Bung Karno, salah seorang presiden Indonesia yang juga merupakan sebagai seorang pemikir bangsa. Bung Karno jelas dapat disejajarkan sebagai seorang ideolog, atau perumus ideologi untuk gerak-langkah perjuangan politik, baik suatu partai, maupun kebangsaan sekalipun.
Sukarno atau kerap disapaBung Karno bukan hanya sebagai seorang politisi, ia bukan hanya sebagai seorang presiden yang ingin mendapatkan kekuasaannya. Bung lebih dari itu. Bung Karno adalah pemikir yang bervisi jauh ke depan. Ia adalah presiden yang memanfaatkan kekuasaannya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mewujudkan ide politiknya yang keseluruhan idenya bertitik pusat pada perjuangan rakyat kecil.
Tidak seperti di era reformasi kini, kira-kira sekitar 2014-an, di mana Presiden Indonesia tidak tampak sama sekali mengenai idenya tentang ke-Indonesia-an. Bahkan, kita tidak dapat menemukan secuil pun tujuan dalam tulisan-tulisan yang ia produksi, mengenai Republik mau dikemanakan olehnya. Ya, jelas karena Presiden sejak 2014 yang akan selesai pada 2024 ini tidak pernah menulis buku atau, setidak-tidaknya, menelurkan buah pikir tentang kebaikan bangsa. Mungkin skripsi S1-nya, hanya satu-satunya tulisan yang ia goreskan pada masa ia kuliah.
Namun demikian, berbeda sekali dengan Bung Karno. Bung Karno sejak masa kuliah aktif dalam keorganisasian dan pergerakan kebangsaan menuju kemerdekaan. Sejak masa kuliah ia aktif dalah studieclub yang nantinya berwujud kepada Perserikatan Nasional Indonesia dan kemudian menjadi partai nasional pertama, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) pada kisaran akhir 1920-an.
Bung Karno pun menelurkan gagasan politiknya, ideologi yang ia gali sendiri atas refleksitas kehidupan bangsanya dengan dipadukan pikiran cemerlangnya, yang ia dapatkan dari bacaan-bacaan buku yang tak kenal hingganya itu.
Singkat cerita, Bung Karno sedang bersepeda di sekitaran Bandung, saat ia berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandung (TH) atau sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat sedang asyik mengayuh sepedanya, tanpa tersadar ia sudah sampai di Bandung bagian selatan. Pandangannya tertuju ada satu orang, yang sedang menggarap sawahnya dengan tubuh yang kering sebagaimana tubuh rakyat pada masa itu. Terlontarlah dialog Bung Karno kepada bapak petani tersebut, yang dapat kita simak dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
“Siapa pemilik tanah yang kaugarap ini?” tanya Bung Karno.
“Saya, Juragan,” jawab sang petani.
“Apakah kau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“Oh, tidak, Gan. Saya memilikinya sendiri.”
“Apa kau membeli tanah ini?”
“Tidak. Tanah ini diwariskan secara turun-temurun dari orang tua saya.”
“Bagaimana dengan sekopmu? Milikmu juga?”
“Ya, Gan.”
“Dan, cangkul itu?”
“Milik saya juga, Gan.”
“Bajak?”
“Juga milik saya.”
“Lalu hasilnya untuk siapa?”
“Untuk saya, Gan.”
“Apakah hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?”
“Bagaimana mungkin sawah yang begitu sempit ini bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anak?”
“Tapi semua ini milikmu?”
“Iya, Gan.”
Bung Karno terus menanyakan pertanyaan yang selama ini tersimpan di dalam benaknya. Ia mengingat teori yang dilontarkan oleh ahli ekonomi mengenai “penderita minimum”. Inikah dia orangnya?
“Siapa namamu?”
“Marhaen.”
Sejak saat itu, pemikiran politiknya disebut sebagai Marhaenisme. Bahkan, yang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) rakyat kecil disebut sebagai kromo, disebut oleh Bung Karno sebagai “Marhaen”. Petani kecil yang ia temukan di Bandung, menjadi simbol sekaligus ideologi untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.
Ide Marhaenisme ini bersumber dari Sosialisme yang “dikawinkan” dengan penemuan kembali kepribadian bangsa Indonesia. “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik,” ujar Bung Karno.
Perlu diingat kembali, pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno memang sudah berupaya keras untuk merumuskan permasalahan konkret yang dialami oleh bangsanya. Analisis Bung Karno akhirnya membuahkan hasil berupa adanya permasalahan kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Indonesia yang hidup di bawah penjajahan kolonial Hindia Belanda.
