Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tan Malaka dan Kritiknya terhadap Diplomasi Revolusi: Re-Ra, Perpecahan, dan Menata Kembali Semangat Gerilya

21 November 2024   10:15 Diperbarui: 21 November 2024   11:06 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Perjanjian Linggarjati (Sumber gambar: Wikimedia Commons)

“Sudah terpinggir kita terdesak!” 

Begitulah Tan Malaka memulai tulisan pamfletnya pada saat Revolusi Kemerdekaan Indonesia sedang bergelora-geloranya. Tan Malaka memulai tulisannya dengan mengkritik politik-diplomasi pemerintah pada saat Revolusi.

Diplomasi pemerintah dengan Belanda, menurutnya, mengakibatkan perpecahan persatuan di tengah-tengah Rakyat dalam melenyapkan kapitalisme dan imperialisme, telah menjadikan sebagian besar wilayah Republik kembali dikuasai oleh Belanda, telah mengakibatkan terbentuknya negara-negara boneka bikinan Belanda yang kemudian diadudombakan oleh Belanda dengan Republik, telah menyebabkan hancur-leburnya perekonomian nasional Republik, dan telah menjadikan Republik tersingkir dalam segala urusan, seperti tersingkir di ekonomi, politik, dan juga kemiliteran. Memang demikianlah keadaan Republik pada masa Revolusi sedang bergejolak.

Tidak hanya itu, Tan Malaka juga mengkritik kebijakan pemerintah yang diinisiasi oleh Wakil Presiden Hatta, yakni kebijakan Re-Ra (Rekonstruksi-Rasionalisasi) terhadap kemiliteran (tentara) di Republik. Wapres Hatta menjelaskan mengenai kebijakan Re-Ra ini sebagaimana dikutip dalam buku Sundhaussen berjudul Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, sebagai berikut:

“Tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personel angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.”

Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Madiun, dari Republik ke Republik, kebijakan Re-Ra menyebabkan problem besar ketika pengimplementasiannya di lapangan. Salah satunya adalah timbulnya friksi antara perwira eks Peta dan eks KNIL. Friksi ini diakibatkan oleh karena kebijakan Re-Ra mengkehendaki pengauditan personel militer “kembali”, dengan berdasarkan kepangkatan dan tingkat pendidikan. Sebagai contoh, perwira eks PETA turun sampai dua tingkat (dari letnan satu menjadi pembantu letnan satu) [dengan alasan PETA dinilai tidak dilatih secara profesional oleh Jepang]. Adapun perwira eks KNIL menjadi naik pangkat dua tingkat [dalam pandangan pemerintah perwira eks KNIL terlatih secara profesional oleh pemerintah Hindia Belanda dan tentunya modern].

Tidak hanya friksi yang terjadi, tetapi penolakan juga datang dari para prajut. Alasan mendasarnya adalah perlakuan Wapres Hatta yang mengistimewakan kesatuan dari Divisi Siliwangi—setelah pasukan Siliwangi terpaksa mengungsi ke Surakarta akibat persetujuan Renville yang menetapkan Jawa Barat sebagai kekuasaan Belanda—dan Hatta kemudian mempromosikan eks Panglima Siliwangi, Kolonel A. H. Nasution, sebagai wakil dari Panglima Sudirman. Sosok Nasution ini kemudian dianggap sebagai ancaman terhadap kewibawaan Sudirman sebagai panutan para prajurit.

Ketegangan akibat kebijakan Re-Ra di antara militer dan milisi atau laskar Rakyat tersebut berujung pada pecahnya perang saudara, yaitu Madiun Affairs 1948. Madiun Affairs 1948 ini merupakan gejolak yang terjadi di daerah Madiun, Jawa Timur, antara dua kubu militer, yakni kubu militer berhaluan kiri-komunis dengan kubu militer Republik [khususnya Divisi Siliwangi yang mayoritas adalah eks KNIL].

Tan Malaka menyebut kebijakan tersebut sebagai ihwal yang mengakibatkan terpecahnya relasionalitas Rakyat dengan tentara resmi Republik. Tentara Republik yang sesungguhnya lahir dari rahimnya Rakyat dan diongkosi oleh uangnya Rakyat menjadi terpisah dan terpecah dari Rakyat, sehingga tentara Republik malah menindas Rakyat itu sendiri. Misalnya, yang terjadi dengan pecahnya konflik-konflik antara laskar-laskar dan milisi-milisi Rakyat dengan tentara pemerintah yang sah.

Padahal, enam bulan sebelum kebijakan Re-Ra ini atau saat-saat permulaan Revolusi 17 Agustus ‘45, keadaan Rakyat kita masih dalam bergelora dalam perjuangan serta senantiasa bersatu dan bergerak serempak dalam menjaga pertahanan di sepanjang garis pantai dan di tiap-tiap kota dan desa. Selain itu, Rakyat kita pada permulaan Revolusi pun, dengan inisiatifnya, membentuk laskar-laskar dan milisi-milisi, menguasai sumber daya perekonomian yang sebelumnya berada di tangan Jepang, serta siap sedia bersatu-padu untuk menentang kapitalisme dan imperialisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun