Amerika dan para pendiri bangsanya terhadap Islam berakar kuat dalam sejarah bangsanya. Sebagian besar, hal ini disebabkan oleh para pemukim koloni-koloni Amerika yang berketurunan dari Eropa Protestan. Mereka yang beragama Protestan ini mewarisi prasangka yang amat buruk terhadap agama-agama non-Kristen Protestan, seperti Yahudi, Katolik, dan Muslim.
Ketidaksukaan orangSejak zaman Reformasi Protestan di Eropa, Islam sering kali digunakan sebagai gambaran yang negatif dalam retorika keagamaan. Misalnya, tokoh-tokoh Reformasi Gereja pada masa itu, seperti Martin Luther dan John Calvin, secara terbuka memperbandingkan Islam---yang sering dipersonifikasikan dalam pandangan tokoh Reformasi sebagai Kekaisaran Ottoman)---dengan "Antikristus", dan bahkan mempersamakan kekuasaan Sultan Ottoman dengan Paus Katolik, yang mana menunjukkan jelas ketidaktahuannya sama sekali.
Kekaisaran Ottoman yang dipersepsikan sebagai "wakil kekuasaan tunggal dari Islam" dikaitkan dengan pemerintahan absolut dan tirani, sehingga mereka menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang absolut dan tiran pula. Oleh karena itu, para tokoh Reformasi Gereja menganggap kedua otoritas---baik Sultan Ottoman maupun Paus Katolik---sebagai bentuk dari tirani dalam agama.
Penulis Radikal Whig, seperti Thomas Gordon dan John Trenchard dalam Cato's Letters, kerap menggambarkan Kekaisaran Ottoman sebagai simbol dari pemerintahan despotik yang menindas rakyatnya dan tidak memiliki prinsip-prinsip kebebasan republikanisme.Â
Para pendiri bangsa Amerika, yang sangat dipengaruhi oleh ide-ide republik ini, melihat Islam bukan hanya sebagai ancaman dalam konteks keagamaan, melainkan juga sebagai ancaman dalam aspek politik. Kekuasaan "sultan" dalam tata negara Kekaisaran Ottoman yang tanpa batas menjadi semacam peringatan bagi Amerika tentang berbahayanya pemerintahan absolut yang bertentangan dengan prinsip kebebasan dan demokrasi yang ingin mereka terapkan di Amerika.
Selain itu, dalam sejarah relasi antara Kristen dan Islam, terutama sejak Abad Pertengahan, Islam kerap kali dianggap sebagai agama sesat dan bertentangan dengan ajaran-ajaran Kristen.Â
Literatur dan polemik keagamaan di Eropa kemudian menggambarkan Nabi Muhammad sebagai penjahat dan "seorang pembuat perpecahan", seperti dalam Divine Comedy karya Dante bertajuk Inferno, di mana Nabi Muhammad ditempatkan di lingkaran kedelapan dalam Neraka dalam karyanya.Â
Dalam pandangan Dante, Nabi Muhammad dianggap sebagai schismatic atau orang yang memecah-belah, sehingga ia ditempatkan dalam bagian Neraka yang dihuni oleh para "penyebar perpecahan" (sowers of discord). Sikap-sikap negatif ini akhirnya terbawa ke Amerika, sehingga Islam terus-menerus dipandang sebagai ancaman bagi tatanan moral dan religius masyarakat Amerika pada saat awal kemerdekaan.
Para pendiri bangsa Amerika juga menjadikan Islam sebagai contoh hipotetis untuk menguji sejauh mana kebebasan beragama harus diterapkan.Â
Karena ketidaksukaan di tengah masyarakat Amerika pada masa awal kemerdekaan bangsa Amerika terhadap Islam, pertanyaan pun muncul: apakah kebebasan beragama hanya harus mencakup denominasi Kristen saja, atau juga agama-agama lain yang dipandang lebih asing dan mencurigakan (bagi Amerika yang beragama Kristen), khususnya Islam.Â
Hal itu disebabkan oleh karena Islam, bersama dengan Katolik dan Yahudi, dianggap sebagai ancaman potensial terhadap prinsip-prinsip kebebasan sipil dan politik yang ingin mereka bangun di Amerika.