Sukarno bahkan menggali sejarah Indonesia—yang dahulu berupa kerajaan-kerajaan di Nusantara—secara mendalam, sehingga mengakibatkan tumbuhnya kesadaran Bung Karno akan realitas kehidupan bangsa Indonesia yang sangat berketimpangan antara kelompok minoritas yang kaya (kulit putih dan para priyayi/ningrat) dengan kelompok yang miskin (hampir keseluruhan rakyat Indonesia). Berdasarkan buku Renungan Bapak Marhaen Indonesia, kurang lebih 92% dari rakyat Indonesia pada masa kolonial hidup dalam keadaan miskin, yang diakibatkan oleh kolonialisme dan kapitalisme. Atas dasar penderitaan akan kemiskinan inilah, timbul keinginan Bung Karno untuk memberontak, dengan suatu faith bahwa jika penjajahan berhasil dihapuskan, pasti dapat mengubah kehidupan rakyat menjadi lebih sejahtera.
Dalam hal memuluskan kekejaman penjajahannya, Belanda menggunakan kaum-kaum feodalis (priyayi dan ningrat) di Nusantara, mulai dari yang tertinggi hingga yang paling rendah sebagai kaki-tangan oleh VOC, yang kemudian, berkembang menjadi pemerintah Hindia Belanda. Berangkat dari permanfaatan kaum feodalis ini, Indonesia menjadi tidak memiliki kelas borjuis yang berkuasa—pengusaha atau pedagang bumiputra sangatlah lemah. Kekuasaan tertinggi dari bumiputra yang ada di masyarakat hanyalah kaum feodalis, itu pun sudah menjadi kaki-tangan Belanda. Hanya Bung Karno dan sekelompok pejuang-aktivis sajalah, cikal-bakal priyayi yang memberontak karena kesadarannya.
Pada masa demikianlah, lahir kelas baru yang tidak dapat disebut sebagai proletar saja, sebab kelas baru itu masih memiliki alat produksi, tetapi hidup dalam kondisi yang serba kesusahan. Bung Karno memberikan nama kelas itu sebagai “Marhaen”, yang mana terdiri dari kaum proletar, kaum tani melarat, dan golongan melarat atau kelas kecil lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa kelas “Marhaen” adalah kelas yang diperas oleh Belanda. Kelas yang telah menjadi korban dari kolonialisme, feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Kelas yang tidak hanya berisi proletariat saja, tidak hanya berisi kaum buruh saja, tetapi kelas yang terdiri dari keseluruhan kaum-kaum miskin melarat, termasuk proletar yang akan menjadi garda paling depan. Dengan kata lain, marhaen adalah kelas yang berisikan orang-orang yang mempunyai alat produksi, tetapi hidupnya disulitkan secara struktural oleh penguasa.
Marhaenisme bermula ketika Sukarno sedang mencari kata yang dapat menjelaskan kelas rakyat Indonesia untuk dia persatukan sebagai satu kekuatan revolusioner. Apabila propaganda PKI menggunakan istilah orang kecil untuk kaum proletar, Bung Karno berbeda pandangan dengan mereka dalam hal pemikiran. Bung Karno berpikir bahwa rakyat yang miskin bukan hanya golongan proletar saja, melainkan hampir keseluruhan rakyat Indonesia berada dalam belenggu kemiskinan akibat kapitalisme dan kolonialisme.
Rakyat pada masa itu sebagian besar adalah pekerja kecil. Maka dapat dikatakan mereka memiliki alat produksi sendiri. Katakanlah seorang kusir yang memiliki dokar dan kuda, seorang petani yang mempunyai satu petak sawah, nelayan yang punya alat pancing, jala, dan perahu miliknya sendiri. Akan tetapi, alat produksi itu sedemikian kecilnya, sehingga hanya cukup untuk sekadar menopang hidup dalam waktu sebulan atau dua bulan, bahkan hanya seminggu saja. Penghasilan yang terlalu kecil untuk bisa menaikkan harkat sosial, politik, atau ekonominya sebagai individu. Yang mana intinya, menurut Bung Karno mereka bukan proletar sebagaimana sering disebut para aktivis komunis kala itu.
Versi lain dari penamaan Marhaenisme diungkap oleh sejarawan Peter A. Rohi adalah seorang tokoh asal Sunda yang bernama Aeng. Peter menilai bahwa Sukarno mengubah nama Aeng menjadi Marhaen sebagai kepentingan simbol politik perlawanan terhadap kolonialisme. Impresi yang timbul dari “Aeng” dan “Marhaen” memang berbeda. Sukarno mungkin telah melakukan dramatisasi sebagai cara menciptakan simbol politik yang sedemikian kuat dan berpengaruh dalam perjuangan politiknya. Terlepas dari itu semua, Presiden Sukarno pun pernah mengundang Kang Aen ke Istana pada 1950-an.
