Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia di Persimpangan Jalan: Menjaga Semangat Republik di Tengah Ancaman Dinasti Politik yang Feodal

24 November 2024   16:52 Diperbarui: 24 November 2024   16:52 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, dengan kelelahan dan mata yang perih terkena gas air mata, aku selesaikan aksi bersama ratusan ribu mahasiswa lainnya. Rasanya lega dan bercampur kekhawatiran lainnya yang menunggu di hari depan. Lega karena kesadaran politik rakyat---khususnya kaum menengah perkotaan---sudah mulai meluas. Khawatir karena kedepannya masih ada tipu muslihat lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada rakyatnya. Kedua rasa ini campur aduk dalam balutan sanubariku saat mulai berjalan ke arah bus.

Memang kita pantas lega untuk hal ini. Rakyat Indonesia yang telah dipertontonkan aksi politik tanpa etika, penuh ketelanjangan, penuh ketidakpunyaan rasa malu, dengan segala pembenarannya, membiarkan dinasti politik terpilih dan menjadi kuasa untuk 5 tahun ke depan. Mereka kini mampu tersadarkan bahwa ini adalah kesalahan.

Indonesia yang berbentuk Republik tapi berwatak monarki, didirikan oleh pendiri bangsa kita sebagai Republik Indonesia. Bukan Monarki dalam bentuk Kerajaan Indonesia atau Kesultanan Indonesia ataupun juga Kemaharajaan Indonesia. Hal ini difalsafahkan oleh para pendiri bangsa sebagai satu langkah "penolakan" terhadap politik feodalisme.

Feodalisme sendiri adalah paham yang menekankan adanya tiga unsur dalam satu kesatuan wilayah, yaitu Tuan, Bawahan, dan Wilayah. Struktur pemerintahan feodalistis adalah bagaimana ketiga unsur itu saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain. Tuan di sini dimaksudkan sebagai kaum bangsawan yang memiliki tanah, bawahan adalah orang yang diberikan tanah, dan wilayah adalah tanah perdikan. Sebagai imbalan atas tanah perdikan, bawahan memberikan prajurit kepada tuan. Pola relasi dan timbulnya kewajiban antara tuan, bawahan, dan wilayah ini menimbulkan relasi yang bersifat "feodalistis". Oleh karena itu, ciri khas dari paham feodalisme adalah ketaatan mutlak kepada terhadap pemimpin atau atasan.

Feodalisme kemudian menghasilkan piramida sosial. Di antaranya, Raja menduduki posisi paling atas, kaum aristokrat di urutan kedua, bupati dan adipati selanjutnya, kepala-kepala rakyat, dan rakyat yang berada paling dasar. Oleh karena itu, Rakyat begitu menderita dan tertindas. Namun, masyarakat feodal adalah masyarakat yang berorientasi pada nilai "pelayanan" yang amat berlebihan kepada penguasa, pejabat, birokrat, ataupun orang yang dituakan.

Tiga prinsip utama dalam feodalisme antara lain: pertama, sistem feodalisme berfokus pada kekuasaan di dalam segala aspek, sekali lagi, segala aspek, sehingga kekuasaan berpusat pada satu orang pemimpin. Kedua, kekuasaan dalam sistem feodalisme hanya bergilir dari satu orang yang berkuasa ke keluarga-keluarganya. Dengan kata lain, kekuasaan hanya berkutat di sekeliling kerabat pemimpin feodal itu. Misalnya, ketika pemimpin itu ingin diganti, dengan sebab mati atau pensiun, kekuasaan berpindah ke tangan keluarganya, baik kepada anaknya maupun adiknya. Ketiga, pengultusan pemimpin itu. Dalam budaya feodal, pemimpin tidak pernah salah. Pemimpin adalah orang baik yang tak akan berbuat dosa-angkara-murka. Pemimpin tidak hanya dihormati, tetapi dipuja-puji dengan berlebih-lebihan.

Berlanjut ke cerita sore itu. Aku bertemu dengan driver ojek online. Pertemuan itu tidak akan terjadi apabila mamaku tidak memintaku untuk pulang dengan segera setelah aksi, sehingga aku harus memesan ojek online untuk mempercepat waktu kepulangan ke rumah. Bagaikan takdir Tuhan yang ingin mempertemukan diriku dengan realitas sosial-masyarakat kita, aku berbincang bersama driver ini sebagai representasi rakyat marhaen Indonesia kontemporer.

"Abis demo ya, pak?" tanya driver ini sebagai permulaan percakapannya.

"Iya, nih, pak. Presiden sudah tak tahu diri. DPR melanggar konstitusi pak, demi anak Presiden agar bisa menjadi kepala daerah. Yang saya kesal, smuanya nggak pake malu, pak," ujarku kepadanya.

"Oo, maksudnya mas Gibran, mas? Kalau dia kan sudah menang, mas."

Karena suaranya tercampur angin, aku refleks bertanya kembali. Kemudian aku harus menyesuaikan kapasitas obrolanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun