Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilihan Umum 1955: Landasan Awal Demokrasi Indonesia dan Krisis Konsensus Konstitusional

30 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   10:54 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil pemilihan umum nasional dalam papan tulis petugas pemilihan tahun 1955 (Sumber gambar: @mazzini_gsp via X)

Artikel kali ini, kita akan membahas secara komprehensif mengenai hasil Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, termasuk komposisi keanggotaan Dewan Konstituante dan dampaknya terhadap proses penyusunan dasar negara yang berlangsung hingga pembubaran Konstituante oleh Presiden Sukarno. Pemilihan Umum 1955 sendiri merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia, khususnya sejarah demokrasi (kedaulatan rakyat), yang menjadi fondasi untuk pembentukan struktur pemerintahan dan perumusan konstitusi pasca-kemerdekaan.

Latar Belakang dan Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955

Pada bulan September dan Desember 1955, bangsa Indonesia berhasil mengadakan pemilihan umum pertamanya untuk memilih anggota parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante. Tugas utama Majelis Konstituante, dalam hal ini, adalah untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar) yang baru sebagai UUD yang tetap dan permanen guna menggantikan UUD Sementara (UUDS) 1950, yang saat itu berlaku sejak pembentukan NKRI pasca-RIS hingga Konstituante dibubarkan. Pelaksanaan pemilihan umum ini sendiri didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang dilaksanakan dalam tataran praktik melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1954. Pemilihan ini diselenggarakan secara langsung melalui sistem perwakilan berimbang (proporsional) untuk memilih anggota DPR ataupun Konstituante.

Sebelumnya, penyelenggaraan pemilu sebenarnya memang telah diwacanakan sejak masa Perdana Menteri Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951). Namun, pemilihan umum baru dapat dilaksanakan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu untuk Parlemen (DPR) dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955, sedangkan untuk anggota Konstituante dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Persiapan dan Hari Pemilihan

Meskipun Panitia Pusat Pemilihan telah mengumumkan pada bulan April 1954 bahwa pemilihan akan diadakan pada tanggal 29 September 1955, persiapan pemilu masih mengalami berbagai persoalan. Pada bulan Juli dan awal Agustus 1955, misalnya, persiapan pemilu “molor” dari jadwal yang ditetapkan. Pengangkatan anggota panitia TPS (Tempat Pemungutan Suara), yang seharusnya dimulai pada tanggal 1 Agustus, baru dilaksanakan di sebagian besar daerah pada tanggal 15 September.

Dalam pidato Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus 1955, Presiden Sukarno menegaskan bahwa siapa pun yang menghalangi jalannya pemilu adalah “pengkhianat revolusi”. Kemudian pada 8 September 1955, Menteri Penerangan Sjamsuddin Sutan Makmur memastikan bahwa pemilihan umum tetap akan dilaksanakan pada tanggal 29 September, meskipun di beberapa daerah terdapat yang persiapannya belum selesai. Akhirnya, berkat kerja keras dan kegigihan panitia, TPS berhasil siap pada hari pemilihan.

Menjelang hari pemungutan suara, berbagai rumor menyebar di masyarakat. Salah satu rumor yang berkembang di Jawa adalah ketakutan akan keracunan massal, yang menyebabkan penimbunan barang oleh warga. Selain itu, di berbagai bagian negara diberlakukan jam malam secara spontan selama beberapa malam sebelum hari pemungutan suara, yang menambah ketegangan menjelang hari besar tersebut.

Pada hari pemungutan suara, banyak pemilih sudah berkumpul sejak pukul 7 pagi untuk memberikan suara mereka. Meskipun ketegangan sempat terasa, suasana pada hari pemungutan suara berjalan dengan damai karena masyarakat menyadari bahwa dalam prosesi pemilihan sama sekali tidak ada ancaman besar yang terjadi. Tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi, dengan 87,65% suara yang diberikan dinyatakan sah, sedangkan 91,54% pemilih secara keseluruhan memberikan suara mereka. Dengan mengesampingkan jumlah kematian antara pendaftaran dan pemungutan suara, hanya sekitar 6% pemilih yang tidak ikut memilih.