Versi lainnya lagi adalah penghalusan pemikiran Marxisme versi Sukarno dengan mengubah namanya menjadi Marhaen. Dengan mengambil nama Marx dan Engel sebagai suatu singkatan sehingga terciptalah nama Marhaen. Peter Kasenda tidak menentangnya, tetapi segera meluruskan pandangan demikian. Ia menjelaskan bahwa, Bung Karno memang seorang penganut Marxis, tetapi dengan segala gayanya yang bersifat Indonesia. Bung Karno sendiri mengungkapkan bahwa tidak akan orang memahami Marhaenisme, apabila tidak memahami Marxisme.
“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang punya puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik,” demikian Sukarno menjabarkan dalam otobiografinya.
Dalam pemaparannya, Sukarno menjelaskan istilah “Marhaenisme” dengan memaknakannya sama seperti “massasisme” atau kekuatan massa. Meskipun mereka kecil dalam status dan kepemilikan, mereka besar dalam jumlah yang bila disatukan dapat menjadi kekuatan besar untuk melawan praktik kolonialisme.
Selain itu, Marhaenis sebagai tiap-tiap rakyat Indonesia yang menjalankan Marhaenisme, wajib ikut serta dalam perjuangan kaum Marhaen itu. Pemahaman demikian ini ditegaskan saat Partai Indonesia (Partindo) menjadikan Marhaenisme sebagai asas perjuangan politik partainya.
Sukarno terinspirasi dari penelusuran historis pada masa itu, yang mana kolonialisme Belanda berhasil menyebabkan rakyat Indonesia sengsara. Kesengsaraan itu menimbulkan beragam pemikiran dan aliran politik untuk melawan kolonialisme. Bung Karno dengan semangat persatuan nasionalnya terus berusaha mengupayakan persatuan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut, menjadi satu kesatuan sebagai sesuai dengan paham “Marhaenisme”.
Berdasarkan kemajemukan masyarakat tersebut, Bung Karno berusaha terus-menerus menggalang rasa kebangsaan rakyat Indonesia sekaligus menyadarkan kebangsaan itu, yang pada saat itu dalam kondisi tercerai-berai. Bung Karno memulainya dengan menawarkan ide nasionalisme, yang perumusannya sesuai dengan alam dan kondisi Indonesia. Konsep nasionalisme Sukarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) mengenai konsep bangsa. Menurut Renan, bangsa adalah suatu kesatuan nyawa atau suatu asas-akal, yang terjadi akibat:
- Rakyat itu dari awal harus bersama-sama menjalani suatu sejarah; dan
- Rakyat harus memiliki kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukan sekadar hidup bersama berdasarkan jenis ras, bahasa, agama, persamaan kebutuhan dan batas-batas negeri saja.
Dalam tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, Bung Karno menegaskan bahwa nasionalismenya adalah nasionalisme yang berarti kesadaran rakyat bahwa rakyat adalah sekumpulan manusia yang secara historis memiliki kesamaan riwayat, kemauan, dan keinginan untuk menjadi satu. Dalam kata lain, Bung Karno menekankan pada suatu kesadaran rakyat terhadap nasib hidupnya. Nasionalisme yang divisikan oleh Bung Karno adalah kesadaran nasib bahwa rakyat Indonesia sama-sama memiliki nasib sebagai bangsa yang tertindas dan terjajah, yang nantinya api nasionalisme yang membara dapat mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
“Nasionalisme adalah suatu iktikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Rasa nasionalistis itu akan menimbulkan suatu rasa percaya akan dirinya sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita,” begitulah setidaknya Bung Karno menulis dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Dalam pleidoinya, yang akhirnya berubah menjadi gugatan terhadap praktik kolonialisme yang diberi judul Indonesia Menggugat, Bung Karno menjelaskan bahwa terdapat tiga cara untuk bisa mencapai kesadaran rakyat. Kesadaran untuk membangkitkan rakyat itu diupayakan dengan cara, yaitu:
- Menunjukkan kepada rakyat, bahwa mereka mempunyai masa lalu adalah masa lalu yang indah;
- Membangkitkan kesadaran rakyat, bahwa mereka punya masa kini adalah masa kini yang gelap; dan
- Memperlihatkan kepada rakyat sinarnya masa depan yang berseri-seri dan terang, serta cara-cara untuk mendatangkan masa depan yang penuh cahaya itu dengan janji-janji itu.
Roeslan Abdulgani di dalam bukunya Negara dan Dasar Negara, kembali menjelaskan nasionalisme Indonesia menjadi tiga aspek. Aspek pertama adalah aspek politik, bahwa nasionalisme Indonesia bertujuan menumbangkan dominasi politik asing dengan menggantikannya menjadi suatu sistem pemerintahan yang demokratis. Aspek kedua adalah aspek sosial-politik, yang bersifat menghentikan segala praktik-praktik eksploitasi dari bangsa asing, menghentikan segala praktik-praktik ekonomi asing yang eksploitatif dan ekstraktif, dengan membangun masyarakat baru yang bebas dari kemiskinan, kemelaratan, dan kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural, nasionalisme Indonesia harus bersifat sebagai upaya penghidupan kepribadian bangsa Indonesia dengan menyelaraskan perkembangan zaman dan internasional.
