Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Khalifah Umar bin Khattab di Yerusalem: Keadilan, Toleransi, dan Sejarah

2 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   21:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Al-Quds (Masjidil Aqsa) (Sumber: Unsplash)

Yerusalem sebagai Kota Suci

Sebelum kita melanjutkan pembahasannya, sebaiknya kita mengenal kota Yerusalem yang akan menjadi pokok bahasan. Yerusalem, dalam konteks ini, adalah Kota Suci yang telah dikenal sampai sekarang sebagai kota yang memiliki nilai kesakralan bagi tiga agama abrahamik terbesar di dunia, yaitu agama Islam, Yahudi, dan Kristen---antara lain, Katolik, Protestan, dan berbagai denominasinya yang sangat banyak).

Nilai kesucian kota Yerusalem dapat dilihat dari berbagai istilah yang digunakan untuk menyebutkan nama kota ini, misalnya Yerusalem, Al-Quds, Yerushalyim, dan Aelia, di mana kata-kata ini mencerminkan warisan kebudayaan kota ini yang amat beragam dan penuh nilai kesakralan. Dalam tradisi agama Islam, khususnya, Yerusalem menjadi tempat istimewa, sebab di kota tersebutlah banyak nabi diutus oleh Allah , seperti Nabi Sulaiman a.s. (Solomon), Nabi Daud a.s. (David), dan Nabi Isa a.s. (Yesus), untuk menetap dan menjalankan tugas kenabiannya.

Selain itu, keistimewaan lain dari kota Yerusalem dalam agama Islam adalah peristiwa Isra' dan Mi'raj yang dialami oleh Sayyidina Nabi Besar Muhammad . Dalam peristiwa ini, Nabi Muhammad diyakini oleh seluruh umat Islam telah melakukan perjalanan malam yang penuh dengan kemukjizatan dari kota Mekah ke Yerusalem, kemudian naik ke langit untuk menerima perintah shalat lima waktu dari Allah . Peristiwa inilah yang menjadikan Yerusalem sebagai kiblat pertama umat Islam sebelum akhirnya berpindah ke Ka'bah di kota Mekah.

Namun demikian, selama masa kehidupan Nabi Muhammad , kota Yerusalem belum menjadi wilayah yang berada di bawah kendali politik umat Islam. Perubahan besar barulah terjadi pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khattab r.a., Khalifah Kedua Islam, di mana kota Yerusalem berhasil dibebaskan dan menjadi bagian integral dari umat Islam pada masa itu.

Awal Penyebaran Islam ke Wilayah Syam dan Benturan dengan Bizantium

Pada masa Nabi Muhammad , ancaman terhadap agama Islam yang baru muncul tidak hanya datang dari suku-suku Arab saja, tetapi juga dari Kekaisaran Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur. Bizantium, sebagai kekuatan besar yang menguasai wilayah utara Semenanjung Arab pada masa itu, menganggap Islam sebagai ancaman bagi kekuatan politik mereka dan keyakinan agama mereka pada aspek ketuhanan Nabi Isa a.s.

Untuk merespons ancaman ini, Nabi Muhammad kemudian langsung memimpin Ekspedisi Tabuk atau Pertempuran Tabuk pada bulan Oktober tahun 630 M. Meskipun tidak terjadi pertempuran langsung dengan pasukan Kekaisaran Bizantium, ekspedisi ini menandai dimulainya konflik jangka panjang antara umat Islam dan Kekaisaran Bizantium yang dikenal sebagai Perang Islam-Bizantium.

Selanjutnya, pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. (632--634 M), perhatian utama kekhalifahannya adalah mengonsolidasikan kekuatan Islam pascawafatnya Sang Nabi Besar Muhammad . Oleh karena itu, tidak ada sama sekali serangan besar yang dilancarkan ke wilayah Kekaisaran Bizantium.

Kendati demikian, pada masa pemerintahan Sayyidina Umar r.a., kebijakan ekspansi mulai dilakukan secara serius. Sayyidina Umar r.a. mengirim jenderal-jenderal terbaik Islam pada masa itu, seperti Khalid bin Walid dan Amr bin 'Ash, untuk melawan pasukan Bizantium di wilayah Syam.

Pertempuran Yarmuk dan Jatuhnya Kota-Kota Utama di Syam

Pertempuran Yarmuk yang berlangsung pada tahun 636 M menjadi titik balik dalam konflik antara Islam dan Kekaisaran Bizantium. Dalam pertempuran ini, pasukan Muslim berhasil mengalahkan kekuatan Bizantium dengan kemenangan yang cukup telak. Kemenangan ini membuka jalan bagi jatuhnya kota-kota penting di wilayah Syam, termasuk kota Damaskus, ke dalam genggaman kekuatan umat Islam.

Keberhasilan pasukan Muslim tersebut tidak hanya terjadi karena kekuatan militer dan strategi Umar r.a. yang ciamik, tetapi juga disebakan oleh banyaknya sambutan dan dukungan dari penduduk lokal di wilayah tersebut. Penduduk Kristen Monofisit  dan Yahudi di wilayah tersebut lebih menerima kekuasaan Muslim dibandingkan pemerintahan Kekaisaran Bizantium.

Hal itu disebabkan oleh karena adanya perbedaan teologis antara Kristen Monofisit dan Yahudi dengan doktrin Kristen versi Kekaisaran Bizantium yang menganut Kristen Ortodoks. Pandangan teologis Kristen Monofisit yang lebih monoteistik, meski jelas-jelas salah karena menuhankan makhluk, menganggap ajaran mereka "lebih sejalan" dengan ajaran Islam, sehingga mereka melihat pemerintahan Islam sebagai alternatif yang lebih adil alih-alih Kekaisaran Bizantium.

Pengaruh Kekuasaan Islam di Yerusalem

Setelah wilayah Syam dikuasai oleh umat Islam, kota Yerusalem akhirnya menjadi bagian dari kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab. Sayyidina Umar sendiri yang datang langsung ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota tersebut dari tangan penguasa lokalnya. Dalam catatan sejarah, sikap dari Sayyidina Umar yang toleran terhadap penduduk non-Muslim di Yerusalem menjadi salah satu bukti bahwa pemerintahan Islam benar-benar menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebebasan beragama.

Kesepakatan yang dikenal sebagai Pakta Umar, Perjanjian Umar, Traktat Umar, dan Hukum Umar, memberikan jaminan kepada umat Kristen di Yerusalem, yang menjamin tempat-tempat peribadatan mereka untuk tidak akan dirusak dan mereka akan diberikan kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Kebijakan ini tidak hanya memperkuat legitimasi pemerintahan Islam di wilayah tersebut, tetapi juga menciptakan hubungan yang relatif harmonis antara Kekhalifahan Islam, penduduk Muslim, dan penduduk lokal yang beragama Kristen.

Kesimpulan

Yerusalem tidak hanya menjadi pusat spiritualitas yang ada dalam agama Islam, tetapi juga mencerminkan dinamika politik dan sosial yang kompleks pada masa awal penyebaran Islam.

Peristiwa-peristiwa seperti Isra' dan Mi'raj, Pertempuran Yarmuk, serta penerimaan berupa sambutan dan dukungan dari penduduk lokal terhadap kekuasaan Islam menunjukkan bagaimana agama, politik, dan budaya selalu berinteraksi dalam membentuk sejarah Yerusalem. Melalui pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab, Yerusalem tidak hanya menjadi bagian dari wilayah Islam, tetapi juga simbol dari toleransi umat Islam dan prinsip keadilan yang menjadi dasar pemerintahan Muslim pada masa itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun