Kemudian juga, dalam konteks diplomasi pun demikian. Ada kaitan antara perubahan cepat dan drastis strategi politik pemerintah dengan pengondisian Madiun. Menurut Tan Malaka, penangkapan Persatuan Perjuangan di Madiun adalah bagian urusan diplomasi berunding.Â
Tan mengambil kesimpulan demikian dari pleidoi yang diucapkan eks Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dalam sidang Mahkamah Militer Agung terkait peristiwa 3 Juli. "Menurut keterangan Amir Sjarifuddin," ungkap Tan, "penangkapan tersebut dilakukan oleh Pemerintah Republik berdasarkan permintaan delegasi Indonesia."
Surat yang dijadikan dasar penangkapan pun tidak dikeluarkan oleh pemerintah Republik. Maka, Tan menyimpulkan, ".... Kalau demikian, maka surat itu mestinya datang dari pihak luar, dari Inggris atau Belanda." Hal ini semacam consessia (penyerahan hak) dari pihak Republik kepada Inggris dan Belanda atas keberhasilan desakan-desakan dari Inggris dan Belanda juga. Maka dari itu, Tan mengungkapkan bahwa, dalam hal ini pemerintah sudah menyepakati permintaan negara musuh untuk menangkap Rakyat atau warganya sendiri.
"... celakalah warga negara yang menjadi korban consessia itu dan celakalah pula negara Indonesia yang terlanggar kedaulatannya itu," tandas Tan Malaka menyoal perselingkuhan yang terjadi antara Republik dengan kedua negara musuhnya seperti tersebut di atas.
Dampak paling parah dari perubahan cepat dan drastis sikap pemerintah Republik ini adalah menjadikan seluruh Rakyat, tiap-tiap partai, badan ketentaraan dan kelaskaran, yang mula-mula tabah-berani, bersemangat, dan bersatu menyerah musuh menjadi semangat yang pasif, menerima-melempem, pecah-belah, dan curiga-mencurigai satu sama lainnya. Begitulah kiranya peristiwa Revolusi yang diperiodisasikan oleh Tan menjadi dua tahapan pada 1948.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H