Selama proses perdebatan, masing-masing kelompok sering kali meremehkan ideologi lawan dan menyatakan kritik yang cukup tajam satu sama lain. Sejak awal perdebatan, sudah ada pernyataan bahwa mengubah Pancasila sebagai dasar negara akan dianggap sebagai tindakan pengkhianatan terhadap perjuangan revolusioner dan membahayakan kesatuan Indonesia. Sebaliknya, kelompok pendukung Islam menuduh bahwa Pancasila merupakan doktrin yang sekuler dan membuka ruang bagi gerakan-gerakan ateis, seperti PKI. Mereka juga menuduh bahwa umat Islam yang tidak mendukung Islam sebagai dasar negara telah dianggap berdosa kepada Allah Swt.
Tuduhan-tuduhan ini ditolak oleh pihak-pihak lain, sehingga perdebatan tidak mencapai titik temu yang signifikan. Kepentingan sosial dan ekonomi dari masing-masing kelompok semakin mempertajam ketegangan ideologis. Pada akhirnya, siapa pun yang berhasil memenangkan perdebatan ini akan memegang kendali atas masa depan negara Indonesia. Oleh karena itu, persaingan ini memiliki arti yang sangat penting bagi semua pihak.
Perdebatan Tujuh Kata Piagam Jakarta
Perdebatan yang terjadi dalam sidang BPUPKI tahun 1945 kembali terulang pula dalam sidang Konstituante yang dimulai sejak tahun 1957. Kedua kubu politik saling silang menguji pendapatnya, baik melalui kritik maupun sokongan partai dan faksinya. Namun, upaya menemukan titik temu sering kali menemui jalan buntu. Salah satu solusi yang dinegosiasikan adalah usulan untuk mengembalikan dasar negara berupa Piagam Jakarta, tetapi hal ini tidak berhasil menyatukan kedua belah pihak. Konstelasi politik yang memanas antara pusat dan daerah, ditambah dengan gerakan perlawanan dari daerah, seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII), semakin menambah ketidakpastian situasi politik.
Ketidakstabilan politik demikian rumit ini mendorong Presiden Sukarno untuk mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin hasil pemikirannya yang dijadikan sebagai respons terhadap kekecewaan dirinya terhadap demokrasi parlementer-liberal. Sukarno yang merasa jengah dengan pertentangan tanpa henti antara partai-partai politik, baik di dalam DPR maupun di Konstituante, bersama dengan dukungan militer yang diwakili oleh Angkatan Darat, memutuskan untuk kembali kepada UUD 1945. Pada bulan Februari 1959, pemerintah pun langsung mengusulkan pengakuan terhadap Piagam Jakarta dengan tujuan mengintegrasikan nilai-nilai historis dalam penyusunan UUD 1945. Awalnya, istilah yang digunakan adalah "mengakui" Piagam Jakarta, tetapi setelah beberapa kali usulan-usulan diajukan, kalimat tersebut diubah menjadi "mengakui adanya 'Piagam Jakarta'... sebagai dokumen historis yang menjiwai penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi bagian daripada Konstitusi Proklamasi."
Tepat pada tanggal 26 Mei 1959, K. H. Masjkur yang mewakili semua fraksi Islam di Konstituante mengajukan dua pokok utama: pertama, agar Piagam Jakarta dijadikan Mukadimah (Pembukaan) UUD 1945; kedua, agar pasal 29 UUD berbunyi: "Negara berdasarkan Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dengan menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Kemudian juga, K. H. Wahab Chasbullah, Rais 'Aam Nahdlatul Ulama pada tahun 1959, menyatakan bahwa jika usulan tersebut diterima, fraksi Islam akan bersedia untuk menerima kembali UUD 1945. Sebaliknya, jika usulan fraksi Islam dari K. H. Masjkur ditolak, umat Islam tidak akan menerima kembali UUD 1945 yang dimaksud.
Pada titik penentuan usulan ini, dilakukan proses voting di Konstituante. Namun, hasil voting lagi dan lagi mengalami kebuntuan. Dari tiga kali voting yang diselenggarakan, semuanya gagal mencapai kuorum 2/3 mayoritas anggota yang hadir. Voting terakhir pada tanggal 2 Juni 1959 menunjukkan 263 setuju dengan usulan Kiai Masjkur dan 204 menolak. Ketidakberhasilan ini mendorong Presiden Sukarno untuk segera mengambil langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang mengembalikan kepada UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Pembubaran Konstituante kemudian dianggap sebagai langkah yang disayangkan, sebab di dalam Konstituante, setidaknya telah menyelesaikan sebagian besar tugasnya. Pembubaran ini sama dengan menghilangkan wadah perdebatan resmi yang representatif untuk membicarakan dasar negara.
George McTurnan Kahin, seorang orientalis-Indonesianis, menyayangkan keputusan ini dengan menyatakan bahwa tanpa pembubaran, Konstituante kemungkinan besar akan menemukan kompromi di antara faksi-faksi ideologi di dalamnya. Akan tetapi, kabar baiknya, dekrit tersebut berisikan aspirasi umat Islam dengan menyebut "Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut."
Pertanyaan utama yang muncul dalam hal ini adalah apa makna dari istilah "menjiwai" dan apa konsekuensinya. Pemerintah, melalui penjelasan Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri, menyatakan bahwa "menjiwai" berarti bahwa sebagian besar rakyat Indonesia memeluk agama Islam dan prosedur demokratis, seperti pemilihan umum akan memilih wakil rakyat yang tidak akan menerima atau menentukan keputusan yang bertentangan dengan hukum syari'ah Islam, serta tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 29 UUD 1945 bagi pemeluk agama lain.
Partai Masyumi, dalam Notanya kepada Presiden pada tanggal 28 Juli 1959, menyatakan bahwa mereka tunduk kepada UUD yang berlaku dan merasa berhak untuk meminta agar pemerintah dan Presiden juga tunduk kepada UUD sebagai landasan bersama hidup bernegara. Hal ini menunjukkan posisi tegas partai terhadap supremasi UUD 1945 sebagai landasan hukum tertinggi.