(3)Â "Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat."
(4)Â "Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi."
(5)Â "Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat."
(6)Â "Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut."
(7)Â "Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat."
Dalam proses pemberhentian Presiden menurut UUD 1945 pasca-amandemen, tidak hanya MPR yang terlibat, tetapi ada peranan dari DPR dan juga Mahkamah Konstitusi. DPR dalam hal ini memberikan pengajuan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai tindak lanjut atas dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden adalah dalam rangka fungsi pengawasan dari DPR.
Pemberhentian Presiden setelah amandemen ini berbeda dalam hal prosesnya. Sebelum amandemen proses yang dilakukan sepenuhnya hanya sekadar alasan politis, sedangkan sesudah amandemen prosesnya dilakukan dengan mekanisme hukum. Hal itu dibuktikan dengan proses politik yang dilakukan oleh DPR harus diteruskan ke Mahkamah Konstitusi.
Mahfud MD menjelaskan bahwa proses pemberhentian Presiden di Indonesia adalah proses campuran antara impeachment dan forum previlegiatum. Yang mana, diawali dengan impeachment oleh lembaga negara DPR yang beranggotakan Partai Politik, selanjutnya diteruskan dalam Mahkamah Konstitusi yang merupakan pengadilan khusus untuk mengadili pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (forum previlegiatum).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H