Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Propaganda, Prasangka, dan Realita: Sukarno Menurut Willem Oltmans

1 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   11:14 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukarno saat pendudukan Jepang. Gambar aib dari Presiden Sukarno ini sering dijadikan propaganda oleh Belanda (Sumber gambar: PICRYL)

Willem Oltmans dalam memoarnya yang berjudul Bung Karno Sahabatku, atau dalam bahasa Belanda, Mijn Vriend Sukarno, mengutarakan kesaksiannya dalam pengantar bukunya bahwa ia mengalami banyak kesulitan saat ingin memulai menulis tentang sahabatnya itu. Oltmans mengidentifikasi bahwa menulis tentang Sukarno, bahkan setelah seratus tahun sejak kelahirannya dan dua puluh lima tahun setelah kematiannya, adalah tugas yang sangat menantang. Menurut Oltmans, pemahaman banyak manusia tentang Sukarno sering kali tidak mendalam dan penuh dengan kekeliruan, meskipun banyak orang merasa mereka memiliki pemahaman "mendalam" tentang ini.

Oltmans berargumen bahwa banyak informasi yang sesungguhnya mahapenting, tetapi sayangnya tidak tersedia bagi publik, sehingga pandangan tentang Sukarno yang diterima oleh masyarakat Indonesia dan Belanda sering kali terdistorsi oleh emosi dan mitos. Emosi yang kuat dan informasi yang tidak lengkap dapat mengaburkan kenyataan yang sesungguhnya terjadi sehingga mempersulit konstruksi pendapat yang objektif dan adil tentang Sukarno.

Selain itu, kritik Oltmans juag ditujuka kepada banyak sumber dan informasi yang membahas tentang Sukarno, yang sering kali berdasarkan hanya pada prasangka dan propaganda. Dia menunjukkan bahwa banyak dari informasi negatif mengenai Sukarno, seperti tuduhan bahwa dia adalah kolaborator Jepang, adalah hasil dari kampanye hitam dan manipulasi yang dilakukan sebagai bagian dalam propaganda perang. Oltmans percaya bahwa pandangan ini tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya tentang Sukarno.

Dia menekankan bahwa memang telah terbukti nyata bahwa terdapat upaya sistematis untuk menjelekkan Sukarno, yang membuat banyak orang memiliki pemahaman yang salah tentang sosoknya. Kritik ini juga mencakup kegagalan untuk mengakui kompleksitas sikap Sukarno terhadap Jepang dan Belanda, yang menurut Oltmans, lebih dipengaruhi oleh situasi politik dan strategi daripada kehendak kolaborasi kedua negara yang nyata.

Oltmans merasa bahwa pengalamannya langsung saat bersama dengan Sukarno memberikan dia pandangan yang lebih akurat dan mendalam dibandingkan dengan banyak orang lainnya. Selama periode 1956-1966, dia memiliki kesempatan untuk berinteraksi secara pribadi dan sangat intens dengan Sukarno, yang pada akhirnya memberinya pemahaman yang lebih baik tentang sosoknya. 

Meski Oltmans menyebut tulisannya sebagai sebuah memoar pribadi yang didasarkan pada pengalaman langsungnya, dia telah mengakui bahwa pasti akan ada penilaian terhadap tulisannya sebagai "ego-document" atau dokumen yang "egois", tetapi ia merasa bahwa akses khususnya bersama Sukarno dapat memberikan kontribusi penting untuk memahami tokoh tersebut secara lebih mendalam. Oltmans percaya bahwa pandangan pribadinya, meskipun subjektif, dapat memberikan perspektif yang berharga dalam menilai Sukarno dengan lebih baik dibandingkan dengan pandangan yang kurang akurat dan penuh bias yang sering muncul di media dan literatur sejarah.

Kritik Oltmans juga diberikan kepada pandangan negatif yang sering kali diambil oleh Belanda terhadap Sukarno. Ia menunjukkan bahwa Sukarno memanglah sering kali digambarkan di Belanda sebagai tokoh "kolaborator Jepang", pandangan yang menurutnya sama sekali tidak akurat. Oltmans berpendapat bahwa pandangan tersebut merupakan hasil dari propaganda kolonial yang bertujuan untuk merendahkan sosok Sukarno dan mengabaikan kontribusi positifnya dalam kemerdekaan bangsa dan cintanya pada rakyatnya. Sukarno sebenarnya dipandang oleh Oltmans sebagai figur yang memiliki sikap kompleks terhadap Jepang dan Belanda. Ia berusaha menghindari konfrontasi langsung dengan Jepang dan memiliki niat untuk membuat Indonesia berdiri di atas kaki sendiri, bukan untuk berkolaborasi dengan musuh. Oltmans merasa bahwa Belanda gagal melihat Sukarno secara objektif dan ini mengakibatkan ketegangan yang tidak perlu dan kesulitan dalam hubungan diplomatik antara kedua negara.

Mengenai penelitian sejarah yang dilakukan secara tidak akurat dan sangat terdistorsi oleh pandangan subjektif, juga menjadi sorotan dalam kritik Oltmans terhadap penelitian tentang Sukarno. Dia menyoroti bahwa penelitian sejarah sering kali telah dipengaruhi oleh emosi dan prasangka, sehingga mengakibatkan gambaran yang tidak benar tentang tokoh-tokoh sejarah seperti Sukarno. Oltmans, sebagai seorang jurnalis kawakan, mendorong pendekatan yang lebih objektif dan berbasis fakta dalam menilai sejarah. Dia berargumen bahwa banyak peneliti dan jurnalis sesungguhnya tidak memiliki informasi yang memadai dan sering kali bergantung pada narasi yang telah ditetapkan sebelumnya, yang sering kali penuh dengan informasi yang telah terdistorsi dan "bias".

Oltmans percaya bahwa pemahaman yang lebih baik tentang Sukarno oleh Belanda pada tahun 1945 dapat memperbaiki hubungan diplomatik di antara kedua negara. Ia berpendapat bahwa, jika Belanda segera mengakui kemerdekaan Indonesia dan memiliki informasi yang lebih akurat tentang pribadi dan kehendak Sukarno, maka hubungan bilateral kedua negara dapat menjadi lebih harmonis dan lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Dalam hal ini, terlihat jelas adanya ketidakmampuan Belanda untuk melihat Sukarno secara objektif. Ditambah pula dengan kesalahan-kesalahan penilaian terhadapnya yang menyebabkan kerugian diplomatik dan ekonomi. Negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, kemudian mengambil keuntungan dari situasi ini karena Belanda gagal menyesuaikan pendekatan diplomatiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun