Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menandai penyerahan kedaulatan kepada RIS dari Belanda, harus mengalami perubahan signifikan lagi. RIS yang ditolak oleh Rakyat dengan alasan bahwa RIS adalah alat pemecah-belah yang digunakan Van Mook harus diubah menjadi negara kesatuan lagi. Perkembangan menuju negara kesatuan ini diakhiri dengan diundangkannya UUDS 1950 sebagai amandemen dari Konstitusi RIS.
Setelah UUDS 1950 berlaku, Indonesia resmi kembali kepada negara kesatuan. Langsung saja, Natsir dari Partai Masyumi ditunjuk sebagai Perdana Menteri untuk menyusun kabinet oleh Presiden Sukarno. Natsir menempatkan dua orang ekonom dalam kabinetnya, yaitu Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Ekonomi dan Perdagangan dan Syafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan.
Dalam kabinet Natsir ini, disusun sebuah program ekonomi yang dinamakan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pemerintah terhadap pengusaha-pengusaha pribumi. RUP akan memfokuskan pada pengonsolidasian industri perkotaan dengan industri-industri kecil di perdesaan. RUP adalah hasil dari kerja sama Soemitro dengan Saroso Wirodihardjo yang menjabat sebagai Kepala Bank Industri Negara.
RUP direncanakan akan disusun satu-kesatuan integral dalam bentuk kebijakan ekonomi yang umum guna menjadi "pembimbing" berbagai kegiatan pemerintah dalam sektor industri dan pertanian, sehingga memungkinkan bagi pemerintah untuk mengontrol pembentukan-pembentukan perusahaan baru. Industri yang dimaksud oleh Soemitro adalah industri-industri pribumi (bangsa Indonesia asli). Kebijakan RUP ini akan menjadi usaha untuk meningkatkan kekuatan industri milik Pribumi, karena kemampuan ekonomi industri pribumi masih sangatlah lemah bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar milik asing dan Belanda.
Sesuai dengan namanya, "urgensi", maka RUP direncanakan akan diimplementasikan dengan segera dan sesingkat-singkatnya. Ditambah lagi, RUP ditujukan sebagai solusi atas pengangguran yang membludak di perdesaan akibat kebijakan militer (Re-Ra---Reorganisasi dan Rasionalisasi), sehingga memfokuskan untuk membangun atau memperkuat industri-industri kecil perdesaan. RUP ini kemudian terimplementasikan dengan senyata-nyatanya dalam nama "Program Benteng", yang terkenal dalam sejarah ebagai program yang memberikan hak istimewa bagi para pengusaha pribumi. Hak istimewa sendiri adalah berdasarkan realitas-objektif, bukan karena sekadar rasialisme, melainkan karena faktanya adalah, saat program ini disusun, perekonomian Indonesia memang dikuasai oleh para pengusaha peranakan Tionghoa. Lalu, dengan maksud untuk melindungi pengusaha pribumi yang posisinya masih lemah dan belum bisa bersaing dengan para pengusaha lainnya, diberikanlah sebuah hak istimewa oleh negara.
Dengan demikian, Program Benteng-nya Kabinet Natsir ditujukan untuk menumbuhkan dan memperkuat para pengusaha nasional (pribumi) supaya dapat bersaing dengan pengusaha keturunan Tionghoa dan pengusaha asing. Dalam program ini, negara nantinya akan memberikan kredit kepada para pengusaha pribumi untuk memberikan peluang usaha seluas-luasnya, sehingga dalam gambaran jangka panjangnya diharapkan akan tumbuh satu kelas pengusaha nasional yang akan meningkatkan produktivitas barang dan modal dalam negeri.
Upaya menumbuhkan pengusaha nasional adalah satu tugas untuk membangun kembali perekonomian Indonesia, sebab, dalam perspektif Soemitro dan programnya, menyuburkan pengusaha nasional dan dunia usaha lebih penting daripada mengemukakan tujuan-tujuan antikolonial. Harapannya, pengusaha nasional yang mendapatkan lisensi untuk mengimpor akan menutup kekurangan dalam negeri dalam hal kebutuhan dan permodalan saat produksi dalam negeri sedang mengalami penurunan.
Namun demikian, apabila dilihat dalam perspektif tersebut, maka Program Benteng tidak ditujukan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan tidak pula untuk menambah pendapatan nasional. Oleh karena pembelian barang impor ini dibiayai oleh kredit dari negara, sehingga kegiatan impor hanyalah redistribusi dari pendapatan negara. Padahal, syarat utama untuk mendapatkan lisensi ini adalah orang pribumi asli dengan serentetan persyaratan kecakapan modal dan usaha.
Hal tersebut disebabkan oleh merosotnya hasil ekspor. Ditambah lagi, kesulitan untuk mendapatkan devisa yang tinggi, sementara negara harus menjalankan aktivitas kenegaraan yang juga berbiaya tinggi. Kemudian, dengan kondisi seperti itu, maka tak heran bila negara terus-menerus berada dalam inflasi yang tinggi akibat defisit anggaran belanja negara. Program dan pemikiran Natsir ini kemudian dinilai sangat teknokratis, sehingga mendapatkan penolakan secara ideologis di tengah-tengah massa Rakyat yang menginginkan program antikolonial.
Selanjutnya, sasaran lebih jauh dari RUP adalah untuk melaksanakan pribumisasi dalam saham dan administrasi perusahaan asing. Dengan demikian, RUP pada masa 1950-an dinilai oleh banyak orang sebagai rencana untuk meningkatkan industrialisasi. Ini dapat dilihat dengan praktik-praktik yang terjadi pada 1950, yang mana banyak dijalankan proyek guna meningkatkan daya-beli Rakyat.
Sesuai dengan ucapan Soemitro, industri apa saja yang dilaksanakan hendaknya harus dapat meningkatkan para penghasil-penghasil kecil di perdesaan. Oleh karena itu, RUP tidak dapat diklasifikasikan sebagai pembentukan industri besar-besaran dan massal, sebab fokusnya masih ke arah pembentukan industri padat karya yang berhubungan erat dengan massa Rakyat di perdesaan. Salah satunya adalah pembentukan industri kerajinan tangan yang diusahakan oleh Rakyat, dengan dibersamai oleh pembentukan koperasi-koperasi, sehingga keduanya dapat menjadi tulung punggung perekonomian bangsa Indonesia.
Pertimbangan diterapkannya RUP pun adalah untuk menekan gejolak politik di daerah-daerah yang mulai timbul akibat kesenjangan dan pengangguran. Oleh karena itu, program ini menghendaki peningkatan industri kecil di perdesaan, sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan. Baru setelah industri kecil kian menguat, akan diperbangunkan industri-industri besar yang akan menopang industri kecil, seperti pengangkutan dan lainnya.
Namun, program Kabinet Natsir tidak dapat dilaksanakan karena kabinet ini mengundurkan diri pada 21 Maret 1951. Setelah itu, kepemimpinan diambil alih oleh Sukiman dari Partai Masyumi, tetapi kabinetnya juga tidak bertahan lama. Sukiman terpaksa mundur setelah parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya terhadapnya, akibat terbukti menandatangani perjanjian Mutual Security Act (MSA) dengan Amerika Serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H