Nasionalisme menurut Bung Karno sering kali ia menyebutnya sebagai sosio-nasionalisme. Sosio diambil dari kata yang diartikan sebagai masyarakat. Maka dari itu, sosio-nasionalisme adalah nasionalismenya masyarakat, nasionalisme yang mencari keselamatannya seluruh rakyat dan bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat itu sendiri. Nasionalisme Bung Karno adalah nasionalisme yang didasarkan pada kesadaran masyarakat yang menderita akibat praktik imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme, dan menyadarkan masyarakat untuk menentang, melawan, dan meruntuhkannya agar dapat membangun masyarakat baru yang adil dan makmur, tanpa adanya pengisapan manusia oleh manusia, tanpa adanya pengisapan bangsa oleh bangsa, dengan berdasarkan pada asas perikemanusiaan.
Berbicara tahapan, maka Sosio-Nasionalisme adalah prinsip awal Marhaenisme. Prinsip sosio-nasionalisme lebih sering digunakan pada masa perjuangan, sedangkan pada masa setelah Indonesia merdeka lebih sering digunakan sosio-demokrasi.
Sosio-demokrasi dimaksudkan sebagai demokrasi yang bukan hanya demokrasi politik saja, melainkan demokrasi yang juga mencakup demokrasi ekonomi. Singkatnya, sosio-demokrasi adalah demokrasi yang menitikberatkan pada setiap warga negara berhak, berkewajiban, dan harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam bidang ekonomi. Kedua prinsip—sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi—tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus saling berkelindan satu sama lain.
Kedua prinsip itulah yang dinamakan sebagai Marhaenisme. Mengenai sosio-nasionalisme sendiri, Bung Karno pernah menulis, sebagai berikut:
“Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi—suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesen negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio nasionalisme.”
Mengenai konsep sosio-demokrasi, Bung Karno membedakan demokrasi yang ada di pikirannya dengan demokrasi versi negara barat. Menurutnya, demokrasi Barat hanya menitikberatkan pada sendi politiknya saja, tidak dengan sendi-sendi ekonominya. Dalam demokrasi negara barat, Bung Karno mengkritik keras dengan menjelaskan bahwa, meski rakyat mendapatkan hak politiknya sebagai “seorang raja”, tetapi dalam segi ekonominya, rakyat tetap sebagai budak yang papa-sengsara. Memang demikianlah adanya di Barat. Dalam segi politik, rakyat bak seorang raja yang suaranya menentukan penguasa, tetapi pada waktu bersamaan rakyat tetap menjadi budak dalam segi ekonomi, yang sewaktu-waktu bisa dilemparkan dari pabrik dan melarat.
Ide sentral mengenai Marhaenisme adalah ide yang mencakup sosio nasionalisme, demokrasi politik, dan demokrasi konomi. Sama seperti ide sentral dari demokrasi, yaitu mengenai kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang diperjuangkan oleh Bung Karno adalah tidak hanya tertuju pada aspek politik saja, aspek parlemen-parlemenan saja. Akan tetapi, demokrasi itu harus menuju kepada rakyat yang terlibat aktif dan berpartisipasi aktif dalam sistem perekonomian yang adil. Yang nantinya partisipasi rakyat Indonesia dalam segi ekonomi ini akan mengantarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Tidak hanya adil saja, tetapi juga harus makmur. Tidak hanya makmur saja, tetapi juga harus adil.
Makmur saja, tapi tidak adil, adalah masyarakat kapitalis.
Adil saja, tapi tidak makmur, adalah masyarakat komunis.
Namun, masyarakat adil dan makmurlah tujuan dari masyarakat Marhaenisme, masyarakat Pancasila, dan yang terpenting adalah masyarakat Indonesia!
Referensi
Abdulgani, Roeslan. Negara dan Dasar Negara. Jakarta: Endang, 1957.
Cindy Adams. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno, 2018.
Jo, Hendi. “Kisah Kang Aeng dan Bung Karno.” Historia, 14 Maret 2018.
Simorangkir, O. P. Renungan Bung Karno: Bapak Marhaen Indonesia. Tim Studi Pembudayaan Pancasila, Universitas Krisnadwipayana, 2002.
Sjamsuddin, Nazaruddin. PNI dan Kepolitikannya (1963-1991). Cet. 1. Jakarta: Rajawali, 1984.
Sukarno. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1. Jakarta: Di Bawah Bendera Revolusi, 1963.
———. Res Publica, Sekali Lagi Res Publica! Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1959.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H