Hasil Pemilu dan Komposisi DPR serta Konstituante

Hasil Pemilihan Umum 1955 menghasilkan 272 anggota DPR yang berasal dari 28 partai politik pemenang. Dari sekian banyak partai politik, terdapat empat partai terbesar yang memperoleh suara terbanyak. Perolehan kursi empat partai pemenang ini di antaranya, PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan 57 kursi, Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dengan 57 kursi, NU (Nahdlatul Ulama) dengan 45 kursi, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan 39 kursi. Keempat partai ini menjadi fraksi utama di DPR. Selain itu, terdapat 15 fraksi lain, di antaranya Fraksi Nasional Progresif, Fraksi Pendukung Proklamasi, Fraksi PSII, Fraksi Parkindo, Fraksi Katolik, Fraksi PSI, Fraksi Perti, Fraksi Gerakan Pembela Pancasila, dan Fraksi PIR-Hazairin, yang mewakili berbagai kelompok dan daerah, termasuk daerah Irian Barat (sekarang wilayah Papua bagian barat).

Hasil pemilihan umum nasional dalam papan tulis petugas pemilihan tahun 1955 (Sumber gambar: @mazzini_gsp via X)
Hasil pemilihan umum nasional dalam papan tulis petugas pemilihan tahun 1955 (Sumber gambar: @mazzini_gsp via X)

Untuk Konstituante, terdapat 542 anggota yang dilantik pada 10 November 1956, dengan partai terbesar diwakili oleh PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Sidang pertama Konstituante juga dibuka pada hari yang sama oleh Presiden Sukarno.
Berikut adalah hasil Pemilihan Umum 1955 secara rinci:

Hasil pemilihan umum 1955, diakses dari website resmi KPU.
Hasil pemilihan umum 1955, diakses dari website resmi KPU.

Hasil ini menunjukkan keragaman ideologi dan preferensi politik masyarakat Indonesia pada masa itu, dengan partai-partai besar yang mewakili berbagai kepentingan, mulai dari nasionalis, Islamis, hingga komunis.

Perdebatan tentang Dasar Negara dan Tantangan Konstituante

Hasil Pemilihan Umum 1955 yang menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tidak mencapai lebih dari 45 persen jumlah suara yang sah, menjadi hambatan sangat besar dalam upaya untuk mewujudkan negara yang berdasarkan Islam, sesuai dengan visi Partai Masyumi. Hal ini disebabkan, dalam UUDS 1950, rancangan UUD yang baru hanya dapat disahkan apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya dua per tiga anggota yang hadir dalam rapat. Dengan demikian, perjuangan untuk mewujudkan negara Islam, yang diprakarsai oleh partai Islam, khususnya Masyumi, menjadi sulit terwujud.

Perdebatan tentang dasar negara berlangsung dengan sangat sengit di dalam sidang-sidang Konstituante. Namun, hingga akhirnya Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada bulan Juli 1959, tidak ada kesepakatan yang dicapai mengenai dasar negara. Pembubaran ini menandai berakhirnya Konstituante, dan sistem politik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945, dengan perpolitikan yang mengarah pada Demokrasi Terpimpin dalam kurun waktu 1959–1966.

Koalisi Pancasila dan Dinamika Politik di Konstituante

Koalisi Pancasila yang mengusung “Pancasila sebagai dasar negara” pada masa Konstituante pun merupakan pengelompokan fraksi-fraksi yang sangat heterogen. Beberapa anggota PNI, misalnya, menganggap Pancasila sebagai ideologi yang matang dan sempurna. Pancasila didefinisikan melalui filsafat sosial yang lengkap dan diuraikan secara “ilmiah” oleh Profesor Notonegoro, yang pendapatnya banyak dikutip oleh berbagai pihak. Namun, koalisi Pancasila yang heterogen ini terbukti dengan keberadaan “penyusup” PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam koalisi tersebut. Dasar filsafat PKI yang telah kita kenal, yakni Marxisme-Leninisme, menjadikan semakin konyolnya PKI menjadi barisan pendukung Pancasila.

