Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Deep Ecology: Inikah Solusi Radikal untuk Krisis Lingkungan Global?

21 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   04:16 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pluralisme dalam konteks Deep Ecology mengacu pada penerimaan berbagai dasar filosofi yang berbeda sebagai landasan untuk etika lingkungan. Seiring waktu, Deep Ecology berkembang untuk mengakomodasi berbagai perspektif moral dan epistemologis, sehingga menjadikannya sebagai "platform" dari beberapa inti pemikiran yang sederhana di mana para pemikir lingkungan dapat sepakat dan menemukan titik temu. Ini mencerminkan pemahaman bahwa tidak ada satu filosofi ekologi yang benar atau lengkap, dan bahwa berbagai orientasi filosofis---baik itu adat, Kristen, Buddha, Daoisme, filsafat proses, dan lain-lain---dapat berkontribusi pada prinsip-prinsip praktis untuk tindakan lingkungan.

Arne Nss, yang awalnya merumuskan Deep Ecology dengan posisi yang lebih spesifik, kemudian mengadopsi pendekatan pluralistik dengan memperkenalkan "Ecosophy T" (nama yang diambil dari kabin gunungnya, Tvergastein). Nss mengakui bahwa filosofi ekologinya adalah salah satu dari banyak kemungkinan fondasi untuk etika lingkungan. Dengan cara ini, Deep Ecology menjadi lebih inklusif, sehingga dapat memberikan ruang untuk berbagai pandangan dan pendekatan dalam memahami dan menangani isu-isu lingkungan.

Pendekatan pluralistik ini memungkinkan Deep Ecology untuk tetap relevan dan dapat diterima oleh berbagai kelompok dengan latar belakang dan keyakinan yang berbeda. Selain itu, pendekatan seperti ini juga menekankan pentingnya menemukan prinsip-prinsip aksi praktis yang dapat dihasilkan dari filosofi-filosofi dasar yang berbeda, sehingga dapat memperluas cakupan aplikasi dan dampak dari Deep Ecology dalam berbagai konteks sosial, budaya, dan lingkungan.

Kritik terhadap Deep Ecology

Kritik utama terhadap Deep Ecology adalah kurangnya panduan praktis mengenai bagaimana cara menerapkan prinsip egalitarianisme-biosferik dalam keputusan etis dan kebijakan lingkungan. Terdapat perdebatan tentang bagaimana cara memperhitungkan kepentingan makhluk hidup yang sangat berbeda---seperti hewan, tumbuhan, dan mikroba---dalam konteks keputusan praktis. Beberapa kritikus berpandangan bahwa prinsip semua makhluk hidup memiliki nilai yang sama, sulit diterjemahkan ke dalam tindakan konkret dan aplikatif yang dapat diimplementasikan dalam kebijakan lingkungan.

Beberapa kritik, seperti yang disampaikan oleh Ramachandra Guha, menyoroti potensi elitisme dalam Deep Ecology. Guha menganggap bahwa banyak kelompok konservasi yang berbasis di Barat mungkin terlibat dalam bentuk imperialisme kebudayaan, yang dapat mengarah pada pengusiran komunitas adat dan masyarakat miskin dari wilayah-wilayah mereka. Menurutnya, usaha-usaha ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengamankan alam liar hanya untuk kelompok yang ekonominya lebih mapan, sehingga tidak mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat lokal yang termarginalkan dan tertindas oleh kelas penguasa di sana.

Beberapa teoretikus feminis juga mengkritik Deep Ecology dengan berpendapat bahwa gagasan tentang perluasan diri untuk mencakup alam dapat memicu eksploitasi alam yang terus-menerus. Mereka menyatakan bahwa ketika kita memperlakukan alam sebagai bagian dari diri sendiri, maka dapat menyebabkan adanya justifikasi untuk memperlakukan alam dengan cara yang tidak adil, karena seseorang mungkin merasa lebih berhak untuk memperlakukan bagian dari dirinya sendiri dengan cara yang lebih bebas daripada memperlakukan makhluk lain yang independen.

Kritik lain juga muncul yang menganggap Deep Ecology sebagai visi utopis yang tidak konsisten, bahkan tidak realistis. Beberapa kritikus berpendapat bahwa cita-cita gerakan ini, meskipun terlihat idealis, tetapi kemungkinan besar sangat sulit untuk dicapai dalam praktiknya. Mereka juga menilai bahwa Deep Ecology bisa saja diterapkan, tetapi dengan tidak mempertimbangkan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks dalam implementasinya, dan dengan demikian, maka gagasan ini adalah tidak realistis dalam menghadapi tantangan lingkungan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun