Budaya Indonesia dipandang sebagai hasil dari proses kreatif dan inovatif. Manifesto ini menekankan bahwa budaya tidak hanya terkait dengan ciri fisik atau warisan budaya materiel, tetapi lebih pada ekspresi hati dan pikiran. Hal ini menggarisbawahi pentingnya kreativitas dalam membentuk identitas budaya nasional yang baru.
Menurut manifesto, budaya Indonesia adalah campuran dari berbagai elemen yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa budaya bukan hanya terikat pada satu kelompok atau asal-usul tertentu, melainkan merupakan hasil dari berbagai kontribusi dari masyarakat yang beragam.
Sebagaimana disebutkan di atas, manifesto ini menyiratkan bahwa batasan dan kekakuan budaya lokal tak lagi relevan dalam konteks budaya nasional yang baru. Budaya Indonesia tidak lagi terikat pada objek-objek yang kuno atau warisan materiel dari masa lalu, tetapi budaya Indonesia harus mulai berfokus pada inovasi dan penciptaan baru.
Para penulis manifesto tersebut pun menganggap politik sebagai urusan orang lain, sehingga fokus mereka lebih pada aspek budaya dan seni daripada keterlibatan langsung dalam politik. Ini menunjukkan bahwa mereka melihat penciptaan budaya sebagai cara untuk membentuk identitas nasional yang lebih luas tanpa harus terlibat langsung dalam arena politik.
Dalam bahasa aslinya, kutipan dari "Surat kepercayaan" atau "Testimonial of Beliefs" yang diterbitkan oleh Asrul Sani dan rekan-rekannya adalah sebagai berikut:
"Kami adalah pewaris sah dari budaya seluruh dunia, [...] dan kami akan menyampaikan budaya ini dengan cara kami sendiri. Kami berasal dari rakyat biasa dan bagi kami rakyat adalah campuran dari segala sesuatu dari mana dunia baru yang sehat akan lahir."
Indonesia yang sedang mengalami dorongan kuat untuk membangun budaya nasional yang modern dan terinspirasi oleh perkembangan global, yang juga haus akan modernitas untuk menjadi simbol kemajuan dan bagian penting dari identitas nasional yang baru, tercermin dalam upayanya untuk menyatukan berbagai elemen budaya yang ada dengan aspirasi modernitas dan kemajuan, sebagaimana disebutkan di atas.
Namun, meski modernitas didorong sebagai pendorong utama identitas nasional, terdapat juga keinginan untuk mempertahankan atau menghidupkan kembali unsur-unsur budaya tradisional. Oleh karena itu, timbul ketegangan antara memajukan budaya Indonesia dan tetap menghormati serta mempertahankan warisan budaya lokal yang dianggap memiliki nilai historis dan identitas. Diskusi yang terjadi pada waktu itu sering kali berkisar pada apakah budaya Indonesia harus berakar pada masa lalu atau budaya Indonesia harus didasarkan pada keyakinan yang berorientasi ke depan dalam modernitas. Misalnya, pertanyaan mengenai apakah budaya seharusnya didasarkan pada seni tradisional (tari) atau bentuk seni yang lebih modern dan baru (dansa) menunjukkan ketegangan antara mempertahankan tradisi dan mengejar inovasi.
Ada perdebatan tentang sejauh mana budaya Indonesia harus menyerap elemen-elemen internasional atau mempertahankan elemen-elemen lokal dan tradisional. Ini menimbulkan ketegangan antara kebutuhan untuk memodernisasi dan tantangan untuk tetap mempertahankan jati diri dan akar budaya bangsa Indonesia.
Organisasi, seperti Lekra dan jurnal seperti Mimbar Indonesia, berperan dalam debat ini dengan menanyakan bagaimana budaya nasional harus diperlakukan dalam konteks kemerdekaan dan modernitas. Perbedaan pandangan ini memperjelas ketegangan antara orientasi ke luar yang modern dan keinginan untuk berakar pada tradisi lokal.
Dalam hal ini, terdapat peran Jakarta, sebagai ibu kota baru. Ia berperan penting dalam membentuk identitas nasional Indonesia. Pengalihan pusat kekuasaan dari Batavia (sekarang Jakarta) yang lama menjadi pusat pemerintahan yang baru mencerminkan transisi dari era kolonial ke era kemerdekaan. Jakarta tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Indonesia, tetapi juga menjadi platform utama, di mana ide-ide tentang identitas nasional dikembangkan dan dipromosikan.