Pertimbangan utama PKI sangat sederhana, yaitu supaya dapat bekerja sama dengan erat bersama PNI. Oleh karena ketika PNI diajak berkoalisi, PKI dapat mengatasi salah satu oposisi antikomunis sekaligus menekan pengaruh paham Islam di dalam Majelis Konstituante. Mengenai strategi PKI dalam mendukung Pancasila ini, K. H. M. Isa Anshary, salah satu punggawa partai Masyumi, menyatakan dalam pidatonya:

“Rupanya kaum komunis secara apriori telah yakin, membuka kartu ideologi komunisme hanyalah berarti menghadapkan PKI kepada bahaya maut, kematian, berakhirnya lapangan hidup bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Siasat dan strategi perjuangan kaum komunis di seluruh dunia adalah merebut kekuasaan, menegakkan kekuatan kalau perlu dengan jalan kekerasan.”

Lebih lanjut, K.H. M. Isa Anshary menambahkan:

“Kita tahu, apa sebabnya kaum komunis tidak pernah menyatakan ‘belang ideologinya’, baik dalam kampanye pemilihan umum, maupun dalam Konstituante ini. Ideologi komunisme masih disimpan dalam lemari besi, dibungkus dengan kain kuning masih disembunyikan tidak pernah dibuka dan dinyatakan, tidak pernah dikatakan. Kalau kekuasaan telah ada di tangan mereka, kalau negara telah di tangan mereka, barulah ajaran komunisme dan ateisme itu dilaksanakan dengan rencana yang sistematis dengan planning yang teratur.”

Selain PKI, partai lain yang bergabung dalam koalisi Pancasila yang heterogen ini adalah PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang dasar filsafatnya adalah demokrasi sosial. Partai-partai Kristen juga memiliki wawasan dunia yang sangat berbeda dengan PKI. Namun, uniknya adalah semua partai ini mendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan menafsirkan Pancasila versi mereka masing-masing supaya tidak bertentangan dengan dasar filsafat sosial partainya masing-masing.

Pandangan positif terhadap kondisi demikian, yakni setidaknya PSI, PKI, dan partai-partai Kristen menganggap Pancasila hanya sebagai “forum yang dapat memungkinkan ideologi yang berbeda-beda untuk bertemu dan berkembang satu sama lain”. Mereka melihat Pancasila bukan sebagai filsafat sosial yang utuh seperti yang dikemukakan oleh beberapa pembicara dari pengusung utama, yaitu PNI, melainkan hanya sebagai titik temu dari keragaman ideologi di Indonesia pasca-Pemilu 1955. Selama pembahasan mengenai dasar negara, para pembicara dari partai-partai tersebut terus-menerus menekankan asal-usul Pancasila sebagai titik temu yang mendukung sikap toleransi dalam masyarakat Indonesia yang pluralistis.

Kesimpulan

Pemilihan Umum 1955 dan proses penyusunan dasar negara melalui Majelis Konstituante menjadi cermin kompleksitas politik Indonesia pada masa itu. Perbedaan ideologi yang tajam di antara partai-partai politik menyebabkan proses perumusan dasar negara berlangsung dengan perdebatan yang sangat intens. Pembubaran Majelis Konstituante oleh Presiden Sukarno pada tahun 1959 menunjukkan ketidakmampuan untuk mencapai konsensus nasional yang solid terkait dasar negara.

Koalisi Pancasila yang terbentuk di Konstituante menggambarkan keragaman ideologi politik yang ada di Indonesia, yang berusaha mencapai titik temu melalui Pancasila. Namun, heterogenitas ini juga menimbulkan tantangan dalam proses penyusunan konstitusi yang dapat diterima oleh seluruh pihak. Akhirnya, sistem politik kembali kepada UUD 1945 dengan pengaruh yang kuat dari Presiden Sukarno, dan periode Demokrasi Terpimpin pun dimulai.

Pemahaman mengenai dinamika ini menjadi penting dalam melihat perkembangan politik dan ideologi di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan konsep persatuan dan kesatuan yang tetap menjadi nilai utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun