonesia dapat meraih kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Surat ini mencerminkan perlawanan Tan Malaka terhadap kolonialisme, serta pandangan politiknya yang anti-imperialis dan pro-komunis.

Secara umum, surat Tan Malaka ini adalah dokumen historis-penting yang menunjukkan betapa gigihnya ia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, serta ketegasan sikapnya dalam menghadapi pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun